merdekanews.co
Jumat, 03 Agustus 2018 - 03:06 WIB

Hanura dan OSO di Ujung Tanduk

Ira Safitri - merdekanews.co
Oesman Sapta Odang

Jakarta, MERDEKANEWS - Partai Hanura kembali diterpa badai. Partai yang didirikan Menkopol Hukam Wiranto para calegnya terancam tidak bisa ikut Pemilu 2019.

Diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menolak seluruh berkas perbaikan bakal calon anggota legislatif (bacaleg) Partai Hanura untuk DPR. Penolakan tersebut dilakukan lantaran berkas perbaikan tidak memenuhi syarat.

"Dokumen perbaikan yang diberikan Partai Hanura tidak memenuhi syarat. Kami sudah menyampaikan berita acara ini ke Hanura tadi malam, terkait dokumen perbaikan pencalonan yang tidak lengkap," ujar Komisioner KPU Hasyim Asy'ari di Gedung KPU, Kamis (2/8/2018).

Menurut dia, KPU tidak bisa memeriksa berkas dokumen perbaikan dikarenakan ada kelengkapan data yang tidak memenuhi syarat. Misalnya ada penambahan calon, tidak ada foto calon, atau alamat calon yang tidak diisi.

"Melihat itu saja dokumen pencalonan tidak memenuhi syarat, maka tidak perlu diperiksa. Kemudian status Hanura saat DCS (daftar calon sementara) nanti itu yang didaftarkan pada 17 juli 2018," ungkapnya.

Hasyim mempersilahkan jika ada kemungkinan Partai Hanura mengajukan sengketa ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). ‎Begitupun dengan Komisioner KPU Viryan, mempersilakan Partai Hanura mengajukan sengketa apabila tidak menerima keputusan terrkait hasil verifikasi berkas perbaikan tersebut.

"Silakan, bisa menempuh jalan (sengketa) lewat Bawaslu apabila ada hal-hal yang bisa untuk disampaikan melalui Bawaslu," ucapnya.

Diketahui, Partai Hanura mendapatkan status tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU terhadap seluruh perbaikan berkas pencalonannya. Adapun masa perbaikan berkas pencalonan telah berakhir pada 31 Juli 3018 lalu.

KPU mempersilakan jika ada pihak yang keberatan dengan hasil tersebut dan mengajukan sengketa. "Kan di KPU sudah selesai. Apapun juga, setelah tanggal 31 Juli. Permasalahan-permasalahan yang ada di kita itu sudah selesai per pukul 24.00 WIB," tegas Viryan.

Bukan hanya para calegnya, Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang alias OSO juga di ujung tanduk. Ketua DPD RI juga tidak bisa maju jika tidak mundur dari kepengurusan parpol.

KPU meminta pengurus parpol yang menjadi bakal calon legislatif (bacaleg) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk menyerahkan surat pengunduran diri dari kepengurusan.

Hal tersebut diungkapkan Ketua KPU Arief Budiman sebagai bentuk tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang kursi DPD diisi oleh pengurus parpol.

"Tidak ada formulir yang harus melampirkan bahwa mereka dari parpol atau bukan. Kalau Anda dari parpol, silakan anda mengajukan pengunduran diri. Pengunduruan dirinya disampaikan ke KPU," ujarnya di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (24/7/2018).

Menurutnya, KPU akan menyesuaikan putusan MK ini dengan tahapan Pemilu 2019. Dia memastikan tidak akan melebihi tahapan pengumuman daftar calon tetap (DCT).

Adapun menurut jadwal, DCT mulai disusun pada 14 September 2018 dan ditetapkan pada 20 September 2018 mendatang. "DCT itu sudah tak bisa berubah lagi. Yang penting sebelum itu sudah ada surat pengunduran diri," ungkapnya.

Terkait dasar hukum dari aturan tersebut, Arief belum memastikan apakah berupa Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) atau Surat Edaran KPU. "Masih kita diskusikan, lantaran banyak hal yang harus dipertimbangkan, terlebih jika membuat PKPU," tegasnya.

Sementara itu, OSO menyatakan tidak terima dengan putusan MK yang mengabulkan gugatan uji materi terkait tidak diperbolehkannya anggota DPD diisi oleh pengurus partai politik.

OSO menilai putusan tersebut bertentangan dengan konstitusi. Dia juga menegaskan semestinya dalam membuat keputusan, MK harus memberitahukannya terlebih dahulu kepada DPR.

"Harusnya membuat putusan itu dengan sepengetahuan DPR. Harus. Mereka kan bukan malaikat," ucapnya di Gedung DPR.

OSO merupakan salah satu orang yang terdampak karena harus memilih untuk menanggalkan jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Hanura atau mengundurkan diri demi mencalonkan diri kembali sebagai anggota DPD.

Putusan MK yang melarang anggota DPD berasal dari parpol bernomor 30/PUU-XVI/2018 dan dibacakan pada Senin (23/7) lalu terhadap Pasal 182 huruf l UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. (Ira Safitri)