merdekanews.co
Senin, 08 Januari 2018 - 22:01 WIB

Syahdunya Saluang Dendang, Hangatnya Gule Rendang

Kirana Izza - merdekanews.co
Saluang Dendang

Deventer, MERDEKANEWS -  Bau masakan Padang, menyergap meningkahi salju yang pertama kali turun tahun ini. Di Buurtcentrum De Fermerie di Deventer, Jumat 8 Desember lalu, dilakukan pertunjukan Saluang Dendang, sebagai salah satu acara dalam rangkaian Europalia Arts Festival Indonesia.

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, salju pertama selalu disambut dengan riang, beberapa anak tampak saling melempar salju. Sementara di gerbang masuk De Fermerie, beberapa orang telah berjajar, kendati pertunjukan baru akan berlangsung dua jam sesudahnya.

Sejak 1 November yang lalu hingga tanggal 16 Desember mendatang, seluruh kota Deventer dipenuhi “bau” Indonesia, dengan dilakukannya program Focus op Indonesie (Fokus pada Indonesia). Lebih 30 kegiatan dari mulai film sampai masak memasak dilakukan di pelbagai sudut kota dari mulai Deventer Schouwburg (gedung pertunjukan kota), toko buku, hotel, dan panti jompo.

Bekerjasama dengan panitia Europalia, Kedutaan Besar RI, Pemda Deventer, lebih dari 35 organisasi masyarakat di Deventer saling membahu demi terselenggaranya kegiatan ini. Rangkaian kegiatan ini berupaya untuk melibatkan semua pihak dari segala lapisan umur, misalnya Fietstoch Langs Gebouwen met Indisch Verleden / Bersepeda Menyusuri Gedung Berjejak Indonesia, sampai seminar arsitektur kolonial di rumah- rumah jompo.

“Ini adalah sebuah pertemuan kultural, “ demikian Bram Saya (65), salah seorang sukarelawan berdarah Maluku. 

“Selain Indonesia, banyak kegiatan yang sudah kami lakukan bersama-­­sama. Jadi pekerjaan ini bukan hal yang asing bagi kami” demikian jelas Bram yang sejak lahir tinggal di Deventer. 

Selain orang-­­orang yang berasal dari Indonesia, atau yang memiliki hubungan emosional dengan Indonesia, di Deventer hidup komunitas Turki, Maroko, Rumania, dan komunitas lainnya. Dan Deventer menyebut dirinya sebagai de Wereldstad (Kota Dunia). “Untuk menyambut Saluang Dendang dari Minangkabau,” demikian chefkok Thelma yang membuka acara malam itu. 

“Saya sengaja menyajikan masakan dari Sumatra. Sayangnya tidak semua rempah­­rempah yang semustinya ada dalam masakan Minang bisa saya peroleh disini. Jadilah saya berimprovisasi tetapi tetap dengan tema Sumatra,” tambahnya disambut tepuk tangan lebih dari 75 orang yang hadir.

“Saya datang setiap bulan kesini,” jelas Marleen van Dongen (80), yang hari itu datang bersama suaminya, Richard van Dongen. 

Menurut Marleen, mereka yang malam itu hadir di Buurtcentrum/Pusat Kegiatan Masyarakat Fermerie adalah orang- orang yang tinggal di sekitarnya. 

“Kami sebulan sekali datang ke sini untuk menikmati makanan. Terutama masakan Indonesia,” ujar Richard van Dongen, kemudian menambahkan bahwa sejak kecil ia akrab dengan makanan Indonesia. 

Karenanya, Richard merasa kangen. “Orang tua saya tinggal di Surabaya sebelum terjadinya Polisional Aksi, bahkan kakak saya lahir di sana,” tambahnya sambil menyuapkan nasi dengan gule kambing ke mulutnya. Beberapa orang tak habis- habis memuji dan menikmati masakan Thelma. Dan bolak-balik berjalan mengambil lauk pauk yang tersedia.

Bukan Suling Saijah dan Adinda

Selesai bersantap barulah keempat anggota kelompok Langkok dari Batu Sangkar, Sumatra Barat duduk berjajar di atas panggung sederhana di depan ruangan. Suara saluang yang terasa kudus, membuat ruang yang awalnya hiruk pikuk menjadi hening. Para penonton tampak hanyut dalam alun saluang.

Dan ketika penyanyi Lismawati mengalunkan Saluang Kabau dengan suaranya yang khas, beberapa penonton tampak menghela nafas. “Begitu indah dan khusyu,” komentar Jaap de Lange. 

“Saya bisa menikmatinya, walaupun saya tidak  mengerti bahasanya, juga kurang mengenal jenis musik suling. Yang saya ketahui hanyalah suling yang ada dalam film Saijah dan Adinda. Itu suling Jawa, saya kira,” jelas Jaap. 

Saluang yang dibuat dari bambu yang dimainkan dengan miring, umumnya lebih panjang dari jenis-jenis suling dari Jawa. Sekitar 75 cm, dan salah satu alat musik terkenal dari daerah Minangkabau. Selain dimainkan sendirian, saluang pun kerap dipertunjukan dengan nyanyian (dendang). Lirik yang ada dalam dendang berkisar pada kejadian sehari-­­hari, terutama tentang kisah kaum perantau – sesuatu yang juga menjadi tradisi dalam pola kehidupan—Minang.

“Jadi dalam Saluang Dendang, kami bercerita tentang apa saja yang ada dalam perasaan kami,” jelas Naldi Usman, pimpinan Kelompok Langkok. Misalnya Saluang Itik, berkisah tentang kehilangan akan itik kesayangan. Atau Saluang Panen, berkisah tentang panen tiba.

Dewasa ini, lanjut Usman, tradisi Saluang Dendang makin digiatkan, baik di sekolah-­­sekolah menengah, di sekolah tinggi karawitan ataupun pertunjukan-pertunjukan. Setiap tanggal 3 setiap bulannya, dilakukan pertunjukan Saluang Dendang di Ladang Tari Nan Jombang, Padang. Pertunjukan ini dilakukan pelbagai kelompok dari berbagai wilayah di Minangkabau.

“Kami memainkannya semalam suntuk, dan baru tidur jika perhelatan selesai,” jelas Lismawati. Hidup sebagai seniman Saluang Dendang, sekarang ini menurutnya, mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Paling tidak sekali sebulan ia diundang untuk melakukan pertunjukan baik di perhelatan perkawinan atau khitanan. 

“Juga ada bulan-bulan tertentu, jadual kami benar-­­benar penuh. Jadi yah, cukuplah,” tambahnya sambil tersenyum ketika ditanya tentang kehidupannya sebagai seniman.

Sementara bahan pembuat Saluang, bambu dewasa ini pun masih tetap mudah didapatkan. “Mungkin tidak semudah dulu. Di mana-­­mana kami bisa memperoleh bamboo yang tepat untuk saluang,” jelas Hasanawi, salah seorang seniman terkemuka Saluang Dendang dan ahli pembuat saluang. 

Tetapi, demikian tambahnya lagi, jika hendak memperoleh bambu dengan kualitas terbaik, sekarang ini terutama dapat diperoleh di Bukit Tinggi, di lereng Gunung Merapi. 
  (Kirana Izza)