merdekanews.co
Rabu, 16 Januari 2019 - 19:19 WIB

Tekor Neraca Perdagangan 2018 Cetak Rekor

Ekonom UI Sebut Musuh Jokowi Bukan Prabowo Tapi Para Pembantunya

Setyaki Purnomo - merdekanews.co

Jakarta, MERDEKANEWS - Ekonom senior UI Faisal Basri prihatin lantaran defisit neraca perdagangan 2018 sebesar US$8,57 miliar, memecahkan rekor sepanjang Indonesia merdeka. Perlu keberanian Presiden Joko Widodo untuk membersihkan importasi yang bernuansa praktik rente.

Dalam blog faisalbasri.com, Jakarta, Rabu (16/1/2019), mantan ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) itu, memaparkan pandangan kritisnya. Menurut Faisal, defisit perdagangan (ekspor barang minus impor barang), sangat jarang terjadi di Indonesia.

Sejak kemerdekaan RI pada 1945, Indonesia hanya mengalami tujuh kali defisit perdagangan. Yakni pada 1945, 1952, 1961, 2012, 2013, 2014, dan 2018 yang bikin kaget. Tahun awal kemerdekaan hingga 1950, nilai ekspor dan impor barang, masih di bawah US$1 miliar. Sehingga, walaupun defisit, angkanya sangat rendah untuk bilangan sekarang.

Semisal, defisit perdagangan 1945 sebesar US$103,6 juta; tahun 1952 sebesar US$13,5 juta; dan 1961 turun menjadi US$8,0 juta. Setengah abad kemudian, transaksi perdagangan luar negeri Indonesia, selalu menikmati surplus.

Selanjutnya, defisit perdagangan kembali terjadi tiga tahun berturut-turut selama 2012-2014. Kala itu, penyebab utamanya adalah kemerosotan harga komoditas ekspor, dan melonjaknya impor bahan bakar minyak (BBM). Pada 2013, defisit minyak (minyak mentah dan BBM) mencapai rekor tertinggi senilai US$27,6 miliar.

Yang mengejutkan, defisit perdagangan 2018 yang baru saja dirilis Badan Pusat Statistikn (BPS), menyebut angka US$8, 57 miliar. "Ini yang terparah sepanjang sejarah Indonesia merdeka, tergolong ganjil. Penyebab utamanya bukanlah lonjakan impor BBM seperti 2013.

Betul bahwa defisit minyak (minyak mentah dan BBM) melonjak 37% dari US$14,6 miliar pada 2017, menjadi US$20,0 miliar pada 2018," tulis Faisal. Jika meliputi gas, lonjakan defisit migas menjadi lebih tinggi lagi, yaitu sebesar 44,2%. Dari US$8,6 miliar pada 2017, menjadi US$12,4 miliar pada 2018.

Tak kurang, Kepala BPS pun mengatakan, penyebab defisit perdagangan 2018 adalah defisit migas. “Penyebab defisit 2018 lebih karena defisit migas 12,4 miliar dollar AS,” ujar Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Selasa (15/1/2019).

Penyebab Utama Bukan Defisit Migas Jika ditelusuri lebih seksama, penyebab utama lonjakan defisit perdagangan ternyata adalah kemerosotan tajam transaksi perdagangan nonmigas. Tak tanggung-tanggung, surplus perdagangan nonmigas anjok 81,4%, dari US$20,4 miliar pada 2017 menjadi hanya US$3,8 miliar pada 2018.

Surplus perdagangan nonmigas yang terpangkas sangat dalam ini, bukan disebabkan penurunan ekspor superit, terjadi 2013. Pada 2018, ekspor justru masih mencatatkan pertumbuhan 6,7% dibandingkan tahun sebelumnya.

Namun tak dinyana, impor meningkat jauh lebih pesat sebesar 20,2%. Atau setara tiga kali lipat dari pertumbuhan ekspor. Tidak hanya impor migas yang melonjak, impor nonmigas sami mawon. Perbedaannya relatif tipis, tumbuh 22,6% untuk migas dan 19,7% untuk nonmigas.

Ada Jalan Tol kok Impor Deras
Kondisi Perekonomian tidak mengalami pemanasan (overheating), karena pertumbuhan ekonomi tidak beranjak jauh dari 5%-an. Sehingga, tidak ada alasan kuat kalau impor melonjak. Karena, lebih dari 90% impor, berupa bahan baku dan barang modal. Tidak terjadi pula lonjakan impor barang konsumsi.

