
Jakarta, MERDEKANEWS - PT Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO) memprediksi penerbitan surat utang atau obligasi korporasi bisa mencapai Rp 155 triliun di tahun 2025. Hal ini disebabkan kebutuhan refinancing yang tinggi yang dapat berpotensi mendorong penerbitan tinggi di tahun depan.
Direktur Utama Pefindo Irmawati Amran mengatakan, penerbitan surat utang korporasi di tahun depan bakal didorong oleh kebutuhan refinancing yang masih tinggi, pasca penerbitan masif surat utang tenor pendek di tahun 2024.
Pefindo memproyeksi, nilai penerbitan surat utang korporasi sekitar Rp 139 triliun – Rp 155 triliun, dengan titik tengah Rp 144 triliun di tahun 2025. Hal ini seiring nilai jatuh tempo obligasi korporasi tahun depan yang diperkirakan mencapai Rp 150,07 triliun – Rp 156,66 triliun di 2025.
"Perkiraan nilai penerbitan tahun 2025 itu lebih tinggi jika dibandingkan tahun ini yang diproyeksi bisa mencapai Rp 146 triliun – Rp 151 triliun. Per November 2024, nilai penerbitan obligasi korporasi nasional tercatat sebesar Rp 130,18 triliun," kata Irmawati, dalam acara Media Forum PEFINDO Semester II Tahun 2024, Rabu (11/12/24).
Lebih lanjut menurut Irmawati, selain karena nilai jatuh tempo yang besar, penerbitan obligasi korporasi tahun depan bakal didukung aktivitas sektor rill yang diperkirakan relatif menguat. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan terdorong oleh kebijakan pemerintah ekspansif dengan inflasi yang masih terkendali.
Suku bunga acuan yang lebih rendah sejalan dengan ekspektasi berlanjutnya pelanggaran kebijakan moneter turut berpotensi mendorong penerbitan tahun depan lebih tinggi.
Selain itu, Likuiditas Lembaga Keuangan yang semakin ketat bisa mendorong perusahaan mencari alternatif dana yang relatif murah, seperti obligasi korporasi, untuk mendukung leverage keuangan dan permintaan bisnis yang akhirnya disalurkan menjadi kredit/pembiayaan.
"Premi diperkirakan relatif melandai juga menjadi peluang penerbitan obligasi korporasi tahun depan, seiring dengan leverage keuangan yang membaik akibat suku bunga yang relatif lebih rendah," terang Irmawati.
Pada sisi lain Irmawati meneropong, penerbitan obligasi korporasi bisa terbatasi risiko geopolitik yang masih diperkirakan tinggi. Risiko perang meningkat bisa membuat pasar lebih volatile dan menciptakan premi yang lebih besar.
"Tantangan lainnya adalah potensi fluktuasi nilai tukar yang bisa saja terjadi seiring dengan kemungkinan pelonggaran moneter di negara maju utamanya AS. Jika suku bunga dipangkas lebih lambat akibat ekonomi yang masih kuat dan risiko inflasi yang lebih kaku, maka perusahaan mungkin menahan penerbitan obligasi," ujarnya.
Dirut Irmawati menerangkan, yield obligasi pun bisa cenderung kaku untuk turun seiring dengan rencana penerbitan surat lebih besar. Persaingan dari instrumen substitusi seperti SRBI & SUN akan juga bisa membatasi penerbitan obligasi korporasi karena berpotensi membuat penyerapan penerbitan kurang maksimal.
Obligasi korporasi juga bisa dihindari oleh investor utama yang cenderung mengurangi eksposur pada peringkat tertentu (kategori BBB) dan sektor tertentu. Penghindaran ini membuat risiko penerbitan dari peringkat dan sektor tersebut terbatasi atau lebih rendah.
Suhindarto Ekonom Pefindo memperkirakan, persaingan likuiditas memang menjadi salah satu risiko utama penerbitan obligasi tahun depan lebih rendah. Apalagi, tahun depan surat utang jatuh tempo pemerintah diperkirakan mencapai Rp 750 triliun, lebih tinggi dari tahun ini sebesar Rp 400 triliun.
"Suplai obligasi pemerintah yang lebih besar tahun depan karena anggaran pemerintah yang bertambah untuk kebutuhan pembiayaan lebih lanjut. Pada akhirnya, ketersediaan obligasi pemerintah yang lebih besar bisa membatasi minat investor terhadap obligasi korporasi," kata Darto.
Ekonom Pefindo ini mencermati, investor asing utamanya lebih memilih berinvestasi di Indonesia melalui Surat Utang Negara (SUN) untuk tenor menengah. Sementara itu, SRBI dipilih untuk tenor pendek, sehingga menjadi risiko bagi penyerapan obligasi korporasi yang dalam beberapa tahun lebih sering terbitkan tenor pendek.
"Kompetisi antara obligasi pemerintah dan korporasi membuat surat utang korporasi kurang terserap maksimal. Banyak investor lebih memilih aset risk free di pasar surat utang pemerintah," imbuh Darto dalam kesempatan yang sama.
Darto menyatakan, dari sisi yield kupon obligasi korporasi tahun depan bakal mengekor yield atau imbal hasil surat utang pemerintah sebagai acuan (benchmark). Yield SUN tenor 10 tahun sebagai acuan diperkirakan di level 6,31%- 6,69%, lebih rendah dari tahun ini kisaran 6,65% 7,2%.
"Yield obligasi turun utamanya berpotensi dipengaruhi suku bunga acuan yang kemungkinan besar dipangkas tahun depan. Namun, yield bisa cenderung kaku untuk turun karena persaingan ketat antara obligasi pemerintah dan korporasi, serta suplai yang besar di pasar. *** (Won008)
-
Sering Blunder, Didepak MU? Kiper Jepang Jadi Kandidat Pengganti Andre Onana Onana sering melakukan blunder yang mengakibatkan kerugian bagi skuad Setan Merah
-
Didepak Arsenal, Aaron Ramsdale Ditampung Southampton Arsenal telah lama ingin mendepak Ramsdale yang kehilangan tempatnya karena kehadiran David Raya
-
KAI Gelar Promo Bursa Pariwisata, Dapatkan Tiket Kereta dengan Diskon 20 Persen Promo ini ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kepada pelanggan pada periode akhir April 2024 dengan tarif yang terjangkau. KAI berharap masyarakat memanfaatkan promo ini sebaik-baiknya
-
Kinerja Gemilang: ELNUSA Kembali Terpilih Sebagai Konstituen Indeks PEFINDO iGrade Indeks PEFINDO i-Grade merupakan salah satu indeks harga saham dengan performance terbaik di pasar modal Indonesia