merdekanews.co
Minggu, 06 Agustus 2023 - 11:15 WIB

Gitu Aja Kok Repot: Politik Mesem, Adem Ayem

Viozzy - merdekanews.co
Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si.

Tegal Parang, MERDEKANEWS -- "Gitu aja kok repot" kelakar Gusdur yang melegenda. Apa yang dikatakan Gus Dur bukan menggampangkan melain menyejukan, mengingatkan kita semua untuk tidak terlalu baperan, tidak memperumit atau mempersulit dan tak memperkeruh suasana. 

Di tahun politik, situasi dan suasana memanas perlu ada pendingin membuat mesem, adem ayem. Pemilu merupakan pesta kebudayaan dan ikon peradaban dalam suksesi kepemimpinan. Di era post truth seakan semua di maharkan, wani piro oleh opo, umek bikin puyeng dan memancing konflik dengan berbagai provokasi yang mengobok obok opini publik.

Mahar dapat dipahami sebagai tanda saling memahami, saling menerima, sejatinya bukan sebagai transaksi jual beli. Mahar dapat juga dipahami sebagai wujud penghormatan atau kompensasi atas sesuatu sebagai tanda kasih. 

Mahar memang bukan bisnis. Bisa saja dengan barang atau uang. Apa yang diberikan bisa lebih murah atau lebih mahal. Mahar biasanya berkaitan dengan barang barang yang berkaitan dengan kekuatan supranatural.  

Istilah mahar banyak digunakan untuk menghaluskan atau membuat lebih sopan atas sesuatu yang berkaitan dengan politik, jabatan, kekuasaan dan sebagainya. Mahar menjadi tanda kesepakatan yang dimanfaatkan para broker untuk menjembatani pemberian rekomendasi, restu atau sebagai keluarga atau saudara. Mahar menjadi bagian dari transaksi sponsor atau rekomendasi atau perjanjian perjanjian untuk transaksi pra, saat maupun paska. 

Para broker sadar kaum ningrat tidak mau kotor tangannya agar tetap terkesan anggun, baik dan benar, walau maunya tetap lebih besar atau lebih banyak. Broker akan menjadi penghubung sekaligus jagal dan dept collectornya. 

Para broker memang lihai melayani dan membuat happy para kaum ndoro. Broker inilah yang mondar mandir mencari orang yang cocok untuk per maharan. Tatkala sudah deal maka broker akan mencarikan persyaratan dan mempertemukan dengan ndoro untuk memberi restu atau rekom atau sponsor. 

Semakin besar sumberdaya yang ditransaksikan akan semakin besar maharnya. Para broker ini orang yang paling menikmati dan menguasai. Broker bagai promotor tinju, tidak peduli dengan kalah menang yang penting cuan.

Para broker menyadari bahwa pendekatan personal dalam birokrasi menjadi ladang emasnya. Para broker memposisikan sebagai soft power atau smart power. Komunikasi, kedekatan, kepercayaan menyimpan rahasia menjadi kebanggaannya. Pra broker ini selama menguntungkan akan semakin loyal. Pelayanan personal menjadi yang pertama dan utama. 

Para broker rela untuk mbabu asalkan tetap dekat dengan ndoro. Asal ndoro senang apapun ia lakukan. Para broker ini bagai renang katak kerjanya, menyembah ke atas, menyempak yang di samping dan menginjak yang di bawah. 

Para broker mampu menentukan mahar sesuai dengan stratifikasi kekuatan atau kekuasaan yang ditawarkannya. Semakin besar proyek yang ditawarkan maka akan mematok mahar besar. Mahar menjadi topeng transaksi. Yang variasinya beragam dari uang tunai, sertifikat, atau apa saja yang dianggap sesuai dengan nominal yang telah disepakatinya. 

Mahar menjadi sesuatu yang bukan tabu dan tanpa malu-malu dipatok angka. Mahar di tangan broker akan berkembang dalam jejaring mafia. Ndoro senang semua aman nyaman dan kerja ubyang-ubyung semua serba ada serba beres. 

