merdekanews.co
Selasa, 13 Juni 2023 - 11:31 WIB

Oleh: Muhammad Irvan Mahmud Asia

Peran dan Tantangan Sensus Pertanian 2023 Menjawab Kebutuhan Data Pertanian

### - merdekanews.co
Muhammad Irvan Mahmud Asia (DPP Pemuda Tani HKTI & Pusat Pengkajian Agraria dan Sumber Daya Alam)

Di tengah situasi ekonomi global yang tidak pasti bahkan resesi telah terjadi
di beberapa negara dan menjadi pasien IMF, aktivitas ekonomi Indonesia relatif stabil. Dan sektor pertanian berkontribusi positif pada ketahanan ekonomi Indonesia sejak Pandemi melanda Indonesia 2020 sampai tahun 2022. Sektor pertanian benar-benar teruji dan ini terbukti sejak krisis moneter 1997-1998 dan krisis keuangan global 2008, sektor ini pula yang menyelamatkan bangsa kita.

Dalam sistem perekonomian Indonesia, pertanian masih akan berperan besar dalam pembangunan ekonomi di masa mendatang. Prediksi ini didasarkan pada beberapa alasan: penyedia pangan utama, penyedia lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan masyarakat, industri yang prospek untuk dikembangkan utamanya pengolahan hasil pertanian, serta sebagai instrument pengentasan kemiskinan. Pentingnya pertanian sebagai salah satu sektor penting dalam sistem perekonomian sudah disadari Rpublik Rakyat China sejak abad ke VI, Lao Tze menuliskan “bahwa tidak ada yang lebih penting dari pertanian dalam urusannya mengatur orang”.

Kontribusi pertanian terhadap PDB Indonesia cukup besar meskipun kue sektor ini terus menurun dalam 23 tahun terakhir. Per Triwulan I 2023, peran sektor pertanian tercatat 11,77 persen dan menjadi salah satu dari empat lapangan usaha dengan kontribusi terbesar terhadap perekonomian nasional. Sektor ini juga sebagaimana di catat BPS (2022) mempekerjakan sekitar 40 juta orang (29,96) dari total angkatan kerja.

Di sisi lain, Nilai Tukar Petani (NTP) juga meningkat, dimana NTP Mei 2022 sebesar 105,41 naik menjadi 106,31 pada Agustus 2022. Dan Desember tahun yang sama menunjukkan peningkatan signifikan diangka 109,00. Trend kenaikan NTP ini berlanjut di tahun 2023 dimana Maret mencapai 110,85 meskipun di bulan April turun sebesar 0,24 persen menjadi 110,58 persen.

Lebih Jauh, bangsa berdaulat juga di ukur dari tingkat kedaulatan pangannya. Hal inilah yang terus menjadi agenda penting republik ini sejak berdiri tahun 1945 menjadi bangsa yang berdaulat pangan. Hal ini makin dipertegas lagi dalam Sustainable Development Goals (SDGs) - dijelaskan dalam target SDGs poin ke 2 yaitu tanpa kelaparan, menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan. Target SDGs tanpa kelaparan ini menjadi hal yang prioritas karena suatu negara dapat dikatakan makmur dan sejahtera apabila negara tersebut masyarakatnya tanpa kelaparan.

Target SDGs ini lebih jauh mengintegrasikan industri, inovasi dan infrastuktur. Penulis menggarisbawahi kata inovasi. Dalam paradigma pertumbuhan Schumpeterian yang menekankan pertumbuhan jangka panjang maka suatu usaha (dalam hal ini usaha pertanian) harus ditunjang oleh inovasi. Inovasi dalam pengertian Joseph Schumpeter adalah “kombinasi baru” dari pengetahuan, sumber daya, peralatan, dan faktor lainnya. Kombinasi ini mesti di kelola (manajemen) dengan baik yang mensyaratkan bahwa kita dapat menggunakannya dalam satu kesatuan. Dengan demikian, inovasi yang dibutuhkan sektor pertanian dan usaha tani bukan saja inovasi produk, inovasi proses, inovasi posisi tetapi juga inovasi paradigma yaitu perubahan mental yang mendasari apa yang mesti dilakukan oleh suatu organisasi dalam hal ini kelembagaan pemerintah yang mengurusi pertanian. Pengembangan sektor pertanian yang mandiri, modern dan maju secara berkelanjutan menjadi kunci untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan berdaulat pangan.

Dalam upaya mencapai kedaulatan pangan di Indonesia, salah satu tantangannya adalah ketersediaan data yang terbaharu dan akurat. Contoh, kita belum memiliki manajemen data pertanian yang mengakibatkan kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah terkait. Padahal data pertanian adalah dasar utama mengidentifikasi masalah dan untuk selanjutnya merumuskan kebijakan dan program yang tepat. Sensus Pertanian 2023 memiliki peran krusial dalam menjawab ini.

