merdekanews.co
Selasa, 12 Oktober 2021 - 19:56 WIB

Oleh: Djono W. Oesman

Mengapa Ayah Perkosa Anak? (2-Habis)

### - merdekanews.co
Ilustrasi: Stockshoot

Dugaan pemerkosaan ayah - anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, diselidiki polisi. Dicari novum (bukti baru). Tanpa novum, kasus yang sudah dihentikan penyidikannya, tidak bisa disidik ulang.
----------------

Uniknya, pihak LBH Makassar, pendamping hukum korban, yang semula menggebu, minta polisi menyidik ulang, kini meminta polisi menemukan novum.

Sebaliknya, polisi malah meminta pihak LBH menyerahkan bukti baru. Supaya perkara ini bisa disidik ulang.

Kabag Penum, Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan saat ditemui wartawan di kantornya, Senin (11/10/21) mengatakan:

"Ini kan karena dilaporkan. Kemudian kami ingin mencari bukti baru atau novum. Ketika ada novum yang mendukung atau memenuhi unsur tindak pidana, tentu kami akan proses lanjut."

Tapi, lanjutnya, Polres Luwu Timur bersama Polda Sulsel terus bekerja untuk mengungkap kasus dugaan pemerkosaan tersebut. Tidak hanya menunggu bukti baru dari pihak korban.

Ditanya wartawan, kendala dalam mencari novum, Ramadhan mengatakan:

"Tidak ada kendala. Kami terus melakukan proses penyelidikannya. Sekali lagi, ketika pihak LBH yang mengatakan memiliki bukti, kami bisa bekerja sama dengan baik. Tujuannya sama, untuk mengungkap kebenaran kasus ini."

Sebaliknya, Staf Perlindungan Anak dan Perempuan LBH Makassar Rezky Pratiwi kepada wartawan, Senin (11/10/21) mengatakan:

"Soal alat bukti kan sebenarnya kewenangan penyidik. Kami sudah memasukkan sejak gelar perkara di Polda Sulsel tahun lalu, sudah memasukkan dokumen-dokumen dan merekomendasikan ahli untuk diambil keterangannya."

Dilanjut: "Ini bukan delik aduan. Ini delik biasa. Delik biasa artinya tidak membutuhkan laporan dari korban. Polisi harus inisiatif dan aktif untuk menggali fakta dan alat bukti."

KONTROVERSI

Kasus ini terjadi di Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, pada Oktober 2019. Lokasi sekitar 12 jam perjalanan mobil dari Makassar, Sulawsi Selatan.

Terduga pelaku, SA sudah bercerai dengan isteri, RA. Terpisah rumah. Empat anak mereka (3 perempua, 1 lelaki) ikut ibu. Tapi, SA sering menjemput anak-anaknya, membawanya tinggal di rumah.

Kasus ini sudah heboh sejak 2019 di Sulawesi Selatan. Tapi heboh - tenggelam. Setelah heboh, tenggelam, heboh lagi, tenggelam lagi.

Heboh membesar, sejak dimuat di media online Project Multatuli, Jumat 8 Oktober 2021. Karena di situ dimuat rinci. Sampai mengungkap kondidi vagina dan dubur korban. Tiga anak wanita usia 4, 8 dan 10 tahun.

Dari situ kemudian muncul tagar #PercumaLaporPolisi yang didukung oleh Kurawal Foundation. Tagar itu menggerogoti kredibilitas Polri.

Apalagi, lembaga tinggi negara ikut menyoroti kasus ini. Antara lain dari Kantor Staf Presiden, Kementerian PPPA, Komisi III DPR RI, yang intinya, meminta Polri mencermati kasus tersebut.

Lantas, Bareskrimum Polri mengirimkan tim dari Jakarta ke Makassar, Sabtu pekan lalu. Tim melakukan asistensi menyelidiki kasus ini.

Sedangkan, terduga pelaku, inisial SA (43) pekan lalu sudah membantah memperkosa anaknya. SA membantah lagi, saat dihubungi wartawan, Senin (11/10/21).

