merdekanews.co
Kamis, 26 Agustus 2021 - 11:37 WIB

Oleh: Djono W. Oesman

Pengungsi Afghan di Jakarta, Nebeng Momentum

### - merdekanews.co
Situasi demo warga Afghanistan di Jakarta (Selasa, 24/8/21). Foto: Antara

Demo warga Afghanistan di Jakarta Pusat, Selasa (24/8/21) aneh. Apa urusannya? Masak, protes Presiden Jokowi? Ternyata, mereka ke kantor Badan Pengungsi PBB, UNHCR, minta dipindahkan ke Australia. Ngglethek.
--------------

Mereka bukan pengungsi Afghanistan yang berduyun-duyun ke Bandara Kabul, itu. Bukan. Mereka sudah di Indonesia lama. Ada yang sudah sembilan tahun, 10 tahun, bahkan 13 tahun.

Lha, terus… mengapa mereka minta dipindahkan, sekarang? Mengapa tidak dulu-dulu?

Tidak ada wartawan yang tanya begitu di kerumunan demo, kemarin. Mungkin terkendala bahasa. Tapi, yang jelas, keinginan mereka beda-beda. Ada juga, satu orang punya dua keinginan. ‘Kan memusingkan?

Salah satu pendemo bernama Hakmat, kepada wartawan mengaku sudah sejak 2013 tinggal di penampungan pengungsi di Jakarta. Ia bisa sedikit bahasa Indonesia. Apa keinginan Hakmat?

"Saya khawatir tentang keselamatan, kesejahteraan keluarga saya di Afghanistan. Mereka dalam bahaya langsung," kata Hakmat. “Taliban itu kejam, tau….”

Lha, terus? “Kami menuntut UNHCR bisa mengeluarkan keluarga saya dari sana,” katanya.

Emangnya, UNHCR tentara? Sedangkan, tentara Amerika saja sekarang was-was di sana.

Ada keinginan Hakmat, satu lagi. “Kami menuntut UNHCR tentang nasib kami. Kami sudah lama di sini. Katanya, kami akan disalurkan ke Australia,” katanya.

Pendemo lain, mengaku bernama Muhammad Ali, mengatakan kepada wartawan secara lebih jelas: “Saya protes menuntut kejelasan status penempatan. Orang-orang ini (para pendemo) sudah bertahun-tahun jadi pengungsi cari suaka. Tidak jelas,” katanya.

Ali sudah sembilan tahun di Jakarta. :Mereka ada yang sepuluh tahun, 11 tahun, 12 tahun, di sini,” ujarnya.

Dilanjut: "Kita minta hak kita dari UNHCR. Kita ada keluarga di situ (Afganistan), keluarga kita enggak ada kabar, mereka hidup atau enggak.”

Sama juga, Ali dan Hakmat. Bisa disimpulkan, mereka sangat galau. Bingung dengan keinginan mereka sendiri. Di satu sisi mereka ingin dipindahkan ke negara lebih maju dari Indonesia. Di sisi lain, mereka berharap UNHCR mengeluarkan keluarga, kerabat mereka dari Afghanistan, sekarang.

Ada juga yang membawa spanduk, tulisan: “UNHCR Indonesia mohon untuk tidak menyalahi prosedur kerja, konvensi 1951 dan protokol 1967. Hentikan kebijakan yang tidak manusiawi terhadap pencari suaka di Indonesia. Kami butuh perpindahan sebabkan kami hidup sengsara.”

Tapi, mereka pendemo yang gigih. Mereka datang dengan bus-bus, berkumpul di depan kantor UNHCR, Menteng, sejak sekitar pukul 09.00 WIB. Lalu, dihalau polisi ke arah Tugu Tani. Mereka mundur.

Sebagian lari, masuk jalan-jalan kecil, menyelinap, balik lagi ke depan UNHCR. Bisa saja mereka tidak paham jalan-jalan Jakarta. Tapi, mereka membawa HP, bisa melihat GoogleMap.

Lantas, sedikit demi sedikit gerombolan yang terhalau ke Tugu Tani, balik lagi ke UNHCR. Sekitar pukul 13.00 di UNHCR sudah banyak orang lagi.

Kegigihan mereka, sepertinya, lebih ulet dibanding pendemo kita yang dibayar Rp 100 ribu plus nasi bungkus dan angkutan bus. Sungguh.

Ternyata, pengungsi yang masuk ke Indonesia, terbanyak dari Afghanistan.

Communication Associate UNHCR Jakarta, Dwi Prafitria, kepada wartawan, Selasa (18/8/21) mengatakan, jumlah pengungsi Afghanistan di Indonesia per Juli 2021 sekitar 7.400. Pengungsi Afghan ke India sekitar 15.600. Ke Malaysia sekitar 2.400.

Sedangkan, Indonesia belum meratifikasi konvensi pengungsi PBB. Juga melarang pengungsi bermukim permanen di Indonesia. “Mereka kami salurkan ke nagara-negara yang mau,” ujar Dwi. “Tapi, tidak bisa cepat.”

Pada 2016, menurutnya, setahun bisa menyalurkan sekitar 500 pengungsi. Ke berbagai negara, kebanyakan Australia. “Tapi sejak pandemi Corona, sulit. Semua negara menolak,” katanya.

Padahal, dia perkirakan, gelombang pengungsi Afghan bakal dahsyat. Berdasar data UNHCR, Juli 2021, pengungsi Afghan ke seluruh dunia 2,7 juta orang. Belum termasuk gelombang pengungsi sepekan terakhir.

Ada anekdot soal Afghan. Kawanku di Jakarta cerita begini:

Seumpama diadakan kompetisi, antara orang Aghanistan melawan Jepang. Dibuatkan dua lubang galian tanah. Diameter tiga meter, kedalaman empat meter. Masing-masing lubang diisi: Tiga Afghan, tiga Jepang. Tanpa peralatan. Lalu, kita tinggalkan mereka seminggu. Apa yang terjadi kemudian?

Aku tak menjawab. Karena, itu berandai-andai.

Kawanku menjawab sendiri: “Di lubang Jepang, kosong. Melompong. Tersisa pakaian mereka, terlilit seperti tali-temali,” katanya. “Di lubang Afghan, tiga tewas semua. Kau tahu, mengapa mereka tewas?”

Aku tetap diam. Karena, itu anekdot lama. Hanya diganti kebangsaan pelakunya saja.

Lagipula, warga Indonesia sekarang rukun, kompak. Bagai tali-temali, menuju kemajuan di masa depan. 

(###)