
Jakarta, MERDEKANEWS -- Pemerintah memutuskan untuk segera menyelesaikan proses ratifikasi 7 (tujuh) Perjanjian PerdaganganNInternasional (PPI). Penetapan ratifikasi ini akan ditetapkan melalui Peraturan Presiden, setelah sebelumnya ketujuh PPI ini juga secara bertahap telah disampaikan ke DPR, lebih dari 60 hari yang lalu.
Keputusan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Pasal 84 Ayat 4 yang mengatur tentang ratifikasi PPI, di mana apabila DPR tidak mengambil keputusan dalam waktu paling lama 60 hari kerja pada masa sidang, maka pemerintah dapat memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan DPR.
“Jadi kita putuskan dalam rakor ini untuk meratifikasi 7 PPI dengan mempertimbangkan UU Perdagangan tentang Pengaturan Ratifikasi PPI. Keputusan ini juga diambil mengingatNpentingnya penandatanganan
perjanjian-perjanjian tersebut. Saya akan segera lapor pada Presiden dengan membawa draft Perpres yang sudah siap,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution saat memimpin Rapat Koordinasi Penyelesaian Ratifikasi PPI Indonesia, Rabu (7/11), di kantornya.
Pemerintah telah menyampaikan ketujuh PPI tersebut kepada DPR dengan rincian sebagai berikut:
- First Protocol to Amend the AANZFTA Agreement, sudah disampaikan kepada DPR pada tanggal 5 Maret 2015.
- Agreement on Trade in Services under the ASEAN-India FTA (AITISA), sudah disampaikan kepada DPR pada tanggal 08 April 2015.
- Third Protocol to Amend the Agreement on Trade in Goods under ASEAN-Korea FTA (AKFTA), sudah disampaikan kepada DPR pada tanggal 02 Maret 2016.
- Protocol to Amend the Framework Agreement under ASEAN-China FTA (ACFTA), sudah disampaikan kepada DPR pada tanggal 02 Maret 2016.
- ASEAN Agreement on Medical Device Directive (AMDD), sudah disampaikan kepada DPR pada tanggal 22 Februari 2016.
- Protocol to Implement the 9th ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS-9), sudah disampaikan kepada DPR pada tanggal 23 Mei 2016.
- Protocol to Amend Indonesia-Pakistan PTA (IP-PTA), sudah disampaikan kepada DPR pada tanggal 30 April 2018.
Ada beberapa potensi kerugian bila Indonesia tidak meratifikasi 7 PPI tersebut. Misalnya pada perjanjian AANZFTA, akan ada 2 kerugian, yaitu: (i) 11 parties akan menolak SKA (versi lama) sehingga produk Indonesia tidak dapat memanfaatkan preferensi tarif dalam AANZFTA. (ii) Sejak AANZFTA berlaku, Indonesia termasuk beneficiary utama. Ekspor ke Australia yang menggunakan fasilitas AANZFTA mencapai 73,6% atau senilai $ 1,76 milyar dari total ekspor ke Australia senilai $ 2,35 milyar pada tahun 2017.
Kemudian pada perjanjian AITISA, Indonesia tidak dapat mengakses pasar tenaga profesional di sektor konstruksi, travel, komunikasi, jasa bisnis lainnya (posisi high & middle management), dan jasa rekreasi yang menjadi keunggulan Indonesia vis a vis India.
Lalu Indonesia dapat disengketakan karena tidak menerapkan prinsip transparansi; tidak menurunkan biaya transaksi; tidak dapat memberikan kepastian kode HS yang dikomitmenkan sebagai hasil perundingan (HS 2007 ke HS 2012), jika tidak meratifikasi perjanjian AKFTA.
Terkait AFAS 9, potensi kerugiannya adalah Indonesia tidak dapat mengakses pasar jasa ASEAN pada subsektor yang ditambahkan Negara-Negara ASEAN ke dalam AFAS (Indonesia menambahkan 11 subsektor).
Selain itu, juga berpotensi disengketakan oleh anggota ASEAN lain yang memiliki kepentingan komersial.
Sementara untuk perjanjian AMDD, jika Indonesia tidak meratifikasinya, maka produk ALKES Indonesia sulit dipasarkan di ASEAN dan dunia karena AMDD mengatur standar, aturan teknis dan prosedur kesesuaian penilaian yang mengharmonisasikan standar ALKES di ASEAN sesuai standar internasional. Selain itu, Indonesia dapat dikatakan tidak mendukung INPRES No. 6 tahun 2016 tentang Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Potensi kehilangan pasar ekspor ke ASEAN senilai $ 853 juta untuk tahun 2017.
Adapun 3 potensi kerugian jika kita tidak meratifikasi perjanjian ACFTA adalah sebagai berikut:
- Goods: Indonesia dapat disengketakan karena tidak mempermudah ketentuan SKA, prosedur kepabeanan dan fasilitasi perdagangan sesuai kesepakatan.
- Services: Indonesia tidak menikmati penambahan komitmen 5 subsektor jasa oleh RRT (medical & dental; engineering; travel agency & tour operator; nature & landscape protection; dan securities).
- Investment: Mengurangi insentif investor RRT untuk berinvestasi di Indonesia karena Indonesia tidak menyederhanakan prosedur aplikasi dan persetujuan investasi, dan tidak dapat berpartisipasi dalam program promosi investasi ACFTA.
Terakhir, jika republik ini tidak meratifikasi IP-PTA, maka setidaknya akan ada 5 (lima) potensi kerugian sebagai berikut:
- Pakistan akan “terminate” PTA sehingga Indonesia akan kehilangan pangsa pasar CPO senilai $ 1,46 miliar (2017) di Pakistan.
- Pangsa pasar CPO akan direbut Malaysia yang saat ini sedang meng-up-grade bilateral FTA-nya (bukan sekadar PTA) dengan Pakistan.
- Menghambat rencana bersama untuk up-grade IP-PTA menjadi IP-Trade in Goods Agreement.
- Dalam berbagai skenario persetujuan (PTA, TIGA, FTA atau CEPA), Pakistan tidak mungkin menikmati surplus neraca perdagangan dengan Indonesia.
- Total perdagangan dengan Pakistan 2017 $ 2,63 miliar ekspor $ 2,39 miliar; impor $ 241,1 juta; surplus bagi Indonesia $ 2,15 miliar.
Hadir dalam rapat ini antara lain Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, perwakilan dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, dan perwakilan kementerian/lembaga terkait lainnya. (Hadi Siswo)
-
Kabar Baik untuk Pensiunan! THR Cair Minggu Depan, Segini Besarannya pencairan akan dilakukan lebih cepat, yakni 3 minggu sebelum Lebaran.
-
Menko Perekonomian Semangati Kepala Daerah Gali Potensi Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi Menko Perekonomian Semangati Kepala Daerah Gali Potensi Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi
-
Pemerintah Resmi Targetkan KUR 2025 Naik Menjadi Rp300 Triliun Pemerintah Resmi Targetkan KUR 2025 Naik Menjadi Rp300 Triliun
-
Meutya Hafid Tekankan Pentingnya Inklusivitas Transformasi Digital Meutya Hafid menekankan pentingnya inklusivitas transformasi digital
-
Warga Pemain Judi Online Capai 8,8 Juta Pada 2024, 80 Persen Masyarakat Bawah, Sasar Anak Muda dimana 80 persen adalah masyarakat bawah dan menyasar ke anak anak muda