SA: "Itu (perkosaan) tidak pernah ada. Mungkin masih efek dari perceraian yang lalu, karena kan saya gugat cerai dia (mantan isterinya, RA). Mungkin dia cemburu atau apa. Kemungkinan saja, saya tidak bisa memastikan apa motifnya dia."

SA kini sudah menikah lagi, membangun keluarga baru. Menurutnya, keluarga barunya terimbas heboh kasus ini.

Terlepas dari kasus ini, ayah memperkosa anak perempuannya, sering terjadi di Indonesia. Bahkan, beberapa sampai hamil. Beberapa sampai punya anak. Yang kalau sampai punya anak, maka si bayi bakal memanggil pelaku kakek sekaligus ayah. Miris sekali.

Mengapa kasus begini sering terjadi?

Di Indonesia, kasus begini tidak dibahas secara ilmiah. Karena tabu, maka sangat jarang ada risetnya.

Dikutip dari jurnal ilmiah United Staste Department of Justice, bertajuk Father-Daughter Rape (1985) menyebutkan, penyebab inses, hubungan seks (atau perkosaan) antara ayah dan anak perempuan, sangat variatif. 

Salah satunya ini: Kebanyakan anak diajari orang tua, bahwa bahaya ada di luar rumah. Bukan di dalam keluarga.

Akibatnya, anak-anak tidak menyadari, bahwa betapa pun bahaya bisa terjadi pada mereka di dalam rumah.

Anak-anak perempuan mungkin merasa, bahwa cumbuan ayah mereka terhadap mereka, salah. Tetapi, karena anak-anak tidak terbiasa terkena bahaya di rumah, maka mereka tidak menganggap, bahwa itu hal berbahaya.

Juga, anak-anak terbiasa dikendalikan orang tua mereka. Akibatnya, mereka mungkin terus membiarkan diri mereka digunakan sebagai objek seksual.

US Department of Justice menyarankan, agar anak-anak diajari untuk mengatakan: Tidak, kepada orang yang dikenal yang mengancam mereka. Meskipun, itu adalah ayah mereka sendiri.

US Department of Justice menyatakan, kasus beginian kebanyakan terjadi di negara miskin, seperti di negara-negara Afrika. Sebab, di negara-negara tersebut tidak memungkinkan, seorang anak perempuan diajari kemungkinan bahaya datang dari ayah mereka.

Psikolog Amerika, Dr S. K. Weinberg dari Departemen Psikiatri, McGill University, Amerika Serikat, melakukan penelitian tentang itu. Penelitian dibiayai Dominion-Provincial Mental Health Grant, 2002.

Weinberg membagi pelaku (lelaki) inses menjadi tiga jenis:

1) Pergaulan bebas. Pelaku berhubungan seks tanpa pandang bulu. Termasuk inses. Ini penyimpangan psikopatologi seksual;

2) Intens. Keinginan berhubungan dengan anak (perempuan) kecil, disebut juga pedofilia.

3) Endogami. Pelaku membatasi diri, berhubungan seks hanya dengan anggota keluarga. Ia tidak tertarik dengan wanita di luar keluarga.

Tapi, inses beda dengan perkosaan di dalam keluarga. Inses adalah hubungan seks di dalam keluarga yang berlangsung terus-menerus. Perkosaan dalam keluarga, bisa berkelanjutan, tapi bisa juga hanya sekali.

Dr Weinberg mengatakan, perkosaan adalah soal kekuasaan. Pemerkosa merasa atau menunjukkan kekuasaannya, terhadap orang yang diperkosa. Bisa karena dendam, bisa karena hal lain. Tapi, tetap menyangkut perwujudan power.

Di kasus Luwu Timur, SA dan RA sudah bercerai. Tapi, tiga bocah yang jadi korban adalah anak kandung SA. Orang tua korban bisa saja saling dendam. Tapi, anak-anak mereka 'kan bukan musuh ortu mereka.

Tugas polisi menemukan novum, bukan hal gampang. Tapi, lebih berat lagi adalah para korban. Yang harus dilakukan cek fisik berulang-ulang. Sejak dua tahun silam. (*)

(###)