merdekanews.co
Sabtu, 10 Februari 2018 - 19:16 WIB

971 Kepala Daerah Pecah Kongsi

Mesra Saat Kampanye, Kepala Daerah Beda Parpol Sering Gaduh 

Sam Hamdan - merdekanews.co
Gubernur Jambi Zumi Zola, salah satu kepala daerah yang tersangkut hukum

Jakarta, MERDEKANEWS - Mesra saat kampanye tidak jadi jaminan. Terbukti ada 971 kepala daerah pecah kongsi dan gaduh usai dilantik. Konflik antar kepala daerah dan wakilnya terjadi di beberapa wilayah belakangan ini. Hal itu dinilai lantaran pasangan tersebut dipasangkan karena keterpaksaan atau dikawinkan paksa.

"Secara umum saya mengamati mereka berpasangan itu tidak karena suka sama suka tapi karena terpaksa. Jadi kalau itu yang terjadi saya sudah bisa mengira selanjutnya pecah kongsi kembali," kata Mantan Dirjen Otda Kemendagri, Djohermansyah Djohan di Gado-gado Boplo, Jalan Gereja Theresia, Jakarta Pusat, Sabtu (10/1/2018).

Djohermansyah menyebutkan, sejak Pilkada 2005 hingga hingga 2014, banyak kepala daerah yang berkonflik dengan wakilnya sendiri. Hanya 6 persen saja pesangan yang tak berkonflik.

"Kami mencatat waktu saya masih di Kemendagri dari kita Pilkada 2005, itu 94 persen pecah kongsi, 6 persen saja yang tidak pecah kongsi. Jumlahnya 971 pecah kongsi, yang tidak pecah kongsi 77. Itu 2005 sampai 2014," ujarnya.

Menurutnya, konflik itu biasanya terjadi karena kepala daerah dan wakilnya sama-sama berasal dari partai politik. Sedangkan, kepala daerah yang berpasangan dengan wakil dari non partai biasanya lebih bisa bertahan lama.

"Itu faktornya wakilnya bukan dari partai politik, biasanya birokrat, mereka sudah terlatih loyal, dengan begitu mereka berhasil survive dan bisa beepasangan lagi," pungkasnya.

Proyek Hingga Jabatan 

Tidak ada pertemanan politik yang abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi. Jika beda kepentingan dua sahabat pun bakal pecah. 

Itulah pepatah di dunia politik. Pecah kongsi kepala daerah bukan hal baru dalam dunia politik Imdonesia. 

Biasanya pasangan kepala daerah pecah kongsi karena faktor proyek atau soal posisi jabatan di dinas. Wakil bupati misalnya akan murka dengan bupati jika orangnya ditolak jadi kepala dinas. 

Ada juga istilah pembagian tidak rata. Apalagi jika pasangan calon kepala daerah berasal dari beda parpol. 

Diketahui, parpol pastinya memiliki beda kepentingan. Dari kepentingan inilah gesekan mulai terjadi di tingkat legislatif hingga mempengaruhi pasangan calon kepala daerah. 

Akan lebih elegan jika pasangan calon sebelum mendaftar KPUD melakukan kontrak politik atau kesepakatan tugas. Misalnya bupati bertugas membenahi ekonomi sedangkan wakilnya membersihkan birokrat. 
  (Sam Hamdan)