merdekanews.co
Kamis, 18 Januari 2018 - 11:53 WIB

Soni Sumarsono, Aktivis GMNI Pengawal Nawacita dari Kampung Lempuyangan 

Kirana Izza - merdekanews.co
Dirjen Otonomi Daerah, Soni Sumarsono

Jakarta, MERDEKANEWS - Soni Sumarsono, yang saat ini menjadi orang kepercayaan Mendagri Tjahjo Kumolo untuk memimpin Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, ternyata  sempat "terbuang"  dari "lingkungan elite" Kementerian Dalam Negeri.

Pernah menjadi pejabat esselon 2 termuda di masa Menteri Dalam Negeri dijabat Hari Sabarno, Soni Sumarsono yang sering memenangkan lomba karya tulis ilmiah di Kemendagri ini, selama delapan tahun sempat "terlempar" dari posisi "elite" di Kemendagri, di masa Menteri Dalam Negeri dijabat oleh Gamawan Fauzi.

Bahkan, birokrat yang di masa mudanya merupakan aktivis Gerakan Mahasiwa Nasional Indonesia (GMNI) ini sempat pula merasakan pahitnya diisukan sebagai "anak PKI", sebuah fitnah sangat keji dan tidak berdasarkan fakta.

Soni pun sampai dipanggil oleh tim BIN, dan tim BIN pun sampai turun ke rumah orangtuanya  di kampung. Orangtua Soni juga sempat shock, karena didatangi tentara ke rumahnya. Ternyata memang tidak ada indikasi keterlibatan PKI. Salah satu anggota BIN kemudian mengungkapkan kepada Soni, bahwa isu PKI itu muncul ternyata karena adanya "konflik lokal "di Kemendagri.

Sangat tidak masuk akal, memang isu tersebut, karena hingga sampai eselon 2 dia tidak pernah diindikasikan sebagai anak PKI, sementara seleksi ke eselon 2 sangat ketat. Kalau memang keturunan PKI pasti ketahuan. Jadi, tampak sekali, bahwa sebenarnya isu itu sengaja diciptakan untuk "memotong" karier Soni menuju jabatan esselon 1.

Soni pun dengan tegar menceritakan bagaimana beratnya dia menghadapi berbagai "ujian hidup" tersebut. Dan dia merasa bersyukur mendapat dukungan besar dari istri dan keluarganya, untuk tetap berjiwa besar dan terus semangat menghadapi  berbagai ujian tersebut.

Terlahir dari seorang pedagang kecil, ibu buta huruf dan ayah tak lulus SD, di Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulung Agung Provinsi Jawa Timur. Meskipun hidup di lingkungan jauh dari pendidikan, namun rupanya sang ayah bertekad menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi.

“Saya tujuh bersaudara, dan sebagian besar kami sekolah dengan beasiswa, dan  bisa kuliah di UGM,” tutur Soni.

Selama merantau di Yogyakarta, bersama kakak-kakaknya, Soni tinggal di rumah kontrakan sempit. Di kampung Lempuyangan. 

Minimnya dana yang diterima dari orangtua untuk hidup di Yogyakarta, membuat Soni memutar otak supaya bisa hidup sambil kuliah. Dirinya pun mengajar di beberapa bimbingan test (masuk perguruan tinggi negeri) di Yogyakarta, yakni "Kampus 82" dan "Gama 81".Tak hanya itu, Soni juga menulis di beberapa media cetak yang ada saat itu, seperti  Simponi, Swadeshi, Pelita, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional dll.

“Bahkan saya juga memegang rubrik di surat kabar. Dengan penghasilan dari bekerja itu, maka bisa membiayai kuliah dari tahun 1979 dan lulus tahun 1983 sebagai lulusan tercepat dan termuda, kemudian wisuda 1984,” katanya

Bekerja sambil mengajar dan menulis di media, memegang rubrik politik dan rubrik. wanita, ternyata dia berhasil menyelesaikan gelar sarjana hanya dalam waktu 3,5 tahun, sehingga dia tercatat sebagai lulusan tecepat se UGM, saat itu. 

Setelah lulus, dia kerja sebagai pegawai honorer di Dirjen Pembangunan Daerah,  pertama di media buletin, kemudian diangkat jadi pegawai di Dirjen Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Pertama diangkat PNS itu, dia ditempatkan di Minahasa Sulawesi Utara.

Kemudian dirinya, berkarier di Pembangunan Daerah (Bangda) Depdagri.  Saat itu Soni berpikir harus mencapai gelar S2, untuk menunjang karir lebih baik. Saat itu yang S2 jarang sekali, baru ada 2 orang master dari Amerika. Kalau tidak S2, pasti akan ketinggalan.

Setelah 4 tahun kerja, masih jadi staf sebelum kepala seksi, dia pun mendapat beasiswa untuk kuliah mengambil S2 di Philipina, tepatnya di Asean Institute Managemen (AIM).

"Ini Harvard-nya university yang ada di Philipina, atau Tiger of Management of Asia, dan di sini saya mempelajari 1500 kasus managemen dari semua level, seperti managemen government, non government, perusahaan, LSM dan sebagainya," ujarnya.

Lulus dengan rangking ke dua, Soni yang sudah terdidik menjadi seorang generalis managemen, kembali ke Indonesia tahun 1992. "Saya juga mempelajari sebuah kerangka strategi intervensi. Jadi level pemikiran saya adalah leadership, apa yang bisa diintervensi untuk sebuah pengembangan," katanya.

