merdekanews.co
Kamis, 13 Desember 2018 - 05:57 WIB

Ramai-ramai Tolak Revisi PP Kegiatan Usaha Minerba

doci - merdekanews.co
Diskusi Tolak PP Minerba

JAKARTA, Merdekanews – Untuk yang keenam kalinya, pemerintah kembali berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Sayangnya, revisi tersebut justru diduga kuat hanya bertujuan mengakomodasi perpanjangan pengelolaan operasi sejumlah tambang besar batubara yang akan berakhir kontraknya dalam waktu dekat. Sejumlah pihak menolak rencana itu dengan tegas.

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menyebut, revisi PP tersebut berpotensi mengganggu ketahanan energi nasional lantaran tidak konsisten dengan konstitusi.

"Jika ditelusuri lebih rinci, ditemukan bahwa rencana perubahan tersebut lebih disebabkan oleh kepentingan para kontraktor mempertahankan dominasi pengelolaan tambang-tambang di Indonesia," beber Marwan dalam seminar "Menyoal Revisi ke-6 PP No.23 Tahun 2010 tentang Usaha Minerba di Jakarta, Rabu (12/12).

Marwan memaparkan, dalam penambangan batubara misalnya, BUMN hanya menguasai sekitar 6%. Begitu pula dengan sektor mineral, BUMN melalui Holding BUMN Tambang diperkirakan hanya menguasai pengelolaan tambang sekitar 20-30%. Kondisi ini disebabkan karena berbagai kontrak yang mengatur pengelolaan tambang-tambang tersebut dalam KK maupun PKP2B dibuat di masa lalu dalam kondisi kemampuan negara yang masih terbatas dalam hal modal, teknologi, manajemen dan sumber daya manusia.

Padahal, jika merujuk pada berbagai ketentuan dalam UU Minerba No.4/2009 dan sejumlah PP maupun Permen di bawahnya, telah diatur agar penguasaan negara atas tambang-tambang yang saat ini dikelola oleh kontraktor KK dan PKP2B lambat laun dapat beralih kepada BUMN.

Namun ternyata, ditegaskan Marwan, pemerintah berupaya mengakomodir kepentingan perusahaan-perusahaan tambang besar lewat sejumlah revisi dari regulasi yang ada. "Yang diuntungkan adalah pemegang kontrak yang ada dalam KK atau PKP2B. Mereka ingin supaya operasi tambangnya bisa terus berlangsung dan wilayah tambangnya terjaga seluas yang sekarang," katanya.

Penolakan tegas juga datang dari Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman. Selain tidak mengikuti kaidah hirarki perundangan, Kementerian ESDM dan kementerian terkait seharusnya tidak diam-diam dalam melakukan harmonisasi revisi PP tersebut, tetapi juga wajib disosialisasikan terlebih dahulu kepada publik. Sosialisasi perlu dilakukan guna menghindari adanya kecurigaan dari publik.

Apalagi, sejak UU Minerba berlaku, pemilik KK dan PKP2B sudah diberikan ruang yang cukup baik dan fair oleh pembuat UU, lewat ketentuan peralihan (pasal 169 s/d pasal 172) yang memberikan kesempatan 1 tahun kepada semua pemilik KK dan PKP2B untuk menyesuaikan semua ketentuan dengan isi pokok UU Minerba, kecuali soal penerimaan negara. Namun kesempatan itu dengan arogannya diabaikan oleh semua pemilik KK dan PKP2B.

Karena itu, menjadi tidak heran bagi publik untuk bersikap curiga jika Pemerintah secara diam-diam berupaya merubah PP 23/2010. “Bisa jadi ini hanya dibuat untuk mengakomodir kepentingan segelintir kecil pengusaha dibandingkan kepentingan nasional yang jauh lebih besar, khususnya bagi kepentingan ketahanan energi nasional. Juga tidak salah juga jika publik mencurigai kebijakan rencana perubahan PP kental untuk kepentingan pemburu rente elit pengusaha dan penguasa,” tukas Yusri.

Dalam catatan CERI, setidaknya terdapat sekitar 9 PKP2B generasi pertama dengan total produksi keseluruhan sekitar 200 juta metrik ton per tahun yang akan menikmati manisnya perubahan PP tersebut.

Sebut saja PT Tanito Harum dengan luas 35.757 Ha, PT Arutmin Indonesia (70.153 Ha), PT Kaltim Prima Coal (90.938 Ha), PT Adaro Indonesia (34.940 Ha), PT Kideco Jaya Agung (50.921 Ha), PT Berau Coal (118.400 Ha), sampai PT Multi Harapan Utama (46.063 ha).

  (doci)