Potret diatas sejalan dengan tema Sensus Pertanian 2023 yang akan berlangsung dari 1 Juni - 31 Juli 2023 yaitu “Mencatat Pertanian Indonesia untuk Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani”. Sensus Pertanian 2023 merupakan kegiatan pengumpulan data untuk memahami dinamika sektor pertanian kita secara komprehensif. Misalnya luas lahan pertanian eksisting (termasuk sebaran dan rataan kepemilikan), tingkat produktifitas, jenis ternak dan perikanan, pelaku usaha pertanian (agribisnis) secara by name, by address, data geospasial statistik pertanian dan potensi pertanian termasuk urban farming, struktur demografi petani termasuk petani muda, hingga penyediaan basis data UMKM pertanian dan sebagainya. Khusus untuk petani muda, ini penting untuk dipotret secara jernih mengingat regenerasi petani kita mandeg. Saat petani kita di dominasi kaum tua (usia 50 tahun keatas) dengan tingkat pendidikan yang rendah (didominasi tamatan SD kebawah). Pertanian masa depan adalah pertanian yang padat teknologi, membutuhkan sumber daya manusia yang adaptif terhadap perkembangan sains dan teknologi.

Sensus Pertanian 2023 tentu memiliki peran signifikan. Pertama, sensus ini akan menghasilkan pembaruan data pertanian Indonesia, mengingat kurun waktu 10 tahun (sejak 2013) tentu ada banyak dinamika dalam pengembangan sektor pertanian Indonesia baik di pengaruhi faktor internal (dalam negeri) maupun faktor eksternal (luar negeri) terutama perang Rusia-Ukraina, perang dagang Amerika Serikat-Republik Rakyat China dan resesi ekonomi global sejak Pandemi Covid 19 sampai saat ini. Dengan membandingkan data dari sensus sebelumnya, pembuat kebijakan dapat menilai keefektifan kebijakan dan program yang ada, mengidentifikasi gap antar wilayah termasuk gender dalam pengembangan pertanian.

Kedua, sebagaimana dipesankan Presiden Joko Widodo dalam sambutan acara Sensus Pertanian 2023 (15 Mei 2023) bahwa sensus pertanian menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga butuh akurasi kebijakan dan akurasi kebijakan butuh akurasi data yang memungkinkan pengambil kebijakan untuk mengembangkan kebijakan sesuai kebutuhan petani, pelaku usaha pertanian, BUMN pertanian bahkan bank sebagai lembaga permodalan terutama menyangkut paradigma bankir yang masih memandang bisnis pertanian penuh dengan resiko.

Namun demikian, Sensus Pertanian 2023 bukan tanmpa tantangan. Pertama, besarnya skala dan keragaman pertanian menghadirkan tantangan logistic karena secara geografis wilayah kita adalah kepulauan yang luas dengan fasilitas yang terbatas. Kedua, memastikan akurasi dan reliabilitas data yang terkumpul. Penting untuk melatih pencacah memahami metodologi standar, dan langkah-langkah pengendalian mutu untuk meminimalkan kesalahan. Ketiga, pemrosesan dan analisis data harus tepat waktu dan ini butuh sumber daya manusia yang memadai sehingga penyebaran data yang dikumpulkan bisa efisien.

Sensus pertanian juga harus menjawab isu pangan yang cukup beragam dalam hubungan dengan perubahan iklim; pengetahuan dan adopsi teknologi yang masih rendah; permintaan pangan terus meningkat; food losses and waste; prevalensi stunting dan gizi buruk; penggerusan pendapatan petani karena ketersediaan dan aksesibilitas harga untuk produksi pangan, serta biaya pupuk, pestisida, dan barang modal pertanian yang terus meningkat; digitalisasi yang belum massif misalnya untuk mempersingkat rantai pasok dari petani ke konsumen; dan sebagainya.

Khusus perubahan iklim ini harus diperhatikan dengan baik. Berbagai hasil penelitian terkini menunjukan dampak perubahan iklim terhadap produksi. Dalam Laporan Dokumen Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Pertanian Indonesia: Fokus Komoditas Padi dan Kopi (Arabika Dan Robusta) yang dipublikasikan PIAREA Institute Tahun 2022 dimana BMKG (2019) merilis bahwa Indonesia mengalami kenaikan suhu rata-rata 0,030C per tahun - sehingga dalam waktu 30 tahun (2018-2048), suhu di Indonesia akan meningkat 0,90C. Peningkatan suhu disertai dengan meningkatnya frekuensi kejadian cuaca ekstrem yang bisa berdampak pada kedaulatan pangan Indonesia. Dalam Dokumen yang sama, sejak 1992-2020 kenaikan muka air laut mencapai 3.9 mm/tahun sehingga pada tahun 2100 kenaikan permukaan air laut akan mencapai 2 meter dan berpotensi menghilangkan 430.755 ha lahan sawah di Indonesia. Jika menggunakan standar kebutuhan konsumsi beras/kapita tahun 2021 sebanyak 124,3 kg/tahun, maka potensi hilangnya produksi beras setara dengan kebutuhan 17,7 juta orang.

Belum lagi praktik pertanian yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca, seperti penggunaan pupuk nitrogen, pestisida berlebihan, dan kegiatan pertanian lain yang melibatkan energi fosil. Ini harus dipotret juga, selanjutnya memotret perubahan penggunaan lahan guna memahami pola penggunaan lahan – termasuk deforestasi dan hal lain. Data tersebut dapat menjadi dasar merumuskan kebijakan pertanian berkelanjutan (sosial, ekonomi, dan ekologi).

Semua tantangan dan isu perlu disikaapi dengan kebijakan pertanian satu data dan tata kelola kelembagaan dan manajemen personalia yang kuat. Prinsipnya kolaborasi multipihak. Ikhtiar ini penting sebagai upaya serius dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan memastikan kedaualatan pangan nasional.

(###)