Mahar telah disalahpahami dan dimaknai bukan sebagaimana yang semestinya. Mahar bukan di pasar dan bukan dipatok dalam besaran angka. Mahar menjadi transaksi informal saling percaya dan apapun yang terjadi tetap maju tak gentar membela yang mbayar.

Kartunis Non O (Sudi Purwono, Gatot Eko Cahyono, Anwar Rosyid, pelukis Joko Kisworo bersama saya berbincang bincang menyikapi soal tahun politik yang memanas. Perseteruan di media sosial semakin menggelinding bagai bola salju yang menabrak ke mana-mana. Kartun dan dan karikatur kami bahas untuk penyejuk suasana yang nampaknya mulai nggege mongso.

Memahami makna "nggege mongso" dalam bahasa Indonesia memang tidak mudah. Namun setidaknya memenuhi unsur : 

1. Memaksakan kehendak, 

2. Ada kelicikan dalam kesempitan dijadikan kesempatan, 

3. Menghalkan segala cara, 

4. Tidak bercermin diri dan peduli orang lain susah karenanya, 

5. Orientasinya melenceng dari keutamaan, 

6. Ada sifat jumawa, 

7. Hasrat yang cenderung serakah, 

8. Pendekatan uang, kekuasaan, dan pendominasian pengeksploitasian sumberdaya, 

9. Moralitasnya rendah 

10. Lupa bahkan mengabaikan penghormatan akan nilai nilai yang diyakini dan berlaku umum serta tidak ada tata krama.

Orang yang nggege mongso akan memanfaatkan kesempitan dalam kesempatan mendominasi semua lini sumberdaya. Akan membangun klik dengan pendekatan personal sebagai kroninya. Kekuasaan dan kewenangan dijadikan alat memaksakan kehendak. Kepandaiannya, powernya bukan mencerdaskan malah memprovokasi yang membodohi dan mengobok-obok opini. 

Kemampuannya menggunakan berbagai topeng untuk menutupi ketidaktulusannya, sarat kepura-puraan, bagai pion yang dikendalikan demi memaksakan kehendak mengabaikan keutamananya. 

Kaum nggege mongso biasanya lali. Lali itu lupa atau bisa dimaknai lebih luas gila. Gila harta, gila tahta bahkan gila wanita. Hidupnya nampak penuh kegelisahan, kelawatiran bahkan ketakutan. Dari takut disingkirkan, ditinggalkan sampai dimatikan. Untuk menutupi kesemuanya itu sikap jumawa dan jaga image dilakukan. Topeng-topeng pikiran perkataan dan perbuatan manis sebagai lip service tiada ketulusan.

Kaum nggege mongso membangun pengeksploitasian sumber daya dengan model pasar. Wani piro oleh piro. Kaum ini akan dianggap dewa karena bagi sana bagi sini untuk mendapatkan legitimasi dan solidaritas. Yang semuanya semu, floating mass, tidak mempunyai akar rumput. Kaum nggege mongso ini sejatinya sarat supata. Lupa akan sumpah dan janjinya menjadikan karma tiba.

Karikatur maupun kartun di tahun politik dapat menjadi oase untuk berpolitik dengan mesem hati adem ayem. Walaupun ada kritik namun tetap santun dan fun yang digambarkan secara surealis satir karikatural model guyon maton atau guyon parikeno. 

Kecerdasan sang karikaturis terlihat pada ide teknik dan kritik tegas namun tetap pada koridor yang humanis dalam penyampaiannya. Yang dikritik tidak marah walau kuping atau wajahnya memerah namun tetap diikuti senyuman bahkan bisa tertawa lebar. Dampaknya ada penyadaran dan transformasi kebaikan dan kebenaran.

Kartun dan karikatur sama-sama mencerahkan, menghibur dan memberi ruang bagi para senimannya berkarya melampiaskan ide gagasan cerdas dalam bentuk rupa.

Berdialog dengan cara yang fun membuat kepala dingin tidak terprovokasi anarkisme.  Situasi di tahun politik banyak hal yang nyebelin. Nyebelin dapat dikatakan membuat hati tidak nyaman. Keberadaannya sering dianggap duri dalam daging, dikawatirkan mengganggu atau merusak suasana mesem yang adem ayem. 

