merdekanews.co
Minggu, 16 Desember 2018 - 20:08 WIB

Oleh: Darmaningtyas

POLITISASI ANGKUTAN ONLINE

Darmaningtyas - merdekanews.co

Kehadiran angkutan layanan angkutan umum yang dalam mencari penumpang menggunakan aplikasi teknologi atau popular disebut “angkutan online” yang secara massif, tidak hanya menimbulkan persoalan pada bidang transportasi saja, tapi juga social dan politik. Masa-masa kampanye Pilihan Presiden (Pilpres) seperti sekarang ini terlihat sekali adanya kekuatan-kekuatan yang saling menarik para pekerja angkutan online (driver) untuk mendukung masing-masing calon presiden.

 

Tarik menarik dukungan massa tersebut sebetulnya sudah dimulai sejak beberapa bulan silam, ketika para perwakilan ojek online (ojol) melakukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU LLAJ Nomor 22/2009 tentang Undang-undang Lalu Lintas Angkutan Jalan (UU LLAJ).

 

Permohonan uji mati tersebut dilakukan oleh perwakilan pengemudi ojek online (Ojol) yang diwakili oleh Tim Pembela Rakyat Pengguna Transportasi Online atau Komite Aksi Transportasi Online (KATO) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) terhadap UU LLAJ Nomor 22/2009 yang tercatat sebagai Perkara Nomor 41/PUU-XVI/2018.

 

Menurut Said Iqbal Koordinator Presidium KATO, pasal yang diuji adalah pasal 138 ayat (3) yang menyebutkan bahwa angkutan umum orang atau barang hanya dilakukan dengan kendaraan bermotor umum. Pasal ini turunan dari Pasal 47 ayat (3) butir a yang secara implisit memasukkan sepeda motor sebagai kendaraan bermotor perseorangan. Pasal ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945 khususnya pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

 

Namun melalui Putusan MK Nomor 41/PUU-XVI/2018 yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat (28/6), terhadap pertentangan antara pasal 47 ayat (3) UU LLAJ dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak terdapat korelasi antara hak para Pemohon atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hokum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum karena Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah berkait dengan hak setiap warga negara ketika berhadapan dengan hokum. Dengan demikian, menurut MK, Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

 

Permohonan uji materi juga dilakukan oleh perwakilan pengemudi taksi online/ASK khususnya terhadap UU LLAJ, pasal 151 huruf a mengenai angkutan orang dengan menggunakan taksi yang dinilai oleh para pemohon belum mengakomodasi taksi online sebagai salah satu penyedia jasa angkutan. Permohonan mereka tercatat dalam Perkara Nomor 97/PUU-XV/2017.

 

Namun melalui Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 bertanggal 6 Desember 2017, MK menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menegaskan bahwa apabila taksi aplikasi berbasis teknologi dijadikan sebagian dari norma Pasal 151 hurup a UU LLAJ, maka akan menjadi jenis angkutan tersendiri. Seandainya menjadi jenis taksi tersendiri, bagaimana membedakan antara taksi regular dengan taksi aplikasi berbasis teknologi? Taksi aplikasi berbasis teknologi itu termasuk bagian dari taksi.

 

Menanggapi Putusan MK yang menolak seluruh permohonan uji materi yang diajukan oleh KATO, Koordinator Presidium KATO, yang juga Presiden KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) Said Iqbal dalam konferensi pers di kantor LBH Jakarta (1/7/2018) menyatakan akan menggugat pemerintah melalui citizen law suit ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

 

Ada enam orang yang akan digugat, yaitu Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara, dan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo. KATO juga akan menggaungkan kampanye tidak memilih presiden yang tidak melindungi ojek online.

