
Menghadapi Krisis Air: Tantangan dan Solusi untuk Keberlanjutan di Indonesia
Jakarta, MERDEKANEWS - Demak menjadi salah satu lokasi utama dalam pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro (UNDIP). Sudah empat hal yang dilakukan oleh UNDIP dalam hal ini, antara lain: 1) Desalinasi : mengubah air payau menjadi air siap minum. 2) Sanitasi, menyediakan jamban untuk warga miskin di sana, bentuknya adalah jamban perban maksudnya jamban yang tempat dibuat tinggi, karena daerah tersebut selalu mengalami dampak akibat naiknya permukaan air laut, jadi harus selalu diuruk. 3) Penanganan stunting. 4) Ekoturisme, mencoba mengubah rob itu menjadi berkah melalui satu proyek, menyulapnya menjadi wisata.
Selain di Demak, pengabdian masyarakat Universitas Diponegoro juga dilakukan di Grobogan, Blora, dan Jepara. Ke depan, dengan kerja sama antara UNDIP dan swasta serta pemerintah, akan ada lebih banyak kabupaten/kota Jawa Tengah yang menjadi tempat pengabdian.
Hal ini untuk mewujudkan tagline UNDIP Bermartabat dan UNDIP Bermanfaat di mana UNDIP tidak hanya berkomitmen untuk menjadi universitas kelas dunia dalam riset namun juga bermanfaat untuk sekitar khususnya untuk provinsi Jawa Tengah di mana UNDIP berada yang masih menempati peringkat kedua nasional dalam hal jumlah penduduk miskin
Hal ini disampaikan oleh Wakil Rektor IV Universitas Diponegoro, Wijayanto yang mewakili Rektor Universitas Diponegoro, Prof. Suharnomo dalam diskusi “Menghadapi Krisis Air: Tantangan dan Solusi untuk Keberlanjutan di Indonesia”. Diskusi forum Juara ini diadakan bekerjasama dengan Universitas Diponegoro, Universitas Paramadina, LP3ES, INDEF dan KITLV Leiden diadakan melalui zoom meeting pada Minggu (29/9/2024).
“Ini menjadi penting karena di Blora, misalnya air di Blora itu selalu berpadu kapur, sehingga membuat gizi pada masyarakat di sana terhambat. Ketika air tercampur dengan kapur, nutrisi yang masuk kemudian tidak bisa dicerna dengan baik” tutur Wijayanto.
Wijayanto memaparkan bahwa pada Forum Air Dunia memperkirakan tahun 2025 ada 1,8 miliar penduduk dunia akan menghadapi ‘kelangkaan air mutlak’, yaitu tidak bisa memenuhi kebutuhan air minimal 500 meter kubik per tahun per kapita. Setidaknya 50 persen populasi dunia, yaitu 4 miliar jiwa, bakal mengalami kekurangan air setidaknya selama satu bulan dalam setahun.
Di Indonesia, krisis air bersih juga menjadi problematika tak kunjung selesai yang terutama disebabkan oleh berbagai hal diantaranya buruknya pengelolaan sumber daya air, pencemaran air, eksploitasi air tanah termasuk oleh industri air minum, deforestasi, alih fungsi lahan hingga perubahan iklim dan El Nino.
“Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang dipublikasi oleh Kompas pada 28/09/2023:sejak 14 hingga 21 September 2023, setidaknya 166.415 penduduk Indonesia yang tersebar di 53 kecamatan di 11 provinsi mengalami krisis air bersih. Daerah-daerah yang mengalami kekeringan sendiri hingga Agustus 2023 ini banyak terjadi di Pulau Jawa termasuk di Jawa Tengah. Di Jawa Tengah, di Juli 2024 tercatat sudah ada 30 kabupaten/kota yang menetapkan status siaga darurat kekeringan” tegas Wijayanto.
Prof. Syafrudin, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Diponegoro melihat air merupakan kebutuhan pokok dalam setiap sektor di mana pengelolaan sumber daya air dilakukan secara utuh dari hulu ke hilir. Kemudian permasalahan sumber daya air disebabkan oleh seperti meningkatnya limbah industri, penggundulan hutan, meningkatnya erosi dan sedimentasi di sungai, rendahnya kesadaran dan peran masyarakat.
