merdekanews.co
Senin, 18 Juli 2022 - 14:21 WIB

Apakah Indonesia Akan Mengalami Nasib seperti Srilanka? Ini Penjelasan Prof Dr Didik J Rachbini

Deka - merdekanews.co
Diskusi Forum Guru Besar Insan Cita, bertajuk Ketahanan Ekonomi Indonesia di Tengah Ancaman Krisis, Minggu, 17 Juli 2022

Jakarta, MERDEKANEWS -- Prof Dr Didik J Rachbini mengatakan, krisis pandemi covid-19 terus berlanjut bahkan setelah covid-19 itu sendiri berakhir menjadi endemi.

Pasalnya, baru-baru ini publik dikejutkan dengan kasus antre makanan di negara adidaya Amerika Serikat.

Sebelumnya, dua negara mengalami krisis ekonomi dan politik, yakni Pakistan dan Sri Lanka.   Nah, pertanyaannya, Apakah ada ancaman krisis ekonomi di Indonesia dalam satu atau dua tahun ke depan?

Pertanyaan ini tidak mudah dijawab? Prof Didik pertanyaan itu tetapi bisa dikaji dari indikasi-indikasinya.  Setidaknya ada 5 indikasi masalah yang terus berkelindan dalam ekonomi Indonesia.

‘’Pertama, krisis covid 19 dan dampaknya yang ternyata tidak berhenti setelah krisis berhenti. Dampaknya terus ada setelah covid-19-nya berhenti. Berbeda dengan krisis ekonomi yang berhenti ketika inflasi telah reda, masalah suplai selesai, perbankan sudah bisa memberikan kredit lagi. Tetapi krisis Indonesia multi dimensi, paling tidak ada 2 dimensi yakni Kesehatan dan Ekonomi. Berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. Maka seharusnya pemerintah tidak boleh abai terhadap dampak dari krisis covid 19 ini,’’ ujar Prof Didik dalam Diskusi Forum Guru Besar Insan Cita, bertajuk Ketahanan Ekonomi Indonesia di Tengah Ancaman Krisis, Minggu, 17 Juli 2022

Selanjutnya, kata Prof Didik, masalah menjadi rumit karena krisis covid 19 ini dimulai dari kebijakan yang tidak memadai, bahkan tidak karuan karena response kebijakan salah kaprah di awal krisis covid-19 pada tahun 2020.  Pertanda bahwa pemerintah sayangnya tidak punya kapabilitas yang memadai dalam merespon krisis covid-19 ini. 

‘’Masalah reda hampir dengan sendirinya ketika semakin banyak populasi penduduk terjangkit virus ini dan menadi kebal – selain usaha pemerintah yang semakin baik dalam menanganinuya,’’ kata Rektor Universitas Paramadina ini. 

Kemudian masalah Kedua, lanjutnya, kesinambungan pertumbuhan ekonomi.  Bukan hanya janji Presiden Jokowi dulu untuk tumbuh  7 persen. Ini lupakan saja karena mustahil terwujud. Untuk mempertahankan pertumbuhana ekonomoi 5 persen seperti sekarang masaih menjadi tanda tanya karena pengaruh krisis global yang sudah memakan korban, Sri Lanka dan Pakitan. 

Dalam dua periode pemerintahan ini tidak tidak usah berharap ekonomio tumbuh 7 persen seperti janji kampanye Jokowi, tidak akan sampai ke tingkat itu. Dalam keadaan tidak krisis saja 2014-2019 pertumbuhan ekonomi nyatanya tidak seperti yang dijanjikan, apalagi ketika terjadi krisis,’’ jelasnya.

Apa yang akan terjadi berikutnya?  Prof Didik menambahkan dengan pertumbuhan ekonomi hampir satu dekade seperti saat ini, maka harapan bangsa Indonesia untuk melakukan lompatan menjadi negara industri menjadi sulit dan bahkan tidak akan terwujud. Pemerintah menyia-nyiakan momentum historis  bonus demografi, yang hanya datang sekali dalam sejarah-bangsa-bangsa. 

Menurutnya, Indonesia di tangan rezim seperti ini akan menjadi negara yang lemek dan sakit. Pendapatan per kapita cuma naik turun di sekitar 4 ribu dolar AS. Sementara, Korea Selatan yang setara pada tahun1970-an awal sudah terbang dengan pendapatan per kapita 33 ribu dolar AS dan Malaysia 12 ribu dolar AS per kapita. 

‘’Indonesia yang sakit sangat sulit melompat dari negara berpendapatgan menengah menjadi negara berpendapatan tinggi melewati batas 10 ribu dolar dolar AS per kapita. Di dalam pemerintahan sekjarang ini, ekonomi madeg di sini, sudah hampir 10 tahun ini pendatapan per kapita kita hanya 4 ribu dolar AS karena kepemimpinan dan kebijakan kita tidak memadai dan lemah.  Bonus demografi hilang, dimana stagnasi pendapagan menengah bawah akan menyimpan masalah besar, posri kemiskinan penduduk akan cukup besar. Hal itu akan menjadi masalah dalam stabilitas social,’’ jelasnya.


Selanjutnya, masalah ketiga adalah krisis harga pangan dan energi. Di Amerika saat ini inflasi mulai tinggi dan sudah mulai ada antrian makanan. Makanan cukup, tetapi harganya tidak lagi terjangkau. Dalam ekonomi itu diartikan kondisi mulai sedikit chaos. Mengapa hal itu tidak atau belum terjadi di Indonesia? 

