merdekanews.co
Rabu, 30 November 2022 - 18:43 WIB

Pengembangan Islam Wasathiyah, LPBKI-MUI Selenggarakan Silatnas IV

Hadi Siswo - merdekanews.co
Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI-MUI) menyelenggarakan Silaturahmi Nasional (Silatnas) ke-IV dengan tema Sinergi Pengembangan Literasi Islam Wasathiyah di Hotel Redtop Jakarta, Rabu (30/11/2022).

Jakarta, MERDEKANEWS --
Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI-MUI) menyelenggarakan Silaturahmi Nasional (Silatnas) ke-IV dengan tema Sinergi Pengembangan Literasi Islam Wasathiyah di Hotel Redtop Jakarta, Rabu (30/11/2022).

Ketua LPBKI-MUI, Endang Soetari, dalam sambutannya mengatakan bahwa di antara tugas LPBKI-MUI adalah pentashihah dan penerbitan buku dan konten keislaman, dan perwakawaf Al-Qur’an dan buku-buku, pengelolaan perpustakaan, sosialisasi, pelatihan, dan bimbingan.
Selain itu, LPBKI juga melakukan tashih alat peraga pendidikan dan fesyen Islam.

“Silatnas ini menjadi forum diskusi antara LPBKI dan pemangku kepentingan. Kita menjalin MoU dengan kampus, pegiat Islamic fashion (IRD dan UIK). Islamic fashion menjadi bagian penting dalam pengembangan Islam Wasathiyah,” jelasnya.

Ketua MUI, Utang Ranuwijaya, berharap acara silatnas menjadi program tahunan LPBKI sehingga diskusi dengan para pemangku kepentingan bisa dilakukan secara intens. Dikatakannya, LPBKI dan para pemangku kepentingan perlu saling menjalin kerja untuk pengembangan literasi keislaman. Selain itu, LPBKI juga bisa bersinergi dengan pihak-pihak lainnya sehingga Silatnas bisa semakin menarik dan semarak.

“Silatnas perlu dikemas dengan lebih menarik dan lebih semarak lagi. Kita bisa bersinergi dengan hartawan dan pejabat dan menampilkan pameran-pameran,” katanya.

Ia mengingatkan bahwa LPBKI punya program wakaf. Banyak masyarakat di pelosok yang membutuhkan Al-Qur’an. “Ibu dan bapak bisa mewakafkan Al-Qur’an melalui LBKI dan LPBKI akan menyalurkannya ke mereka yang membutuhkan,” lanjutnya.

Wakil Ketua Umum MUI, Marsudi Syuhud, menjelaskan, Allah menciptakan Muslim sebagai umat yang wasatha (tengah, adil, seimbang). Menurutnya, umat wasatha mencakup semua nilai kehidupan, termasuk politik kebangsaan. Ulama-ulama dulu sebelum kemerdekaan berdiskusi tentang bentuk negeri ini. Mereka sepakat, urusan negara dan kepemimpinan dilakukan dengan cara musyawaran dan rida.

“Ada satu pertanyaan yang harus dijawab, yaitu ‘Apakah saya berbangsa dan bernegara di NKRI yang menjadikan UUD 1945 dan Pancasila sudah sesuai dengan ajaran agama saya?’ Pertanyaan itu akan muncul terus di generasi kita dan selanjutnya,” tegasnya.

Disebutkannya, ada banyak konsep dan model berbangsa dan bernegara. Ada yang ekstrem kanan (sosialis) dan ada ekstrem kiri (kapitalis). Ulama dan pendiri bangsa zaman dulu memilih titik tengah. Mereka menyatukan nilai-nilai yang tetap dan yang berubah dengan al-tathawwur sehingga menjadi sebuah negara bangsa. Para ulama dan para pendiri bangsa sepakat negara Indonesia berdasarkan syura dan rida. Maka dibentuklah DPR, MPR, DPD, dan lainnya.

“Banyak negara Islam yang mengalami perang. Indonesia bisa menjadi contoh perdamaian. Banyak negara yang iri dengan Indonesia. Indonesia punya budaya kumpul-kumpul dan itu tidak dimiliki mereka. Mereka ingin belajar kepada Indonesia. Kita harus merawat negara dan bangsa ini. Apa yang kurang baik perlu diperbaiki dan yang sudah baik perlu ditingkatkan lagi,” ucapnya.

