merdekanews.co
Rabu, 07 November 2018 - 18:23 WIB

Pasar Minyak Sawit Global Sepi, Gapki Harap Pemerintah Tidak Diam

Setyaki Purnomo - merdekanews.co
Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)

Jakarta, MERDEKANEWS - Memasuki pergantian tahun, bisnis minyak sawit memasuki masa paceklik. Ya, lantaran produksi melimpah sementara pembeli sepi. Pemerintah diharapkan bisa membantu diplomasi untuk membuka pintu ekspor ke sejumlah negara.

Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengatakan, pasar minyak sawit boleh disebut sepi. karena daya beli dari sejumlah negara pengimpor minyak sawit masih menunjukkan pelemahan mulai September 2018. "Alhasil ekspor minyak sawit Indonesia termasuk biodiesel dan oleochemical tercatat menurun 3%. Dari 3,3 juta ton pada Agustus 2018, tergerus menjadi 3,2 juta ton pada September 2018," papar Mukti dalam rilis kepada media di Jakarta, Rabu (7/11/2018).

Padahal, kata Mukti, harga minyak mentah sawit atawa Crude Palm Oil (CPO) cenderung murah. Logikanya, ketika harga CPO sejumlah negara akan memborongnya. "Rendahnya harga CPO dunia tidak menjadi magnet yang kuat bagi negara importir untuk memborongnya. Karena, harga minyak nabati lain juga sedang murah. Terutama kedelai, rapeseed dan biji bunga matahari," kata Mukti.

Di mana, harga kedelai anjlok hingga level terendah sejak 2007. Eskalasi perang dagang antara China dan AS
mempunyai andil besar dalam mempengaruhi harga kedelai. Celakanya, produksi minyak sawit mengalami kenaikan signifikan terutama di Indonesia dan Malaysia. Karena pembeli sepi mengakibatkan stok menumpuk di dalam negeri.

Sepanjang September 2018, volume ekspor minyak sawit Indonesia (CPO, PKO dan turunannya) tidak
termasuk oleochemical dan biodiesel, mencapai 2,99 juta ton. Dari potret ekspor minyak sawit sepanjang Januari-September 2018, kata dia, mengalami penurunan 1%, atau dari 23,19 juta di Januari-September 2017, menjadi 22,95 juta ton sepanjang periode sama di 2018.

India tetap menjadi negara pembeli tertinggi CPO dan produk turunannya dari Indonesia. Pada September, impor India membukukan 779,44 ribu ton. Atau turun 5% dibandingkan impor bulan sebelumnya. Di mana, impornya mencapai 823,34 ribu ton.

Baru-baru ini pemerintah India meliris kebijakan tentang biofuel, di mana target pencampuran bensin 20% untuk etanol; dan 5% pencampuran diesel untuk biodiesel pada 2030. Kebijakan ini tentunya membuka peluang pasar lebih besar kepada Indonesia untuk memenuhi pencampuran biodiesel berbasis sawit.

Pemerintah sudah seharusnya memberikan perhatian khusus kepada pasar minyak sawit di India, terutama terkait tarif bea masuk. Malaysia akan menikmati pengurangan tarif bea masuk masing-masing 5% untuk CPO dan refined product-nya sebagai buah dari Free Trade Agreement (FTA) yang efektif diberlakukan 1 Januari 2019.

Peluang Indonesia untuk mengisi kebutuhan minyak sawit India akan terus tergerus jika tidak ada langkah meningkatkan perdagangan baik melalui perjanjian bilateral (FTA) atau perjanjian perdagangan khusus (preferential trade agreement).

Penurunan impor CPO dan produk turunannya dari Indonesia juga dicatatkan oleh China (25%), Pakistan (24%), AS (50%) dan negara-negara Timur Tengah (21%). Di sisi lain, Uni Eropa membukukan kenaikan impor CPO dan produk turunannya sebesar 16% diikuti Bangladesh sebesar 155% dan negara-negara Afrika sebesar 47%. Kenaikan ini merupakan kenaikan normal karena pada bulan sebelumnya ada penurunan.

Pada September, sudah tidak ada lagi panen rapeseed dan bunga matahari di Eropa dan kawasan tersebut sudah mau memasuki musim dingin. Khusus untuk produk RBD Palm Olein atau minyak goreng, ekspor ke beberapa negara Afrika
terus mengalami kenaikan secara konsisten setiap bulannya.

Negara-negara Afrika memiliki potensi besar untuk menjadi pasar utama minyak goreng jika pemerintah dapat memberikan insentif melalui pengurangan pungutan untuk ekspor minyak goreng dalam bentuk kemasan. Di sisi produksi, sepanjang bulan September 2018 produksi diprediksi mencapai 4,41 juta ton atau naik 8,5% dibanding bulan sebelumnya yang mencapai 4,06 juta ton.

Naiknya produksi karena memang pada September sudah mulai memasuki siklus tinggi musim panen tahunan sawit.
Naiknya produksi dan stagnannya ekspor mengakibat stok minyak sawit Indonesia meningkat hingga mencapai 4,6 juta ton. Beralih ke biodiesel, pada awal September 2018 pemerintah telah mengeluarkan regulasi perluasan mandatori B20 kepada non-PSO, di mana sebelumnya hanya berlaku untuk PSO saja.

Perluasan mandatori B20 ini sudah mulai menunjukkan kenaikkan yang cukup signifikan penyerapan biodiesel di dalam negeri. Pada September penyerapan biodiesel mencapai 402 ribu ton atau naik 39% dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 290 ribu ton.

Penyerapan belum meningkat sesuai dengan target karena masih terkendala infrastruktur dimana titik penyebaran pengiriman biofuel sangat tersebar dan juga tidak dilengkapi dengan tanki penimbunan yang memadai. Diperkiraan sampai akhir 2018, penyerapan biodiesel di dalam negeri akan bertambah 940 ribu ton dari target awal.

Berasal dari penggunaan B20 non-PSO. Sementara itu realisasi purchase order (PO) Pertamina untuk mandatori B20 secara keseluruhan sampai pada September 2018 termasuk PSO dan non-PSO telah mencapai 74% dari target.

Di sisi harga, sepanjang September 2018 harga bergerak di kisaran US$517.50-US$570 per metrik ton, dengan harga rata-rata US$546.90 per metrik ton. Ini merupakan harga terendah yang dibukukan sejak Januari 2016. Harga CPO global terus tertekan karena harga minyak nabati lain yang sedang jatuh khususnya kedelai dan stok minyak sawit yang cukup melimpah di Indonesia dan Malaysia.

  (Setyaki Purnomo)