Di Bangda, kariernya pun mulai naik. Setelah kasubdit kemudian dipercaya menjadi Kepala Seksi, pada 1990. Masih terus di Bangda, kemudian menangani persoalan di daerah-daerah kritis, minus, miskin, terbelakang dan terpencil. Inilah yang membuat Soni dekat dengan rakyat di desa.

Sampai akhirnya dia ditunjuk menjadi direktur pengembangan wilayah, kemudian Direktur Keserasian Pembangunan Daerah, Direktur Pengembangan Wilayah, Sekretaris Direktorat Jenderal Bangda Kementerian Dalam Negeri, dan Direktur Pengembangan Usaha Ekonomi Masyarakat pada Direktorat Jenderal PMD Kemdagri.

Soni juga dipecaya menjadi pilot project kepemimpinan muda Kemendagri oleh Siti Nurbaya yang ketika menjabat Sekjen Kemendagri, dengan prinsip bahwa direktur tidak harus senior, jadi kita exercise bahwa junior juga mampu menjadi direktur. Maka dengan jabatan Direktur Pengembangan Wilayah, Soni adalah direktur termuda di Kemendagri, saat itu. Saat  diangkat  menjadi Eselon 2, umurnya masih 42 tahun. Dan ternyata, dia  bisa menunjukkan kinerja yang baik walau pun muda, sehingga karir pun semakin bagus.  

Masuk Kotak

Namun, pada tahun 2010, Soni Sumarsono "terbuang" dari lingkungan "elite" Kementerian Dalam Negeri.  Saat itu dia dimutasi sebagai Asisten Deputi Lintas Batas  Negara (Tasbara) BNPP. Selain sebagai ASDEP, ia menjadi Ketua TIM DELAPAN yang berfungsi sebagai dapur pemikiran dan aksi untuk pemeliharaan dan manajerial di perbatasan negara.

Dia memang seperti masuk kotak, lantaran dianggap sebagai pendukung Siti Nurbaya (saat itu Sekjen Depdagri) yang mendukung Hari Sabarno, yang juga mendukung PDIP, sehingga garis ini membuat Soni dianggap partisan PDIP. Saat Megawati menyatakan oposisi dengan pemerintah saat itu, Sony kena grounded.

Tapi ketika "dilempar" ke BNPP, Sony justru berhasil menata wilayah perbatasan, dan menciptakan ilmu baru disebut managemen Lintas Batas Negara. Dan ditambah dengan membuat Grand Design Pengelolaan Perbatasan.

Di wilayah perbatasan Negara, ada ribuan jalur tikus, yang mengganggu keamanan PLBN, maka konsep kedua, dibuatlah garda batas, yaitu partisipasi masyarakat untuk menjaga perbatasan, mengantispasi bila ada penyelundupan.

Namun prestasi itu tetap tidak dianggap oleh Negara saat itu, karena oleh Mendagri saat itu, Gamawan Fauzi, Soni tetap dianggap tidak mampu.

Setelah itu, demokrat runtuh, Jokowi naik, dan Tjahjo masuk sebagai Menteri Dalam Negeri. Ketika Tjahjo sudah menjadi Mendagri, Soni pun dipanggil. Soni sebenarnya ingin menjadi Rektor IPDN, atau di Litbang, namun ditolak oleh Tjahjo. Soni pun diberi pilihan sebagai Dirjen Otonomi Daerah (Otda), sebagai jantungnya Kemendagri, atau sekjen. Soni pun ditunjuk sebagai Dirjen Otda.

Di sela-sela tugasnya sebagai Dirjen Otda, Soni pun ternyata masih aktif menguji S3 di sejumlah PTN, UI, ITB, UGM, IPB karena pada dasarnya Soni ingin menjadi guru untuk mengabdikan ilmunya.

Soni pun mengambil Doktor nya di Jakarta, karena tidak ada waktu untuk ke luar negeri.

Karena Soni seirama dengan program Nawacita, maka diberi mandat oleh Tjahjo untuk melaksanakan Nawacita. Tjahjo pun memberikan dukungan penuh kepada Soni di Kemendagri. Sehingga karir soni tidak ada hambatan. Dan Soni pun bertekat memberikan kemampuan sebesar keperayaan yang diberikan.

Kepercayaan itu pun diwujudkan melalui perintah kepada Soni tahun 2015 untuk mengawal Pilgub Sulawesi Utara,  sampai akhirnya terpilih lah Olly Dondonkambuy dan Steven Kandow sebagai Gubernur dan Wagub Sulawesi Utara.

Mari Jo Ka Manado

Soni ketika menjadi plt Gubernur Sulut, membuat slogan “Mari Jo Ka Manado” hingga kini slogan itu dikenal hingga saat ini. 

Saat menjadi plt Gubernur DKI, Soni pun membuat slogan “Kita Semua Bersaudara” yang spanduknya dipasang di seluruh kelurahan-kelurahan Jakarta.  

Sebagai Plt Gubernur DKI Jakarta, Soni harus kerja keras 21 jam dan hanya istrahat 3  jam, untuk bisa mensukseskan dan mengantarkan PIlkada DKI dengan aman dan kondusif.

Pilgub DKI dinilai Soni sangat berat, karena ternyata sudah keluar dari skup pilkada. Sudah menyangkut soal SARA dan  juga ditunggangi kepentingan politik nasional untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. 

Namun, ternyata Soni berhasil melewati semua ujian tersebut. Dan akhirnya mampu mengantarkan Pilkada DKI Jakarta dengan aman, meskipun diwarnai suasana yang hingar bingar dan sangat menguras energi
  (Kirana Izza)