Pada diskusi sesi pertama, Nur Rahmawati dari Subdit Kepustakaan Islam Kemenag menyebut bahwa Kemenag dan LPBKI sudah lumayan lama melakukan sinergitas. Menurutnya, produk atau konten literasi Islam semakin dinamis. Namun tidak semua penulis punya perspektif tentang keragaman Indonesia dan otoritas keilmuan.

“Kita perlu meningkatkan daya saring masyarakat agar tidak terjebak dengan konten atau buku yang menyesatkan,” ucapnya.

Sementara Wasekjen MUI, Arif Fahrudin, menguraikan lima langkah untuk membangun ekosistem tashih konten keislaman. Pertama, konsolidasi penulis konten keislaman kebangsaan. Media punya peran sangat penting untuk menyebarkan informasi atau kegiatan yang kita buat sehingga apa yang ingin disampaikan bisa diketahui oleh khalayak umum. Kedua, kedaulatan sistem informasi. Sekarang semua orang bisa memproduksi konten dan informasi.

“Kita berada dalam era tsunami informasi. Semua platform media sosial dimiliki oleh negara-negara Barat. Dunia Islam hanya menjadi ladang konsumen saja,” jelasnya.

Ketiga, penguatan sinergi jejaring intelektual pondok pesantren dan perguruan tinggi. Menurutnya, perlu ada pertemuan intelektual pesantren dan perguruan tinggi yang intensif sehingga mereka membuat konten dan kontennya bisa dipertanggungjawabkan. Keempat, penguatan literasi konten keislaman dan kebangsaan. Keislaman dan kebangsaan adalah dua hal yang saling melengkapi dan jangan dibentur-benturkan. Kelima, capacity building SDM pentashih konten keislaman.

“Kita perlu melakukan pelatihan-pelatihan—level dasar, menengah, dan lanjut- untuk meningkatkan kapasitas masyarakat,” katanya.

Pada diskusi sesi kedua, Direktur Aplikasi Alat Peraga Pendidikan Islam dan Dosen Unisma, Yayat Suharyat menceritakan awal mula ia membuat alat peraga pendidikan agama Islam. Ia menuturkan, pada saat itu ada alat peraga matematika, olahraga, dan pelajaran lainnya, sementara alat peraga pendidikan agama Islam belum ada. Ia semula ditawari pimpinan perusahaan untuk membuat alat peraga pendidikan Islam.

“Saya kemudian minta mahasiswa untuk mem-breakdown kurikulum SD. Kita kemudian membuat alat peraga PAI untuk SD, SMP berdasarkan kurikulum yang ada. Kita memilah keunikan yang ada dalam kurikulum tersebut,” jelasnya.

Disebutkannya, alat peraga yang dibuatkan tidak mengandung unsur penistaan agama kita sendiri atau agama orang lain dan tidak bias gender. Menurutnya, alat peraga mempermudah guru dan siswa, namun itu harus dengan standar syar’i.

“LPBKI MUI punya peran penting untuk mentashih alat peraga kita sehingga alat peraga kita tidak membuat gaduh, mengingat ada banyak mazhab dan aliran di Indonesia,” tegasnya.

Narasumber terakhir, Wesnina, Dosen Prodi Pendidikan Vokasional Desain Fesyen UNJ, menguraikan tiga fungsi busana. Pertama, aspek biologis. Yaitu melindungi tubuh dari cuaca, serangga, dan lainnya. Kedua, aspek psikologis. Yaitu meningkatkan rasa percaya diri, membuat nyaman. Ketiga, aspek sosial. Yaitu menutup aurat, identitas kelembagaan, memenuhi syarat kesusilaan.

“Busana Muslim adalah berbagai jenis busana yang dipakai oleh perempuan Muslimah sesuai dengan ketentuan syariah Islam untuk menutupi bagian-bagian yang tidak pantas diperlihatkan kepada publik. Kaidah busana Muslimah adalah pakaian perempuan yang tidak ketat atau longgar serta menutupi seluruh tubuh perempuan, kecuali muka dan telapak tangan,” pungkasnya.

(Hadi Siswo)