merdekanews.co
Rabu, 07 Oktober 2020 - 14:15 WIB

Fahri Hamzah : MK Bisa Batalkan UU Ciptaker

SY - merdekanews.co
Fahri Hamzah

Jakarta, MERDEKANEWS -- Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 Fahri Hamzah menilai sebagai “The Guardian of Constitution atau Penjaga Konstitusi”, Mahkamah Konstitusi (MK) akan membatalkan seluruh isi dari Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR pada Senin (5/10/2020).

 

Dasarnya menurut Fahri, UU tersebut melampaui tata cara pembuatan undang-undang sebagaimana mestinya, selain masih kurangnya sosialisasi, RUU Omnibus Law Cipta Kerja sebelum disahkan secara cepat oleh DPR.

 

“Omnibus Law itu, otomatis jelas melanggar kontstitusi karena prinsipnya dalam negara demokrasi itu, merampas hak undang-undang, itu nggak boleh. Pembuatan undang-undang harus mengacu pada tata cara pembuatan undang-undang, bukan hanya soal sosialiasi, tapi harusnya pakai Perppu dan diuji di DPR,” kata Fahri.

 

Menurut Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah itu, UU Cipta kerja ini bukan undang-undang hasil revisi atau amandemen, melainkan undang-undang baru yang dibuat dengan menerobos banyak undang-undang. Selain melangggar konstitusi, UU Cipta Kerja ini juga merampas hak publik dan rakyat, sehingga jelas-jelas melanggar HAM.

 

“Ini bukan open policy, tapi legal policy. UU ini (UU Cipta Kerja, red) dianggap oleh publik dan konstitusi merampas hak publik dan rakyat sehingga berpotensi dibatalkan secara keseluruhan oleh MK. Bisa dibatalkan total oleh Mahkamah Konstitusi,” tegasnya.

 

Fahri mengaku tidak habis pikir dengan bisikan para penasihat hukum dan tata negara Presiden Joko Widodo yang lebih mendorong pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU daripada mengajukan Perppu atau melakukan sinkronisasi aturan teknis.

 

“Mohon maaf, penasihat hukum dan tata negaraya Pak Jokowi kurang pintar. Pak Jokowi itu bukan lawyer atau ahli hukum, mestinya ahli hukum yang harus dengar Pak Jokowi. Ini Pak Jokowi-nya yang nggak mau dengar ahli hukum atau ahli hukumnya yang tidak mau dengerin Pak Jokowi. Tapi kelihatanya ada pedagang yang didengar oleh Pak Jokowi daripada ahli hukumnya,” ungkap Fahri.

 

Pria kelahiran Sumbawa itu berpendapat apabila UU Cipta Kerja ini nantinya dibatalkan secara keseluruhan oleh MK, maka bisa menimbulkan kekacauan pada aturan lain yang terkait. Sebab, Omnibus Law ini bukan tradisi Indonesia dalam membuat regulasi, sehingga akan sulit diterapkan. MK sebagai penjaga kontitusi (The Guardian Of Constitution) akan mempertimbangkan untuk membatalkan UU Cipta Kerja, apabila ada judicial rewiew.

 

“Kalau di judicial rewiew di Mahkamah Kontititusi, misalnya hakimnya menjatuhkan putusan isinya dibatalkan total, maka aturan lain jadi kacau. Demokrasi dan aturan kita sebenarnya sudah cukup, tidak perlu Omnibus Law Cipta Kerja ini,” katanya.

 

Karena itu, Fahri berharap agar Presiden Jokowi tidak otoriter dalam menerapkan UU Cipta Kerja. Jokowi harus mengumpulkan semua pihak duduk satu meja dan berbicara mengenai UU Cipta Kerja, sehingga publik bisa memililiki pemahaman yang sama dengan pemerintah.

 

“Itu bisa disiasati. Tidak usah menjadi otoriter kalau sekedar mengajak rakyat berpatisipasi dalam pembangunan. Tidak perlu otoriter, ajak semua ngobrol agar memahami kepentigan untuk akselerasi kita. Saya kira semua akan ikut mendukung,” katanya.

 

Fahri menambakan, pemeritah seharusya tidak perlu melibatkan DPR sejak awal dalam menuntaskan permasalahan Omnibus Law. Cukup panggil seluruh stakeholder terkait selesaikan secara sepihak di internal pemerintah, dan tidak perlu menerebos banyak UU.

 

“Kalau ada aturan baru yang tidak melanggar hukum tentu akan didukung oleh publik. Nggak usah ajak DPR, nggak perlu repot-repot begini. Omnibus Law itu nanti akan dihajar terus karena bertentangan dengan publik dan buruh. Kasihan Pak Jokowi nanti diakhir jabatannya,” pungkas Fahri.  (SY )