Ia melihat isu strategis pengelolaan sumber daya air meliputi ketersediaan air, daya rusak air dan produktivitas air. Kemudian pengelolaan sumber daya air bertujuan untuk ketahanan pangan, ketahanan air, ketahanan energi dan ketahanan bencana.
Dalam bagian kawasan sesuai tata ruang di mana ada kawasan pabrik air yang mampu menangkap air dengan sangat banyak, kawasan distribusi air mampu melakukan penyimpanan air berupa waduk, kawasan pemakai air melakukan pemanfaatan air secara keseluruhan dan kawasan muara yang di dalamnya terdapat pantai. “Sebelumnya menggunakan UU 7/2004 sekarang sudah menggunakan UU 17/2019 tentang Sumber Daya Air” imbuh Syafrudin.
“Di saat musim penghujan kita selalu kebanjiran karena konsistensi ruang yang tidak dijalankan sepenuhnya kemudian menjadi faktor penyebab banjir ada yang pasif disebabkan oleh alam dan aktif disebabkan oleh manusia” katanya.
Renstra pengolahan sumber daya air merupakan implementasi dari UU 17/2019 yang diwujudkan dalam perpres memiliki prinsip menjamin sumber daya air untuk menunjang di dalam pembangunan. Disisi lain, melindungi dan memberdayakan masyarakat, termasuk masyarakat adat, dalam upaya konservasi air dan sumber air.
Telah dikeluarkan Perpres 37/2023 tentang kebijakan nasional sumber daya air sebagai peraturan yang mengatur mengenai tindakan yang akan diambil oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan mengenai air. Kemudian, Perpres 30/2024 mengatur mengenai pengelolaan sumber daya air secara menyeluruh. Pola pikir pengelolaan sumber daya air berkelanjutan di dalam konteks pembangunan Indonesia akan ada pembangunan berkelanjutan diatur dalam tata ruang meliputi 3 hal yaitu konservasi sumber daya air, pengendalian daya rusak air dan pendayagunaan sumber daya air secara berkelanjutan.
“Adapun strategi pengelolaan sumber daya air untuk memiliki ketahanan air dengan harus memiliki pengembangan SPAM, peningkatan kesadaran masyarakat dan pembangunan tampungan air” kata Syafrudin.
Titik Istikhatun, Akademisi Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro melihat ancaman krisis air sangat dekat dengan, di Indonesia sudah banyak terjadi krisis air. Ketidakseimbangan ini antara lain karena adanya peningkatan jumlah penduduk, terbatasnya pasokan air bersih, kemudian pengelolaan sumber daya air dan sanitasi serta penurunan kualitas sumber air. Terjadinya intrusi atau penerobosan air laut atau air payau ke daratan.
“Banyaknya tantangan yang di hadapi dalam penyediaan air bersih menjadi tantangan di mana penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya air yang tersedia, peningkatan biaya operasi penyediaan air akibat kenaikan harga BBM, penurunan kesadaran masyarakat atau industri terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas yang dilakukan, peningkatan tuntutan terhadap kesehatan dan peningkatan gas rumah kaca dan pemanasan global” Tegas Titik.
Untuk menyediakan air bersih yang berkualitas ada 5 permasalahan yang dihadapi yaitu mengenai pasokan, penarikan, penurunan kualitas air baku karena kontaminasi, alih fungsi air hutan untuk pertanian dan pertumbuhan industri yang terus meningkat.
Maka dari itu, Titik melihat harus ditetapkan dengan teknologi yang tepat di mana sangat penting untuk melihat dari segi kriteria yaitu spesifikasi yang menunjukkan kualitas minimum yang harus dimiliki air dan sangat penting untuk menentukan karakteristik inlet. Kemudian standar juga sangat diperlukan, di mana standar yang mengacu ada karakteristik yang dipenuhi oleh air limbah agar dapat dibuang secara legal ke badan penerima dan mengacu pada kualitas air outlet, setelah dilakukan pengolahan sesuai tujuan.