 

Keterlibatan Presiden KSPI dalam melakukan uji materi UU LLAJ tersebut patut diapresiasi karena itu merupakan komitmen nyata untuk membantu para buruh angkutan online untuk memperoleh legalitas operasional, namun langkah tersebut juga bagian dari politisasi angkutan online untuk mendukung salah satu kandidat presiden. Seperti diketahui oleh publik,

 

KSPI pada Hari Buruh 1 Mei 2018 lalu secara terbuka mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai Presiden 2019-2024 dan berharap agar kader terbaik KSPI, yaitu Said Iqbal menjadi Menteri Tenaga Kerja. Namun Said Iqbal lupa bahwa keberadaan angkutan online, khususnya Ojol bertahan hingga saat ini justru berkat dukungan politik dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

 

Publik tentu ingat, ketika November 2015 Menteri Perhubungan Ignatius Jonan membuat Surat Edaran yang melarang operasional Ojol, maka surat tersebut langsung dicabut ketika sore harinya Presiden Jokowi menyatakan ojek online tidak dilarang. Tapi ditata.

 

Jadi bila ada yang berkampanye untuk tidak memilih presiden yang tidak melindungi Ojol atau angkutan online lainnya, dan itu ditujukan kepada Presiden Jokowi, jelas salah sasaran dan tidak paham sejarah angkutan online di Indonesia. Go-Jek maupun GrabBike justru berutang budi kepada Presiden Jokowi, karena kalau saat itu Presiden Jokowi tidak mengeluarkan pernyataan yang bernada mendukung Ojol, maka Ojol sudah tamat riwayatnya.

 

 

Menjaga Soliditas

 

Nuansa tarik menarik dukungan massa dari angkutan online ini mulai tampak ketika pada awal Desember ini dua kelompok yang berbeda bertandang ke masing-masing idolanya, ada kelompok yang menyatakan dukungannya kepada pasangan calon nomer satu, tapi ada pula yang menyatakan dukungannya kepada nomer dua.

 

Sebetulnya itu hal yang wajar saja dalam proses demokratisasi. Hanya saja, karena model kampanye sekarang yang tidak sehat, sehingga perbedaan pilihan dapat menyebabkan terjadinya perpecahan, maka ketika para pekerja angkutan online masuk ke ranah kampanye Pilpres, kurang menguntungkan bagi soliditas para pekerja angkutan online itu sendiri di dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

 

 

Kekuatan pekerja angkutan online ini adalah pada penggunaan teknologi aplikasi, bukan saha untuk mencari sewa, tapi juga untuk berkoordinasi dengan sesama pekerja, sehingga bila diperlukan, mereka akan mudah dimobilisasi dalam waktu singkat. Bila ada yang iseng lalu kedua kelompok tersebut mempertemukan mereka di lapangan untuk saling berhadap-hadapan, maka itu akan merugikan para pengemudi angkutan online itu sendiri. Yang diperlukan oleh para pekerja angkutan online saat ini adalah menjaga soliditas antar sesama pelaku transportasi online agar kuat di dalam menghadapi tekanan dari aplikator, baik melalui penerapan harga yang sangat tidak ekonomis, maupun suspend sewaktu-waktu yang dapat menyebabkan para driver kehilangan pekerjaan ngojeknya secara tiba-tiba.

 

 

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh INSTRAN (Institut Studi Transportasi/LSM Transportasi terhadap 600 responden pekerja angkutan online, baik Ojol maupun taxi online, mayoritas responden menilai bahwa tariff rupiah/km yang ditetapkan oleh aplikasi saat ini sangat tidak ekonomis. Tarif yang dinilai ekonomis berkisar antara Rp. 3.000 – Rp. 4.000o, sementara tariff yang ada sekarang dibawah Rp. 2.000/km. Penentuan tarif ini sepenuhnya ada pada aplikator.

 

Sedangkan kecemasan yang dihadapi oleh mayoritas responden adalah mengalami suspend sewaktu-waktu maupun di-suspend secara permanen. Otoritas suspend ini ada pada aplikator. Menghadapi tekanan aplikator yang begitu menyiksa tersebut, diperlukan soliditas dari para pengemudi angkutan online agar mereka mampu memberikan pressure kepada aplikator agar lebih peduli pada penderitaan pengemudi.

 

Namun bila antara pengemudi terjadi polarisasi akibat perbedaan pilihan presiden, maka itu melemahkan pengemudi itu sendiri. Pengemudi angkutan online semestinya mempertahankan indepensi mereka demi menjaga soliditas organisasi mereka.

 

Penulis: Darmaningtyas, Ketua Instran (Institut Studi Transportasi) di Jakarta (Darmaningtyas)