Oleh karena itu, niscaya ada penyebab khusus yang mengakibatkan lonjakan impor tahun lalu. Gencarnya pembangunan infrastruktur memang membutuhkan alat berat dan bahan baku tertentu yang diimpor. Namun, pembangunan infrastruktur yang masif telah berlangsung selama tiga sampai empat tahun, bukan baru terjadi tahun lalu. Jadi, sangat boleh jadi ada penyebab yang lebih khusus.

Pembangunan infrastruktur fisik berupa jalan tol, jembatan, LRT, MRT, bandara, kereta bandara, dan bendungan tentu saja membutuhkan banyak sekali besi/baja. Ada yang khusus terjadi tahun lalu terkait dengan impor besi/baja, yaitu terbitnya Permendag Nomor 22 Tahun 2018 tentang ketentuan impor baja yang menghapuskan syarat rekomendasi impor dari Kementerian Perindustrian dan memindahkan pengawasan beji/baja keluar kepabeanan. Ketentuan itu ibarat jalan tol bagi impor besi/baja, memuluskan arus masuk baja impor–termasuk yang berkualitas rendah–sehingga mengakibatkan masalah level of playing field bagi produsen baja domestik.

Aturan serupa juga diberlakukan untuk impor ban, sehingga pertumbuhan impor ban melonjak lebih dari 100 persen. Beberapa produk lainnya juga memperoleh fasilitas kemudahan impor sehingga banyak dikeluhkan produsen di dalam negeri. Berburu Rente dan Free Rider Saya tertegun mendapatkan data yang menunjukkan Indonesia telah menjadi negara pengimpor gula terbesar di dunia, mengalahkan China dan Amerika Serikat.

Berbekal data dari portal statistik Statista, saya menelusuri berbagai sumber. Ternyata sumber International Trade Center (ITC) yang berada di bawah World Trade Organization (WTO), USDA (United States Department of Agriculture) dan tentu saja Badan Pusat Statistik (BPS), ternyata data itu memang benar adanya. Data BPS menunjukkan, impor gula (HS 1701) Indonesia melonjak sejak 2009.

Dan, meroket pada 2016. Pada awal 2018 sampai November, impor gula mencapai 4,63 juta ton. Sepanjang 2018, impor gula bisa jadi yang tertinggi sepanjang Indonesia merdeka. Potensi rente yang diperoleh dari bisnis gula ini, boleh jadi mirip dengan praktek mafia migas yang dikomandoi RC, sungguh sangat menggiurkan.

Memang, produksi gula nasional yang berbasis tebu, jauh dari mencukupi kebutuhan gula nasional. Namun, obral lisensi impor raw sugar yang menjadi bahan baku untuk menghasilkan gula rafinasi di dalam negeri melampaui kebutuhan industri makanan dan minuman. Padahal, ketentuan yang berlaku menyatakan bahwa gula rafinasi hanya boleh dijual ke produsen industri makanan dan minuman.

Pemerintah pula yang pernah mengatakan bahwa gula rafinasi tidak baik untuk kesehatan dan oleh karena itu melarangnya untuk dijual sebagai gula konsumsi masyarakat. Belakangan justru pemerintah menggunakan gula rafinasi untuk operasi pasar demi menjaga laju kenaikan harga gula enceran sebagai salah satu cara untuk menjaga laju inflasi. Dengan harga eceran tertinggi Rp12.500 per kilogram yang ditetapkan oleh pemerintah, tentu saja keuntungan yang diraup sangat menggiurkan, karena selisih harga enceran di dalam negeri. Dengan harga dunia rata-rata mencapai tiga kali lipat.

Katakanlah gula di pasar dunia itu masih berupa raw sugar. Jenis raw sugar yang lazim diperdagangkan dan dicatat pergerakan harganya di pasar London adalah yang berkode #11. Berikut adalah hitungannya sampai diolah di pabrik gula rafinasi.

Keuntungan terbesar tentu saja jika gula rafinasi dijual eceran sebagaimana dengan mudah kita dapatkan di toko-toko atau pasar modern. Potensi rente yang dirau tercermin dari bidang C dan E’ + E” yang berwarna biru. Lezat, bukan?!!!

Sedangkan bidang D dan F merupakan rugi beban-mati (deadweight loss) yang menguap di dalam perekonomian dalam bentuk inefisiensi dari sisi konsumen dan produsen. Para pedagang tentu saja enggan menyerap gula petani yang memang harganya lebih mahal.

Akibatnya gula milik petani menumpuk dan akhirnya merugi. Petani kian enggan menanam tebu, mengakibatkan produksi gula nasional berpotensi turun atau setidaknya stagnan di kisaran 2 juta ton setahun. Upaya maraup rente pernah juga dilakukan dengan ketentuan yang dikeluarkan Menteri Perdagangan yang mewajibkan seluruh transaksi gula rafinasi melalui lelang. Perusahaan yang ditunjuk berkantor di Gedung Artha Graha.

