
Refly Harun: Presidential Threshold 20 Persen Sarat Kepentingan Oligarki
Tangerang, MERDEKANEWS -- Penerapan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen pada pemilu 2024 mendatang kembali ditentang oleh pakar hukum tata negara Refly Harun.
Dirinya konsisten mendorong agar presidential threshold harusnya nol persen.
"Kalau nol persen baik partai yang punya kursi maupun yang baru ikut pemilu punya hak untuk mencalokan diri (sebagai capres/cawapres). Tapi kalau sekarang, yang punya hak mencalonkan diri hanyalah maksimal 16 partai politik yang kemarin dan itu pun harus gabung sampai 20 persen. Jadi maksimal capres hanya empat saja," ujarnya kepada wartawan, usai menjadi narasumber dalam kegiatan Halalbihalal dan Silaturahmi Alumni Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) dan Orasi Hukum dengan tema "Gonjang-ganjing Presidential Threshold, Untung Apa Rugi," Minggu (03/07/2022) di Aula Jenderal Sudirman, Kampus Cikokol.
Namun katanya, akan berbeda halnya jika ambang batas nol persen. Maka maksimal capres yang bisa ikut bertarung adalah sejumlah parpol yang ikut pemilu. "Kalau yang ikut pemilu 16, ya calon presiden bisa maksimal 16," ucapnya. Dia menduga bahwa bentuk penolakan ambang batas nol persen itu sarat kepentingan oligarki. Sebab jika ambang batas 20 persen maka partai politik menjadi punya kekuatan atau pun punya harga. "Jadi katakanlah mereka bisa bisa menjual perahunya, mereka bisa terlibat dalam pembicaraan oligarki, kita tidak punya calon yang kita dukung karena calon presiden itu harus dienderose oleh oligarki tersebut, baik oligarki atau oligarki ekonomi," terangnya.
Dengan kata lain ujarnya akan terjadi politik transaksional. "Politik transaksional itu pasti terjadi kalau 20 persen, tapi kalau nol persen mungkin terjadi politik transaksional juga tapi peluang untuk muncul pemimpin yang jujur dan amanah masih besar," terangnya. Lebih jauh pengajar di kampus Universitas Taruma Negara ini menjelaskan, sebetulnya ada beberapa cara untuk menghapus threshold di antaranya melalui pembuatan undang-undang law making proces yakni melalui DPR dan presiden dibantu DPD. Namun sayangnya menurut Refly sejauh ini DPR sudah tidak berkeinginan menempuh.
"DPR sudah tidak berniat lagi,"ucapnya. Yang kedua adalah dengan mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang). "Kalau mau Presiden Jokowi dikenang, ada dua legacy yang harus dibuat. Yang pertama menghapus presidential threshold dan yang kedua siapkan pemilu yang jujur dan adil. Jangan jadi pemain dalam pemilu, aparatur harus netral tidak berpihak dan ini akan dikenang selama-lamanya sebagai pihak yang meletakkan dua hal penting tersebut ujarnya," ujarnya.
Sementara Rektor UMT Ahmad Amarullah mengapresiasi kegiatan yang digagas oleh Alumni Fakultas Hukum UMT. Terlebih kegiatan ini mengundang pakar yang sudah banyak dikenal kiprahnya. "Mudah-mudahan nanti acara bisa dilaksanakan di lantai 19, jadi karena sudah di puncak (gedung kampus) jadi pandangannya bisa seperti di GOR," ucapnya.