Dengan teknologi membran atau filtrasi adalah lapisan tipis di antara dua fase yang bersifat selektif dengan gaya dorong tertentu dapat memisahkan satu atau lebih komponen dari campurannya. Buruknya sanitasi dan pembuangan limbah yang tidak tepat berakibat pada terkontaminasinya sumber air permukaan atau tanah oleh patogen dan zat-zat kimia berbahaya. Diperlukan teknologi yang mampu menghilangkan berbagai jenis kontaminan.
“Nano filtrasi juga bisa digunakan dalam nanofiltrasi (NF) dan reverse osmosis (NF). Jika melihat Indonesia, bahwa jumlah air tawarnya hanya sekitar 3% sedangkan sisanya sebanyak 93% merupakan air laut dengan kadar garam tinggi, sehingga NF dapat digunakan untuk teknologi desalinasi air laut dan limbah cair” tutur Akademisi Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro itu.
“Kondisi krisis air saat ini tidak dilepaskan dengan pembangunan harus berjalan, jumlah penduduk harus bertambah, resourcesnya tetap tetapi tidak terkelola dengan baik karena ada berbagai kepentingan di dalam air tersebut. Teknologi siklus hidrologi mengenai air menguap, kemudian mengembun menjadi hujan dan tersimpan di gunung sangat baik. Berdasar pada Resolusi PBB 147/1993 menetapkan bahwa 22 Maret merupakan hari air sedunia” tutur Nyoman Widiasa, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Indonesia memiliki sumber air 6 kali dari rata-rata dunia, tetapi memiliki keterbatasan sistem sehingga tidak bisa meniru apa yang dilakukan dan dikembangkan oleh Singapura. Pemerintah menargetkan akses terhadap layanan air minum mencapai 100%, tetapi sepertinya hal ini tidak dapat dijalankan dengan baik oleh pemerintah karena hingga saat ini belum juga berhasil mengenai target tersebut.
Membran dapat memisahkan apa pun sangat enak, tetapi perlu banyak yang kita perhatikan agar bisa diadaptasi karena kegagalan teknologi. Teknologi mengenai prodiksi air minum AMIU dengan menggunakan membran memiliki usia pakai 3 – 7 tahun. Penyediaan air sebagai hal penting untuk keamanan negara, sehingga menjadi pilar terhadap ketahanan pangan dan energi bahkan keamanan sosial.
Alif K. Sahide, Forest and Society Research Group melihat air dalam kacamata adil, seperti yang sering disebutkan di Pancasila. “Mainstream untuk mengatasi krisis sering kali menihilkan peran-peran masyarakat dan lebih memilih menggunakan cara untuk mengatasi atau menghindari krisis yang ada tersebut ke mereka yang lebih punya uang atau private dan ke orang yang lebih punya kuasa atau power” terangnya
Berdasarkan pemikiran Elinor Ostrom, terdapat banyak jenis barang yang disebut commons. Prinsipnya jika memenuhi, maka bisa menjadi suatu cara untuk pengelolaan sumber daya air. Sebagai contoh, Alif menilai air dapat menjadi barang sumber daya bersama. Dibandingkan dengan lahan yang biasanya mendapatkan tantangan individuasi yang dalam.
Terdapat 3 bagian untuk menilai kesetaraan atau keadilan dan titik masuk, yaitu dapat dilihat dari prosedur di mana keterlibatan dalam aturan dan pengambilan keputusan, yang kedua distribusi biaya dan manfaat dan ketiga adalah pengakuan untuk mengakomodasi pengetahuan, norma dan nilai pemangku kepentingan. “Kemudian muncul pertanyaan bahwa apakah krisis itu muncul dari ketersediaan atau justru keadilan? Sering kali relasi pengelolaan air ini dipengaruhi juga dengan aktor-aktor yang bersifat subordinat, terutama yang memiliki hubungan kuasa antara pemerintah, investor dan penerima manfaat” kata Alif.
Ia menilai UU 17/2019 dan omnibus law jika dilihat dari berbagai kajian sangat menguntungkan pihak private. “Hal ini dapat dilihat dari adanya bagian penyelesaian sengketa dan gugatan Masyarakat dan organisasi, selain itu juga hak guna telah dihapuskan dan diganti dengan penugasan kembali negara terhadap hak masyarakat atas air. Selain itu juga pada UU tersebut, tidak mengatur secara konkret kewajiban hukum maupun sanksi apa pun kepada pelaku usaha AMDK” tuturnya.