Pemerintah Indonesia kini menyiram subsidi besar-besaran dan mencegat semua kemungkinan inflasi dengan mengorbankan apa saja sumber daya, menguras APBN, dan berutang besar. Cara kebijakan yang sembrono seperti ini berbahaya dan akan menjadi bom waktu di masa mendatang.  Bebannya akan ditimpakan  pada presiden yang akan datang. Presiden mendatang akan mendapat beban yang sangat berat dari warisan sekarang.

‘’Subsidi dari pemerintah saat ini sudah mencapai lebih dari Rp500 triliun. Suatu jumlah yang sangat besar dan berat. Hal itu sama dengan anggaran Presiden SBY dulu yang Rp 500 triliun untuk semua kabupaten dan propinsi, dan digunakan untuk bermacam-macam bidang pertahanan, keamanan, pendidikan, perikanan dan lain-lain. Jadi presiden saat ini mengambil langkah-langkah subsidi yang sangat besar dalam rangka mencari aman, tetapi akan membebani presiden berikutnya,’’ ungkapnya.

Keempat, kata Prof Didik, ada utang yang sangat besar dan defisit dalam setahun Rp1,000 triliun. Utang satu tahun sebesar Rp1,500 triliun, yang berarti hal itu lebih besar dari pendapatan pajak dari seluruh rakyat Indonesia. Mengapa bisa terjadi? karena tidak ada check and balance; Parlemen 82 persen dikuasai partai pendukung pemerintah. Tidak ada yang berani untuk mengontrol.

‘’Justu pada masa krisis sekarang, Pemda-pemda, Bupati dan seterusnya berfoya-foya hampir dua kali lebih besar dari masa sebelum krisis. Itu bisa dihitung dari angka di kementrian berapa kali perjalanan dinas, dalam dan luar negeri, yang ternyata lebih banyak. Alasannya agar ekonomi bergerak, tetapi tentu saja bukan seperti itu caranya.’’

‘’Pada saat krisis semestinya anggaran lebih dikendalikan. Ketika krisis, orang seharusnya menghemat, tidak kemana-mana dulu. Bisa terjadi ada pemotongan anggaran. Potongan itulah yang dimasukkan dalam anggaran PEN. tetapi sekarang yang terjadi dipotong pun tidak, tetapi anggaran PEN sudah Rp700 triliun,’’ tambah Prof Didik.

Masalah Kelima, adanya Kesenjangan Sosial. Prof Didik mempertanyaka, apakah Indonesia akan mengalami nasib seperti Srilanka dan Pakistan? Dari segi ekonomi pasti berbeda. Indonesia 1 triliun dolar AS PDB, Srilanka hanya ber PDB 80 miliar dolar AS. Jadi Indonesia is large economy, srilanka small economy. Pada saat Indonesia krisis, Srilanka tidak alami krisis. Tidak ada hubungan langsung antara Srilanka dan Indonesia.

Yang ada, masalah-masalah point satu sampai dengan lima di atas, apakah bisa diselesaikan? Sementara ini pola penyelesainnya seperti pada point ketiga, dengan menggelontorkan subsidi besar-besaran. Krisis Harga bisa dikendalikan, tetapi dengan mengorbankan banyak sekali hal. Krisis barangkali bisa tertunda. Akan lebih baik seperti saran pak Jusuf Kalla (JK) agar menyesuiakan harga dengan kemampaun masyarakat tetapi golongan bawah dibantu.

‘’Indonesia dengan Srilanka jelas berbeda. Tetapi potensi resesi krisis dan resesi Indonesia memang ada. Dengan catatan jika stabilitas politik lebih berat. Jika harga-harga terus naik, maka rakyat akan protes keras. Jadi, Srilanka dan Indonesia tidak sama, dan tidak bisa ditarik-tarik Indonesia akan mengalami krisis seperti Srilanka. Hanya, melihat krisis global sekarang dan Indonesia punya masalah berat seperti sekarang, maka potensi krisis pasti ada. Potensi akan semakin besar jika stabilitas politik tidak memadai. Segala kebijakan hendaknya tetap care terhadap krisis, kebijakan pembangunan IKN adalah contoh kebijakan yang tidak care terhadap krisis,’’ bebernya.

Terakhir, masalah ke enam, sebagai tambahan dari pengemnbangan diskusi 5 masalah di atas, adalah kapasitas kebijakan pemerintah tidak memadai dan banyak sekali salah kaprah. Ini masalah kepemimpinan ekonomi yang absen, yang bisa dilihat dan dari akibat buruknya kebijakan yang dihasilkan.

‘’Tidak ada lagi menteri yang punya kepemimpinan teknokratis, semua menjadi politisi rabun dekat, sehingga memperlemah kebijakan yang dihasilkan dalam kepemimpinan masalah ekonomi. Dulu masih bisa berharap kepada menteri keuangan, tetapi tidak lagi sekarang. Oleh karenanya kita ragu dalam masalah ekonomi akan bisa diselesaikan sehingga kita lepas dari krisis atau resesi di masa mendatang,’’ pungkasnya.

(Deka)





  • Refleksi Kemerdekaan  Bidang Ekonomi Politik Refleksi Kemerdekaan  Bidang Ekonomi Politik Dalam rangka kritis, saling mengingatkan untuk urusan publik dan rakyat banyak, serta dalam rangka “check and balance” yang lebih luas,  maka refleksi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2020