Setiap ton yang ditransaksikan dikenakan ongkos administrasi sebesar Rp 85.000. Banyak lagi kutipan lainnya yang dibebankan kepada peserta tender. Pengguna gula rafinasi mengajukan keberatan. Setelah Ketua KPK melayangkan surat “peringatan” akhirnya Menteri Perdagangan mencabut Permen wajib lelang.

Nah, soal kasus beras, atas nama stabilisasi harga beras untuk meredam laju inflasi dan peningkatan penduduk miskin, pemerintah juga mengobral impor beras. Tak tanggung-tanggung, impor beras selama Januari-November 2018, meningkat lebih dari 600%. Dari 0,3 juta ton (2017) menjadi 2,3 juta ton (2018).

Padahal, menurut BPS yang baru saja memutakhirkan data perberasan dengan teknologi canggih, tahun 2018, kita menikmati surplus 2,8 juta ton. Kita sangat menyadari, sekalipun surplus, boleh jadi masih perlu impor karena panen beras tidak sepanjang tahun. Ada bulan-bulan yang produksinya sangat rendah jauh di bawah tingkat konsumsi bulanan. Namun, mengapa impor sedemikian banyak?

Ditambah lagi, waktu mengimpor dalam jumlah yang besar dilakukan justru ketika musim panen, tatkala produksi melebihi konsumsi. Sebaliknya, impor sangat rendah ketika sedang dalam kondisi defisit (produksi lebih rendah dari konsumsi), yaitu pada bulan Janua ri dan Oktober sampai Desember. Akibatnya, lagi-lagi petani dirugikan, demikian juga konsumen.

Kasus Garam
Neraca Dagang 2018 Pecahkan Rekor, Inisiatif penggelembungan impor garam berawal dari Kementerian Perindustrian. Dengan alasan kelangkaan garam, terbit Peraturan Pemerintah (PP) yang tidak lagi mewajibkan rekomendasi impor dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Rekomendasi impor cukup dari Menteri Perindustrian.

Serta merta, Menteri Perindustrian mengeluarkan rekomendasi impor garam untuk setiap perusahaan lengkap dengan jumlah kuota volume impor masing-masing. Entah dari mana angka jumlah kuota impor sebesar 3,7 juta ton untuk 2018.

Belakangan, dirjen yang mengurusi garam di Kemenperin mengakui angka itu tidak memperhitungkan produksi garam nasional. Presiden memanggil menteri-menteri yang terkait dengan urusan garam. Sehari setelah pertemuan itu, Menperin mengumpulkan para pedagang yang memperoleh rekomendasi impor dan “perwakilan” petani garam.

Dari pertemuan itu dihasilkan MoU berisi kesediaan para pedagang menyerap garam petani. Sudah bisa diduga nasib MoU itu. Karena, kemarau yang cukup panjang tahun lalu, produksi garam nasional melonjak, dari di bawah 1 juta ton tahun 2017 menjadi 2,7 juta ton tahun 2018.

Hingga akhir tahun lalu, garam petani yang belum terserap berkisar 800.000 ton. “Musuh” Pak Jokowi Bukan Pak Prabowo, Melainkan Pembantu-pembantu Terdekatnya Ketiga contoh kasus di atas nyata adanya. Puluhan juta petani menjadi korban.

Mereka menaruh harapan besar Pak Jokowi dapat mengangkat kesejahteraan petani. Mungkin sebagian besar mereka memilih Pak Jokowi ketika Pemilihan Presiden 2014. Akibat ulah segelintir pembantu Presiden yang mengikis asa puluhan juta petani (dan mungkin tak sedikit pula konsumen yang mengeluh karena kenaikan harga gula dan beras), boleh jadi cukup banyak dari mereka yang mulai apatis menghadapi pemilu April nanti.

Tidak ada kata terlambat walaupun memang waktunya kian mepet. Bersihkanlah lingkungan dekat Presiden dari para penunggang percuma (free rider) dan para pemburu rente. Komitmen dan langkah tegas Presiden menghadapi mereka bisa memunculkan kembali asa.

Dan, yang tak kalah penting, defisit transaksi perdagangan bisa ditekan dan bahkan kembali surplus, sehingga bisa menjinakkan tekanan terhadap rupiah. Cara ini tokcer, berdampak “seketika”, tidak membutuhkan waktu selama serangkaian upaya pemerintah yang sudah dilakukan. (Setyaki Purnomo)