merdekanews.co
Kamis, 23 November 2017 - 22:35 WIB

Faisal Basri: Jangan Mimpi Macam-macam, Ekonomi Makin Kontet

Arya Nawa Udaya - merdekanews.co
Ekonom Indef Faisal Basri

Jakarta, MerdekaNews - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengatakan perekonomian Indonesia trennya melambat, baik jangka panjang maupun menengah.

Perlambatan itu, kata dia, apabila diikuti setiap tahunnya terlihat perlahan tapi pasti. Sebelumnya, kata Faisal pertumbuhan ekonomi Indonesia pernah menginjak 8 persen, sekarang menjadi sekitar 5 persen.

"Jadi jangan mimpi macam-macam dulu ya. Ekonomi Indonesia makin kontet," kata Faisal dikutip Kamis (23/11/2017).

Dia mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo. "Banyak yang aneh-aneh," kata dia. Gagasan yang dikritik, misalnya, ide mendorong pertumbuhan ekonomi dari pinggiran, perbatasan dan kawasan timur Indonesia.

Alasannya, dia melihat meski pemerintah mengusung ide itu, kenyataan yang terjadi di lapangan malah berkebalikan. Dia mengambil contoh pertumbuhan ekonomi di Bali dan Nusa Tenggara Timur yang merosot dari sekitar 10 persen menjadi 5 persen, lalu kini hanya sekitar 2 persen. "Di Papua dan Sulawesi juga, semua turun."

Dia menuturkan ternyata ada perbedaan antara persepsi yang dibawa dengan kenyataan yang sesungguhnya ada di lapangan. Peredaran duit, kata dia, tidak jauh berbeda. Masih beredar di kawasan Jawa dan Sumatera. "Ada yang salah dengan strategi pak Jokowi. Negara dominan tapi Indonesia Timur sengsara," ucapnya dikutip Tempo.

Selanjutnya dia menuturkan pertumbuhan ekonomi tahun depan bakal sama seperti sekarang. "Bergeming di 5 persen," ujarnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, kata Faisal, perekonomian Indonesia terus merosot lantaran minimnya sumber pengungkit perekonomian. "Persoalannya energi yang kurang, darah yang kurang, dan kekuatan jantung yang melemah."

Maksudnya, saat ini sumber pengungkit yang ada, kata dia, hanya satu, yakni penerimaan devisa dari sektor pariwisata sebesar 11 miliar dolar AS. Namun, Faisal berujar penerimaan itu ludes dalam sekejap gara-gara defisit minyak 11,2 miliar dolar AS.

Kondisi itu juga diikuti oleh lesunya industri perbankan Indonesia. Penyaluran kredit perbankan relatif terbatas. Masyarakat juga lebih banyak menaruh uang di bank ketimbang belanja.

Ditambah lagi, kata Faisal, kemampuan penerimaan pajak juga terbatas. "Jadi ini gak sembarangan," ujarnya.

Untuk menyelesaikan perkara itu, Faisal mengatakan, solusinya mesti struktural dan mendasar. "Jangan pakai doping, karena doping kan merusak tubuh," ujarnya. 

Penyelesaian itu tidak bisa instan dan diperkirakan membutuhkan waktu dua sampai tiga tahun.

Faisal mengatakan, setelah dilakukan konsolidasi, barulah pada 2020 bisa dipastikan perekonomian Indonesia bisa lepas landas. Dia meminta pemerintah tidak memaksakan pertumbuhan yang lebih tinggi tahun depan lantaran hasilnya diprediksi bakal tiada beda dengan sekarang.

"Dikonsolidasikan lah semua. Jalan tertib jangan ugal-ugalan. kalau ugal-ugalan hasilnya juga menyakitkan," kata Faisal Basri tentang perekonomian Indonesia. (Arya Nawa Udaya)