merdekanews.co
Sabtu, 10 Maret 2018 - 00:30 WIB

Ketimpangan Ekonomi Jakarta, Antara Pengontrak Dan Si Tajir

Ira Safitri - merdekanews.co
Kawasan padat penduduk di Jakarta.

Jakarta, MERDEKANEWS - Jakarta memang masih menjadi gula. Mengais rejeki di ibukota menjadi impian semua orang dari daerah.

Berbekal ijazah S-1, SMA hingga SMP mereka mengadu nasib. Impiannya hanya satu yakni menjadi sukses dan bisa dipandang di kampungnya.

Tapi, mengejar mimpi tentu tidak mudah. Tercatat dari 70 ribuan pedatang baru hanya satu hingga dua persen saja yang bisa bertahan hidup di Jakarta.

Tragisnya mereka yang bertahan hanya bisa hidup mengontrak. Inilah ketimpangam yang terjadi di ibukota, jarak antara si miskin dan si tajir sangat memcolok.

Dengan daya dukung yang ada saat ini, beban maksimal Jakarta menampung 12,5 juta penduduk. Jumlah itu diprediksi baru akan terjadi pada 2030.

Namun, kenyataannya saat ini pada siang hari ada sedikitnya 14,5 juta warga yang beraktivitas di Jakarta.

Adapun jumlah penduduk Jakarta sendiri saat ini mencapai 10,2 juta jiwa. Arus urbanisasi yang selalu terjadi seusai Idul Fitri menjadi perhatian pihaknya. Setiap tahun, sedikitnya 65.000 pendatang baru datang ke Jakarta memanfaatkan momentum arus balik Lebaran.

Secara keseluruhan, jumlah pendatang ke Jakarta setiap tahun rata-rata bisa mencapai 100.000 orang. Dengan luas wilayah sekitar 740 kilometer persegi, idealnya Jakarta hanya menampung 7,5 juta jiwa.

Hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa kesenjangan ekonomi di Jakarta relatif tinggi. Hal ini tercermin melalui angka gini rasio yang mencapai 0,413 pada Maret 2017.

Angka ini lebih tinggi dari gini rasio nasional yang mencapai 0,393. Secara nasional, ketimpangan di Ibu Kota termasuk yang paling tinggi setelah Daerah Istimewa Yogyakarta (0,432) dan Gorontalo (0,430).

DP 0 Persen dan Larangan Motor

Ketimpangan yang mencolok terlihat di pemukiman padat penduduk. Untuk kontrakan ukuran 3X4 di kawasan Kedoya Utara misalnya bisa mencapai Rp 800 ribu per bulan.

Ruangan sumpek itu terkadang dihuni hingga 5 orang. Dengan MCK bersama-sama, para pengontrak terkadang sulit untuk membuang air besar.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkap alasannya sehingga kukuh mempertahankan dua programnya yang dicibir sejumlah pihak. Yakni program kepemilikan rumah tanpa uang muka atau DP Nol Rupiah dan mengizinkan sepeda motor melintasi Jalan Jenderal Sudirman-MHThamrin.

Mengenai DP Nol Rupiah, Anies mengaku ingin menghapus ketimpangan ekonomi di Jakarta. Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu menegaskan, programnya berbeda dibanding rusunawa.

Anies menuturkan, lebih dari 50 persen penduduk DKI masih mengontrak atau menyewa tempat tinggal.

“Sementara Jakarta adalah kota yang harga huniannya naik terus," kata Anies saat memberikan sambutan dalam acara ramah tamah pengurus Asril Center di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (9/3).

Lebih lanjut Anies mengaku khawatir kesenjangan antara warga DKI yang punya rumah dengan yang mengontrak akan makin tajam. Dia menegaskan, jika masyarakat kurang mampu dibiarkan tidak memiliki tanah, maka hal itu akan menjadi bom waktu.

"Karena itu kami ngotot dengan program ini, supaya warga Jakarta terbawa eskalator sosial," katanya.

Sedangkan soal kebijakan mengizinkan sepeda motor melintasi Jalan Jenderal Sudirman-MH Thamrin, Anies menegaskan hal itu sebagai keberpihakannya pada ekonomi rakyat kecil.

Menurutnya, melarang sepeda motor melintasi kawasan Jalan Sudirman-Thamrin Anies hanya akan merusak hati.

"Awal-awal saya tugas, saya melihat itu. Saya katakan bongkar ganti rancangan ini, motor harus masuk Sudirman-Thamrin," kata Anies.

Kata Anies, kebijakan ini sangat berpengaruh terhadap pengemudi ojek online. Terlebih, data per hari menunjukkan ada 480 ribu pengantaran berbagai jasa di kawasan itu.

"Jadi, keberpihakan itu bukan kami lakukan dalam retorika, tapi dalam mindset. Mindset-nya adalah bahwa setiap policy harus membuat  kesetaraan kesempatan kepada warga Jakarta," tandas Anies

  (Ira Safitri)