
Suatu hari Anak Gadis protes agak keras. “Ayah koq gak pernah komen nilai raport aku. Kan naik terus nilai aku dari semester sebelumnya. Ayah gak peduli deh." Saya tersenyum dan membenarkan apa yang disampaikan Anak Gadis. Karena memang saya tidak pernah berkomentar tentang nilai raport. Mau nilainya 9 atau 10, tidak saya puji. Nilai 5 atau 6 tidak saya marahi (tapi Alhamdulillah sih gak pernah anak-anak dapat nilai di bawah 8 ). Di rumah, saya juga tidak pernah menyuruh anak saya belajar, bahkan ketika besok ujian. Salah ya saya? Jangan ditiru ya teman-teman.
Kepada Anak Gadis, saya pun menjelaskan panjang lebar konsep saya tentang sekolah dan pendidikan. “Nduk (panggilan orang tua di Jawa kepada anak gadisnya, Red). Kalau ada orang yang paling peduli tentang pendidikan kamu, orang itu adalah ayah. Ayah tidak berkomentar tentang nilai raport-mu bukan berarti ayah tidak peduli. Ayah peduli tentang kemajuan pendidikan kamu, tetapi ayah tidak hanya melihat angka-angka dan penilaian kualitatif yang ada di dalam raport-mu”.
Kenapa begitu Yah? “Karena angka dan kalimat yang ada di raport-mu itu tidak cukup mewakili untuk melihat kemajuan pendidikanmu. Tidak cukup. Yang lebih ayah lihat adalah bagaimana sikap sehari-harimu, bagaimana etikamu kepada orang tua, sopan-santunmu kepada guru, adab saat bergaul dengan teman-teman di sekolah, kedewasaan dalam berpikir, juga ibadahmu. Sejauh semua “nilai” yang tidak ada di dalam raport ini baik, ayah sudah tidak perlu lagi melihat raport-mu. Karena bagi ayah, juga Mama, hakikat sekolah adalah agar kamu belajar tentang kehidupan. Agar kamu bahagia, agar kamu aman dan nyaman, bisa bergaul dengan teman-temanmu yang datang dari beragam suku, agama, dan mungkin bangsa. Juga bergaul dengan beberapa temanmu yang oleh Allah dilahirkan istimewa. Membangun adab, etika, sopan santun dalam pergaulan itulah yang akan menjadi pelajaran di sekolah yang sesungguhnya.”
Kalau gitu, nilai yang tinggi tidak penting dong Yah? “Bukan begitu, nilai pelajaran yang baik itu penting. Dan Ayah bersyukur, karena kamu memiliki kesadaran untuk mendapatkan nilai yang baik, meski Ayah tidak pernah menyuruh kamu belajar. Kamu belajar sendiri, rajin, dan nilaimu baik. Namun nilai yang baik itu juga harus diraih dengan kejujuran. Jangan pernah menyontek hanya sekadar untuk mendapatkan nilai yang baik. Waktu kuliah dulu (tapi ini jangan ditiru ya Nduk), dalam beberapa mata kuliah, Ayah ketika ujian tidak sempat belajar (biasa kesibukan sebagai aktivis pers kampus ???? alesan), akhirnya tidak bisa sama sekali menjawab soal ujian.”
Terus nol dong nilainya Yah? “Karena gak bisa jawab sama sekali, di kertas jawaban, Ayah tulis saja kalimat Bismillah dan tulisan permintaan maaf kepada dosen ‘Mohon maaf Bapak/ Ibu Dosen, saya tidak bisa menjawab soal ujian ini karena belum sempat belajar’. Lalu ayah kumpulkan dan Alhamdulillah dosennya tetap kasih nilai B ???????????? Tapi ini juga jangan ditiru ya Nduk.” Anak gadis tertawa.
“Pesan Ayah, tetap belajar yang baik. Tetapi terus menjaga dan memperbaiki sikap, perilaku, etika, dan adab kita dalam pergaulan itu jauh lebih penting. Melihat kamu bisa bangun sendiri shalat Subuh juga shalat wajib lainnya tanpa disuruh, itu sudah sesuatu yang sangat luar biasa dan Ayah bersyukur. Kamu menunjukkan rasa sayang ke Mama, itu adalah segalanya. Jadi, kalau Ayah tidak komen, bukan karena Ayah tidak peduli, tetapi tidak ada yang perlu Ayah khawatirkan tentang kamu. Bisa dipahami ya Nduk?” Anak Gadis tersenyum dan mengangguk.
“Ayah,” kata Anak Gadis sambil menunjukkan ponselnya. “Aku beli ini boleh ya? Keren tuh Yah. Jadi hadiah naik kelas 9 lha ya?” Meski bersungut melihat harganya, saya mengangguk sambil mbatin “Kalau hobi belanja online ini pasti tertular Mamanya.” (***)
-
Harian DI’s Way: Langkah Dahlan Iskan Menyelamatkan Industri Surat Kabar? Industri media cetak sudah sunset (meredup). Ini fakta. Namun begawan media Dahlan Iskan membuat kejutan. Tanggal 4 Juli 2020, Sabtu nanti, akan menerbitkan Harian DI’s Way.