merdekanews.co
Sabtu, 26 Mei 2018 - 10:30 WIB

Gerindra Kritisi Rapor Merah Ekonomi Jokowi

Setyaki Purnomo - merdekanews.co
Anggota Komisi XI DPR asal Fraksi Gerindra, Heri Gunawan

Jakarta, MERDEKANEWS - Terkait Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2019, Gerindra memberikan sejumlah catatan hitam. Banyak asumsi makro-ekonomi yang berlebihan alias lebai.

Masih segar dalam ingatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan KEM-PPKF 2019 dalam rapat paripurna DPR, 18 Mei 2018, begitu bersemangat. Sejumlah asumsi makro-ekonomi, disampaikan secara lugas. Hanya saja, angka-angka yang dipaparkan, dianggap masih di awang-awang. Alias sulit meraihnya. Di mana, asumsi dalam KEM-PPKF 2019 rata-rata di atas asumsi tahun ini. Masalahnya, tahun ini saja, banyak asumsi makro-ekonomi dalam APBN 2018 yang sulit terealisasi, apalagi kalau dinaikkan angkanya.

Ya, misalnya, angka pertumbuhan ekonomi dipatok pemerintah di kisaran di angka 5,4% hingga 5,8%. Sementara untuk inflasi, diperkirakan 2,5% hingga 4,5%. Selanjutnya, tingkat suku bunga SPN 3 bulan diperkirakan 4,6%-5,2%. Khusus nilai tukar rupiah diproyeksikan di level Rp13.700-Rp14.000 per US$. Urusan minyak mentah, pemerintah memasang harga US$60 hingga US$70 per barel. Lifting minyak 722 ribu-805 ribu barel per hari, lifting gas 1,21-1,30 juta barel setara minyak.

Anggota Komisi XI DPR asal Gerindra, Heru Gunawan menyampaikan sejumlah catatan hitam terhadap KEM-PPKF 2019.

1. Pertumbuhan Ekonomi

Dalam tiga tahun anggaran era Joko Widodo, realisasi pertumbuhan ekonomi acapkali meleset dari target. Faktanya, pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun hanya tercapai di kisaran 5,06% hingga 5,19%. Capaian ini jelas masih jauh dari janji kampanye Jokowi tentang pertumbuhan ekonomi 7%.

Berangkat dari kenyataan ini, proyeksi KEM-PPKF tentang pertumbuhan 5,4%-5,8%, rasa-rasanya kok sulit dinalar. Apalagi, suasana perekonomian global tengah dilanda ketidakpastian yang cukup hebat. Seharusnya, pemerintah belajar dari kegagalan meraih angka pertumbuhan di tiga tahun ke belakang.

2. Laju Inflasi

Partai Gerindra mengapresiasi upaya menjaga inflasi yang bisa memenuhi target. Namun, jangan bangga dulu. Bisa jadi rendahnya inflasi lantaran daya beli rakyat masik titik nadir. Penurunan daya beli ini, bisa jadi merupakan dampak dari pelemahan rupiah seiring penguatan dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama dunia. Ditambah kenaikan harga BBM non subsidi, serta penertiban subsidi tarif dasar listrik terhadap 20 juta pelanggan, yang diperkirakan masih akan terjadi pada 2019.

3. SPN 3 Bulan

Tingkat suku bunga Surat Perbendaharan Negara (SPN) 3 bulan dalam asumsi makro ditetapkan 4,6%-5,2%, masih belum kondusif untuk menarik modal masuk ke Indonesia. Kenaikan suku bunga The Fed sepanjang 2018, diperkirakan berdampak pada 2019. Di mana, likuiditas banyak mengalir ke luar negeri. "Artinya, kinerja ekonomi pemerintah kami perkirakan belum dapat maksimal menstabilisasi pergerakan suku bunga SPN 3 bulan," papar Heri.

4. Nilai Tukar Rupiah

Pada April 2018, terjadi fenomena yang menarik sekaligus bikin miris. Di mana, rupiah terdepresiasi 3% terhadap US$, namun nilai ekspor April turun dibandingkan bulan sebelumnya. Celakanya lagi, Defisit Transaksi Berjalan (DTB) terjadi berturut-turut sejak 2012, dan memasuki tahun kedelapan pada 2019. "Perkiraan kami pada tahun 2018 akan mencapai US$27,1 miliar atau setara 2,5 persen dari PDB. Tahun depan turun menjadi US$ 24,0 miliar, atau 2,1% dari PDB," papar Heri.

Hal tersebut memberi konfimasi Indonesia semakin tergantung kepada pinjaman valuta asing. Sementara Cadangan Devisa (Cadev) relatif masih kecil, sebagian akumulasi dari utang. Dan, sekitar US$50 miliar dari cadev merupakan portofolio yang dapat dengan cepat meninggalkan Indonesia.

5. Indonesian Crude Price (ICP)
Harga minyak mentah Indonesia (ICP) pada 2019 diperkirakan naik, seiring kenaikan harga minyak mentah dunia. "Kami perkirakan harga minyak dunia menembus angka psikologis US$100 per barel sebelum 2019. Mengingat, negara-negara OPEC pada 2018, berhasil mencapai kesepakatan dalam mengontrol produksi. Kebijakan ini akan berlanjut pada 2019," terang Heri.

6. Lifting Minyak dan Gas

Pemerintah memerkirakan lifting minyak bumi antara 772-805 (ribu barel setara minyak per hari). Angka ini terlalu optimis mengingat beberapa tahun ini, pemerintah selalu gagal mencapai target lifting. "Kami perkirakan lifting minyak bumi sekitar 750 (ribu barel setara minyak per hari)," kata Heri.

Untuk lifting gas bumi, pemerintah mematok kisaran 1.210-1.300, bolehlah optimis. "Kami perkirakan 1.250 (ribu barel setara minyak per hari). Kegiatan eksplorasi migas dalam beberapa tahun terakhir kurang diminati investor," imbuh Heri.

7. Utang Besar Pajak Kecil

Realisasi belanja APBN terhadap PDB turun setiap tahun. Pada 2014 sebesar 16,8%. Pada 2019 diproyeksikan 13,9%. Sejak 2017, Indonesia boleh dibilang masuk fase "Krisis Fiskal". Indikatornya adalah kenaikan rasio utang terhadap PDB yang pada 2014 sebesar 24,6%, naik 4,7% menjadi 29,3% pada akhir 2017. "Kami memperkirakan pada akhir tahun 2019 naik 5,4%  menjadi 30% dari PDB," lanjut Heri.

Sementara penerimaan pajak, atau tax ratio turun setiap tahun. Pada 2017 menjadi 9,9% dari PDB, atau terendah dalam sepuluh tahun. Potret bahwa Indonesia sangat tergantung kepada utang.

#PrabowoSubianto#JokoWidodo#MenkeuSMI#SriMulyani# (Setyaki Purnomo)