merdekanews.co
Senin, 14 Januari 2019 - 08:37 WIB

Mitigasi Risiko Gempa Sumut Libatkan Pakar

MUH - merdekanews.co
Gempa dan tsunami Palu

MERDEKANEWS -Rancang bangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Sumut), didesain tahan gempaKajian mitigasi risiko gempa sudah selesai dilakukan pengembang PLTA Batang Toru sejak tahun 2017.

Tenaga Ahli PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), Didiek Djawadi menyatakan, kajian mitigasi gempa sangat penting bagi proyek PLTA. Proses survei yang dilakukan menyangkut berbagai detail, termasuk mempertimbangkan fakta ada sesar di kawasan Batangtoru.

“Setiap detail terkait mitigasi risiko kegempaan sangat kita perhatikan,” kata Didiek kepada wartawan di Medan, Minggu (13/1/2019).

Aspek kegempaan ini, kata Didiek, sudah disampaikan terbuka dalam banyak kesempatan, baik even nasional, maupun di tingkat Sumut. 
Terakhir, pada saat diskusi "Dinamika Tektonik & Potensi Bahaya Gempa Segmen Toru, Khususnya PLTA Batang Toru" di Medan

Didiek menjelaskan, proses survei yang dilakukan dalam serangkaian tahapan waktu tersebut, diselesaikan pada Maret 2017, yang merujuk pada berbagai ketentuan nasional dan internasional. 

Didiek menekankan, adalah keliru jika menyangka pembangunan proyek sebesar PLTA tidak dilandasi kajian kegempaan. Justru aspek ini sangat serius ditangani, dan melibatkan ahli berkompeten untuk itu. 

Kajian tidak hanya sebatas sesar aktif yang ada di Batangtoru, melainkan, mengkompilasi data kegempaan hingga radius 500 kilometer dari lokasi pembangunan PLTA. Baik data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), United States Geological Survey (USGS) dan lembaga lainnya. 

Kombinasi analisa kejadian gempa sebelumnya dan survei termutahir, itulah yang menjadi kesimpulan tim ahli. Rekomendasi yang disampaikan sangat mempertimbangkan kemampuan bangunan menerima efek dari potensi gempa itu sendiri.

"Itu yang harus kita analisis, bagaimana membuat suatu bangunan yang tidak runtuh oleh gempa. Sehingga baik dari struktur, beton, jenis tipenya itu semua harus terukur," kata Didiek, yang juga anggota Pusat Studi Gempa Bumi Nasional (PuSGeN).

Wilayah yang berada di dekat sesar bumi aktif tetap bisa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur. Namun diperlukan penguatan bangunan dengan perlakuan teknik sipil sebagai mitigasi terjadinya aktivitas geologi.

Secara terpisah, Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko menyatakan, hampir seluruh wilayah Indonesia ada patahan (sesar) bumi aktif, kecuali di Kalimantan.  Ini berarti pembangunan infrastruktur harus mendapat perlakuan khusus untuk meminimalisasi risiko jika terjadi aktivitas geologi seperti gempa. 

“Ada pekerjaan enginering yang lebih. Misalnya penguatan bangunan secara teknis sipil,” katanya.

Menurut Sukmandaru, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah merilis beberapa Standard Nasional Indonesia (SNI) dan kode bangunan yang harus diikuti sehingga memiliki ketahanan gempa sampai skala tertentu. 

“Memang ini akan berdampak pada biaya yang lebih tinggi, tapi mesti kita ikuti,” katanya.

Dia menyatakan, bangsa Indonesia bisa belajar dari Jepang yang sudah sangat memperhitungkan potensi bencana geologis dalam kebijakannya. Berbekal perhitungan tersebut, Jepang tetap bisa membangun berbagai infrastruktur.

Ditanya soal berapa jarak aman wilayah yang bisa dibangun jika ada patahan yang mencuat ke permukaan (rupture), Sukamandaru mencontohkan, di San Adreas, salah satu kota paling rawan gempa di Amerika  Serikat, bangunan bahkan bisa dibangun dengan jarak 15 meter dari garis patahan. 


  (MUH)