Ketimpangan yang terjadi ini sering kali diselesaikan dengan cara teknokrasi yang tidak bersifat situated science. Teritorialisasi, di mana banyak sekali bendungan-bendungan yang dibangun, yang pada akhirnya menimbulkan permasalahan baru terhadap kelompok rentan dalam penggunaan lahan.
Zaenal Muttaqien, Peneliti LP3ES melihat dalam regresi demokrasi dengan konteksnya irigasi dan kekurangan sumber daya air, data-data dari pemerintah itu menunjukkan bahwa di dalam infrastruktur irigasi bahwa trend anggaran untuk irigasi itu cenderung naik pada periode 2010- 2014, namun kondisi jaringan irigasi cenderung menurun.
Mengacu pada Bappenas, dalam pemaparannya ia menjabarkan bahwa kewenangan daerah memiliki tingkat kerusakan paling parah. Namun, justru DAK irigasi cenderung turun pasca 2016, berbanding terbalik dengan alokasi dana di pusat yang cenderung naik. Dari total luas irigasi permukaan seluas 7,15 ha, 46% atau seluas 3.300.000 ha dalam kondisi rusak, yang terdiri dari : 7,5% atau senilai 535.000 ha yang merupakan kewenangan pusat, 8,26% atau senilai 590.000 ha kewenangan provinsi dan 30,4% atau senilai 2.200.000 ha merupakan kewenangan kabupaten/kota.
“Sebenarnya terjadi inefisiensi karena dalam konteks demokrasi, penggunaan popularitas menjadi salah satu instrumen untuk membuat kepala daerah untuk terpilih, sehingga mereka intens di sumber daya air, begitu diberi dan infrastruktur diberi. Namun human capital-nya tidak dan national government-nya tidak dijaga dengan baik, itu menjadi inefisiensi” tuturnya.
Dalam konteks demokrasi, sosial kapital atau budaya itu karena memang mau adanya masyarakat yang peduli dengan sumber daya air, sehingga infrastruktur terjaga dengan baik. Sama halnya dengan air, yang dijaga agar tidak dirusak oleh masyarakat. Kemudian dalam konteks demokrasi, social capital atau budaya, salah satunya adalah karena partisipasi masyarakat yang peduli terhadap sumber daya air, sehingga infrastruktur mau terjaga dengan baik.
Dalam hal ini, kepemimpinan yang baik, yang menerapkan sistem meritokrasi, menjadi kunci untuk memastikan pengelolaan sumber daya air yang efektif dan berkelanjutan. Penting untuk tidak hanya memfokuskan perhatian pada pembangunan infrastruktur. Tetapi juga pada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dan bermakna dalam proses pengambilan keputusan. Tak hanya itu, partisipasi masyarakat yang tinggi, bukan hanya dalam bentuk prosedural. Namun juga dalam kontribusi nyata terhadap kebijakan, akan menciptakan sinergi yang kuat antara pemerintah dan warga, mengarah pada pengelolaan sumber daya air yang lebih adil dan demokratis. (Viozzy)
-
Kolaborasi WEGE dan DEX Luncurkan Netro: Revolusi Sistem Hunian Modular Cerdas Berkonsep Net Zero Pertama di Indonesia Netro dirancang untuk menjawab kebutuhan akan tempat tinggal yang berkelanjutan, Netro dapat beroperasi efisien, hemat energi dan menekan emisi karbon dengan cara cerdas (smart system)
-
Futuristic Policing: Prediksi, Antisipasi dan Solusi Futuristic Policing: Prediksi, Antisipasi dan Solusi
-
Kemenperin Dukung Industri Halal Optimalkan Peluang dan Jawab Tantangan Global Kemenperin Dukung Industri Halal Optimalkan Peluang dan Jawab Tantangan Global
-
Indonesia Dukung Resolusi PBB Tuntut Isarel Akhiri Pendudukan di Palestina Indonesia siap mendukung implementasi Resolusi dan tegaskan Solusi Dua Negara untuk tercapainya perdamaian yang adil, abadi, dan komprehensif