Beberapa sikap yang bisa dikategorikan nyebelin antara lain : 

1. Sikap merasa paling dari yang paling benar sampai dengan yang paling menderita dan menuntut orang lain mau memakluminya. 

2. Serba berlebih dari yang pada umunya, lebay dalam perkataan perbuatan dan tingkah laku, senantiasa ingin dominan dan mendominasi. 

3. Menghakimi dan mencari cari kesalahan menyalah-nyalahkan tanpa solusi. 

4. Memandang orang lain dalam posisi salah, lemah, dungu 

5. Kemampuannya bukan untuk kebaikan malah untuk memprovokasi dengan ujaran kebencian 

6. Kebat kliwat, melampaui batas norma yang dapat diterima publik 

7. Selalu menuntut 

8. Mau menang dan untung sendiri 

9. Mbulet, berbelit belit dan senang membuat susah 

10. Semaunya sendiri, merasa paling benar, jika diberitahu ngotot dengan apa yang diyakininya, bahkan maunya memaksakan kehendak.

Namun di dalam dunia seni kartun dan karikatur tokoh yang nyebelin malah dikangeni. Sebagai contoh karikatur GM Sudarta "Om Pasiko", karikatur Pramono Pramudjo "Keong", kartun Jony Hidayat "John Domino" dan sebagainya. 

Dunia lawak atau panggung. Sebagai contohnya: 

1. Sikap Mandra termasuk Benyamin Sueb, Atun, mas Karyo, Engkong dalam film Si Doel Anak Sekolahan. 

2. Gepeng Asmuni, Subur, Mamik, Triman, Timbul, Basuki, Polo, Gogon, pak Bendot, Kadir  dan hampir semuanya nyebelin. 

3. Cak lontong dengan gaya penjungkir balikan logika dalam monolog dan dialognya 

4. Butet Kertarajasa dengan monolog kritik dan plesetan-plesetanya hingga gaya menirukan sikap perilaku maupun perkataan para pejabat 

5. Komeng dengan celetukannya 

6. Kang Maman, Engkoh dan Sastro daei grup lawak De Kabayan 

7. Karjo acdc, Ester Prapto, Susi Sunaryo, Tesy, Mama Hengki yang berpenampilan wanita dalam panggungnya 

8. Cak Silo dengan Cak Ukil, Ucup Klaten dengan Mbah Minto, gaya MOP Papua, dongeng ala orang Sangir/orang manado (Mongol) atau pak Ndul sebagai core of the core juga Herman polisi Babhinkamtibmas dengan Dul Kemit atu Cingire yang saling ngotot dengan pendapatnya yang tidak rasional 

9. Kancil dengan Belong, Kirun dengan Bagio, Topan dengan Lesus  yang berpasang pasangan 

10. Dalam pewayangan juga ada puno kawan Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Cepot dan Dawala, Tualen dalam wayang Bali, Slenteng dan Lupit  

11. Dalam ludruk dan dagelan ada Gito Gati, Peyang Penjol, Basiyo, Kartolo dengan Cak Sapari ada Mbah Atemo dan sebagainya masih banyak lainnya. 

Walaupun menampilkan dengan cara nyebelin namun dicintai dan dinanti-nanti karena mereka jujur tulus hati tidak nggege mongso, memberikan hiburan dengan cara lugu lucu yang mencerdaskan. 

Gitu Aja Kok Repot: Politik Mesem Adem Ayem menjadi tema pameran kartun dan karikatur mendinginkan suasana dengan gaya guyon maton yang sarat pesan moral. 

CDL

Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si. (Viozzy)






  • Pemimpin: Guru Sang Pencerah Pemimpin: Guru Sang Pencerah Pemimpin yang guru dalam mendidik bukan sebatas merintah dan marah namun juga memberi pengetahuan untuk mencerdaskan, mencerahkan dan menyadarkan akan jatidirinya


  • Pemimpin dan Kepemimpinannya Pemimpin dan Kepemimpinannya Pemimpin dikenang bukan dari kekayaannya, kezalimannya, tetapi karena kerendahatiannya, empatinya, rasa senasib sepenanggungan, kerelaan berkorban, kemampuan membawa kemajuan, menempatkan pada tempat sebagaimana yang seharusnya