
Jakarta, MERDEKANEWS - KPU gigit jari. Aturan soal larangan mantan koruptor dilarang maju sebagai caleg 2019 kandas.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menegaskan, belum bisa menerima Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang melarang mantan narapidana korupsi, maju lagi menjadi calon anggota legislatif atau caleg. Dengan begitu, PKPU itu bisa batal demi hukum.
Yasonna mengatakan, draf yang diajukan KPU sudah dikembalikan. Dengan rasionalisasi, Kemenkumham belum bisa menerima keinginan KPU untuk membuat peraturan pelarangan mantan napi korupsi itu, untuk maju lagi.
"Waktu perdebatan di DPR, juga waktu kita buat UU Pemilu, lebih banyak yang tidak setuju supaya pasal itu dibuat. Tapi, kan kita tunduk pada putusan MK, karena itu kan sistem negara, bukan sistem suka-suka," jelas Yasonna, di Istana Negara, Jakarta, Selasa 26 Juni 2018.
Yasonna mengingatkan saat pembahasan Undang-undang dengan DPR terkait mantan napi korupsi, terjadi perdebatan panjang. Hingga akhirnya keluar Putusan MK tersebut, yang membuat perdebatan berakhir dan putusan itu ditaati. Ia juga meminta KPU melakukan hal yang sama, taat putusan MK.
"Kami saja, pemerintah bersama DPR tunduk pada putusan MK, jadi itu persoalannya," katanya.
Maka dari itu, pihaknya tetap tidak ingin mengesahkan PKPU yang diajukan oleh KPU. Dengan demikian, PKPU larangan mantan koruptor nyaleg itu, akan batal dengan sendirinya.
"Tidak bisa (diundangkan), batal demi hukum. Suruh baca Pasal 87 UU No.12 tahun 2011. Mengatur perundangan, itu dipelajari di tingkat pertama di fakultas hukum," ujar Yasonna.
Merujuk putusan MK yang mengizinkan mantan narapidana korupsi tertuang dalam putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015. Dalam pertimbangannya amar putusan pada 9 Juli 2015, MK mengemukakan bahwa terpidana yang sudah menjalani hukuman dan keluar dari penjara adalah orang yang menyesali perbuatannya dan sudah bertaubat. Berikut bunyi putusan MK.
“Seseorang yang telah menjalani hukuman dan keluar dari penjara atau lembaga pemasyarakatan pada dasarnya adalah orang yang telah menyesali perbuatannya, telah bertaubat, dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dengan demikian, seseorang mantan narapidana yang sudah bertaubat tersebut tidak tepat jika diberikan hukuman lagi seperti yang ditentukan dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015,".
Untuk itu, Yasonna tetap berharap agar KPU merevisi peraturan tersebut dan menyerahkan ke Kemenkumham, untuk selanjutnya diundangkan. "Kita tunggu itikad baik oleh KPU. Masih ada waktu kok," kata politikus PDI Perjuangan ini.
(Sam Hamdan)
-
Berantas Korupsi ke Akar-akarnya!Legislator Dukung Niat Presiden Prabowo Soal RUU Perampasan Aset Ini perlu sekali untuk, bagaimana kita di dalam rangka memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya
-
Daftar Negara Paling Korup versi CPI 2024, Indonesia Ada di Posisi Berapa? Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perceptions Index (CPI) 2024 yang dirilis oleh Transparency International memberikan penilaian terkait tingkat korupsi
-
KPK Setuju Ide Presiden Prabowo Soal Penjara Khusus Koruptor: Kalau Perlu Negara Tidak Usah Kasih Makan Johanis malah melempar wacana agar negara tidak usah menyediakan makanan untuk koruptor saat menjalani masa penahanan di penjara
-
Terungkap, SIPP PN Jakpus sebut Fakta Berbeda Kasus NCD Bodong Hary Tanoesoedibjo Dalam data berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Pusat, menyebut hal sebaliknya dari klaim perusahaan milik Hary Tanoesoedibjo tersebut.
-
Salah Satunya ASN, Ini Peran 3 Tersangka Pegawai KPK Gadungan FFF (50) aparatur sipil negara (ASN) Dinas Kehutanan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur