merdekanews.co
Sabtu, 24 Februari 2024 - 18:40 WIB

Reformasi Birokrasi Kepolisian

Viozzy - merdekanews.co
Ilustrasi. (Foto: Net)

Jakarta, MERDEKANEWS -- Dalam studi banding pada sistem kepolisian Jepang, pada tataran konseptual dan implementasi dari NPA (Markas Besar) sampai tingkat Koban, benang merah yang dapat ditarik sebagai kesimpulannya yaitu: kepolisian Jepang memiliki spirit untuk menjadi polisi sebagai pejuang kemanusiaan yang dibangun atas dasar kesadaran, tanggung jawab dan disiplin.

Disiplin dan bekerja keras dalam ketulusan hati ditunjukan dalam pemolisiannya. Kecintaan dan kebanggaan akan pekerjaannya dilakukan dengan sepenuh hati setia serta loyal kepada masyarakat, bangsa dan negara serta institusi kepolisian. 

Pemolisiannya terus dikembangkan dan terus berjuang bagi upaya-upaya kemanusiaan, keteraturan sosial dan peradaban. Semua itu dilakukan dengan profesional, cerdas, bermoral dan modern bekerja dengan tulus serta bereaksi dengan cepat. Semua itu menjadi bagian dalam menjaga keamanan dan rasa aman warga masyakat. Keutamaan polisi dalam pemolisiannya untuk kemanusiaan, keteraturan sosial dan peradaban.

Reformasi adalah usaha perubahan menuju sesuatu yang lebih baik atau menjadi lebih baik. Birokrasi dapat dimaknai sebagai tata kerja institusi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada publik. Birokrasi dapat dimaknai pula dengan pembagian tugas sesuai dengan struktur organisasi dengan pembagian beban tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan tugas dalam institusi. 

Reformasi birokrasi adalah segala usaha atau upaya menjadikan birokrasi berfungsi secara profesional mampu memberikan pelayanan yang prima dan menjadi ikon pelayanan, perlindungan pengayoman masyarakat juga sebagai penegak hukum dan keadilan yang tegas berwibawa serta humanis. Selain itu juga diawaki oleh SDM yang berkarakter yang memiliki integritas komitmen kompetensi dan keunggulan. Benar-benar mencintai dan bangga akan institusinya. Implementasi penyelenggaraan tugas kepolisian dapat dilihat dalam ranah birokrasi maupun masyarakat yang ditunjukkan dengan kualitas prima dalam memberikan pelayan kepada publik. 

Pendekatan birokrasi yang profesional ada pada hubungan-hubungan yang sifatnya impersonal atau hubungan kompetensi. Birokrasi demikian disebut juga dengan birokrasi yang rasional. Artinya, konsep-konsep dan kebijakan-kebijakan bersifat tertulis. Keputusan ada pada pimpinan tetapi dia bertanggung jawab sebagai manajer atas kewenangan yang diberikan dan keputusan yang diambilnya. Sangat berbeda bahkan bertentangan dengan birokrasi yang patrimonial, feodal, dan tidak rasional dan pendekatan-pendekatan personal menjadi andalannya. 

Dalam mereformasi birokrasi, hal penting dan mendasar dilakukan adalah perubahan kultur yang dimulai dari perubahan mind set. Reformasi secara struktural, instrumental dan kultural diperlukan pembenahan mulai dari konsepnya, aturannya, infrastruktur dan sistem pendukung yang berbasis IT, melalui kepemimpinan yang transformatif, pembinaan SDM yang berkarkter adanya keteladanan serta penegakkan hukum yang tegas dan berkeadilan. Lebih menekankan pada pencegahan, membangun kemitraan yang dengan demikian mampu menjadikan birokrasi sebagai ikon bagi pelayanan publik yang berstandar prima. 

Hakikat reformasi secara mendasar yang paling sulit adalah reformasi kultural sebagai wujud perubahan mendasar atas nilai-nilai budaya, pedoman-pedoman, keyakinan-keyakinan, dan teori-teori yang digunakan secara selektif prioritas dalam mengimplementasikan pelayanan kepada publik, sehingga mampu menjadi ikon kepercayaan publik dengan standar pelayanan yang prima.

Hambatan reformasi birokrasi secara kultural, salah satunya adalah kepemimpinan yang melakukan diskresi birokrasi, yang cenderung menjadi korupsi. Diskresi birokrasi ini ditunjukkan adanya kepemimpinan yang otoriter dalam birokrasi patrimonial, kebijakan lisan atau kebijakan tidak tersurat namun tersirat dan mau tidak mau harus dijadikan pedoman bagi anggota bawahanya dalam menyelenggarakan tugas.  

Diskresi birokrasi ini memiliki kencenderungan korup, karena acuanya adalah keputusan yang subyektif dengan pendekatan personal sehingga secara moral, secara hukum, secara administratif, secara fungsional, secara sosial sulit untuk dipertanggungjawabkan.

Reformasi birokrasi merupakan perubahan mind set yang tidak mungkin dilakukan dengan cara instan, tidak mungkin juga dengan cara-cara fisik atau kegiatan seremonial ataupun supervisial sesaat. Tidak mungkin juga dilakukan dengan suatu perintah, "siap grak berubah grak ...". 

Perubahan mind set adalah proses yang memerlukan kemauan, keberanian, dan kepedulian bahkan kerelaan berkorban dari pimpinan hingga segenap unsur  pimpinan di semua lini karena para pemimpin ini semestinya menjadi agen perubahan, teladan atau panutan yang mempunyai kekuasaan, kesempatan dan legitimasi untuk melakukan perubahan. 

Keteladanan, integritas, komitmen moral, dari pimpinan menjadi dasar pijakan perubahan mind set bahkan culture set. Political will pimpinan menjadikan tiang pancang untuk tautan, karena tanpanya sistem akan hancur berantakan. Aspek lain yang perlu dilakukan adalah edukasi bertahap, berjenjang, dan berkesinambungan bahkan sepanjang hayat untuk menjadikan birokrasi menjadi pembelajar. Pada tahap ini semua level pimpinan wajib mengedukasi bawahannya sebagai mentor yang mampu menjembatani memotivasi memberdayakan bahkan membantu memberikan berbagai solusi. 

Perubahan nilai-nilai budaya yang diikuti dengan pembangunan infrastruktur dan penegakkan hukum dan disiplin harus dilakukan. Tentu ini tidak dilakukan dengan cara-cara otoriter tetapi bagaimana kesadaran dapat dibangun dan bagaimana kepekaan dan tanggung jawab diwujudkan. Yang tidak kalah penting adalah membangun karakter institusi yang ditinjukan dari profesionalisme, keunggulan-keunggulan, maupun sikap moralitas. Kesadaran merupakan tingkatan moral tertinggi yang dapat mendorong : kepekaan, kepedulian bahkan empati serta belarasa yang menjadikan humanis untuk mengangkat harkat dan martabat manusia

Dukungan dari berbagai pemangku kepentingan dan legitimasi dari berbagai pihak  merupakan soft power yang dapat dijadikan landasan dan langkah awalnya atau modal dasar reformasi birokrasi.  

Reformasi birokrasi, pemahamannya dapat dimaknai sebagai upaya menuju birokrasi yang rasional, modern, yang berdasarkan kompetensi, profesional, cerdas, modern, inovatif kreatif, transparan, akuntabel dan proaktif serta problem solving. 

Reformasi birokrasi kepolisian dapat dipahami sebagai upaya kepolisian menjadi  polisi sipil yang profesional, cerdas, kreatif, inovatif, transparan, akuntabel, modern, proaktif, problem solving, kemitraan yang mengutamakan pencegahan serta seantiasa berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Di dalam masyarakat yang modern dan demokratis sebagai ikon peradaban, kemanusiaan.  

Reformasi secara struktural, instrumental dan kultural

Dalam mereformasi kepolisian ada 3 pola dasar yang meliputi upaya untuk :

1. Belajar dan memperbaiki kesalahan masa lalu. 

Yang harus berani ditunjukan apa kesalahan-kesalahan masa lalu dan tentu saja bukan karena subyektifitas serta sifat defense yang berlebihan. Tentu saja bukan untuk menyalahkan atau mencari kesalahan tetapi untuk memperbaiki kesalahan baik di bidang pembinaan maupun bidang operasional. Termasuk konsep-konsep dan peraturan-peraturan maupun pedoman-pedoman yang telah ada. Selain kesalahan tentu ada potensi-potensi yang bisa mendukung yang bisa diberdayakan atau direvitalisasi.

2. Siap menghadapi tuntutan dan kebutuhan masa kini.

Reformasi birokrasi kepolisian mewujudkan harapan dan kebutuhan serta tuntutan masyarakat di masa kini. Yang harus cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah. Untuk mencapainya tanpa dukungan ilmu pengetahuan dan  teknologi maka akan tidak mungkin terwujud.

3. Menyiapkan masa depan yang lebih baik.

Reformasi birokrasi merupakan upaya untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik, baik dalam bidang pembinaan maupun operasional. Sebagai contoh dalam pembinaan SDM baik dari rekrutmen sampai pengakhiran dinas berdasarkan standar kompetensi atau produktifitas, yang transparan, akuntabel.  

Sejalan dengan pemikiran di atas maka dalam reformasi birokrasi kepolisian hal-hal yang perlu dipersiapkan antara lain: 

1. Political will yang visioner dan mendukung proses reformasi birokrasi. 

2. Adanya kepemimpinan yang transformatif. 

3. Pembangunan infrastruktur yang berbasis IT.

4. Menyiapkan tim transformasi sebagai tim back up dan tim monitoring serta evaluasi. 

5. Menyiapkan SDM yang berkarakter sebagai penjaga kehidupan pembangun peradaban.

7. Memiliki program unggulan mencapai standar dan kualitas tinggi (world class). 

8. Menyiapkan pilot project sebagai model percontohan. 

9. Monitoring dan evaluasi dan melakukan evaluasi 

10. Mengembangkan apa yang sudah dicanangkan pada wilayah-wilayah lainnya.

Implementasi reformasi birokrasi kepolisian dapat dijabarkan dalam 8 program yang mencakup :

1. Birokrasi mampu menjadi institusi yang tepat fungsi, dan tepat ukuran (right size).

2. Tatalaksana (sistem, proses dan prosedur yang jelas, efektif, efisien, terukur, sesuai dengan prinsip-prinsip good governance).

3. Peraturan/ UU (regulasi yang tertib, tidak tumpang tindih).

4. SDM (SDM beritegritas, netral, kompeten, kapabel, berkinerja tinggi, dan sejahtera)

5. Pengawasan (meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN)

6. Akuntabilitas (meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi).

7. Pelayanan publik (pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat).

8. Budaya kerja (birokrasi dengaan integritas dan kinerja tinggi).

Delapan hal tersebut merupakan yang diprioritaskan pada : 

a. SDM (kompetensi), 

b. Instrument dan metode, 

c. Kelembagaan (struktur dan kultur). 

Implementasinya dijabarkan oleh masing-masing satker dan sub satker dari tingkat mabes sampai dengan polres. 

Mereformasi birokrasi kepolisian secara general prinsipnya bisa sama namun implementasinya dapat disesuaikan dengan corak masyatakat dan kebudayaanya, tupoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing yang dapat dikembangkan dalam membangun kepolisian sebagai polisi sipil dalam masyarakat yang modern dan demokratis (membangun supremasi hukum, memberikan jaminan dan perlindungan HAM, transparan dan akuntabel, berorientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat). Yang ditunjukan dari kinerja Polri yang : profesional, cerdas, transparan dan akuntabel, cepat, tepat, akurat, informatif, mudah di akses, proaktif, problem solving yang mengutamakan pada tindakan pencegahan.

Dengan demikian reformasi birokrasi kepolisian dalam membangun sistem pemolisian yang : 

1. Berbasis pada supremasi hukum 

2. Pemolisiannya dapat dipertanggungjawbkan secara : moral, hukum, administrasi,  fungsional dan sosial, kemanfaatanya bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Prinsip prinsip moralitas menjadi dasar karena tugas-tugasnya adalah untuk memanusiakan manusia dalam arti mengangkat harkat, martabat manusia, yang dibangun di atas dasar kesadaran, tanggung jawab, dan disiplin. Walaupun sebagai polisi yang modern dan handal dalam mengimplementasikan electronic policing maupun forensik sekalipun polisi tetap dikenal hati nurani humanis. 

Penjabaran konsep-konsep tersebut perlu dilakukan pada tataran kepemimpinan, administrasi, operasional, dan peningkatan kapasitas, mulai dari tingkat Mabes, Polda, Polres, Polsek dan sub-sektor, dan bahkan sampai babinkamtibmas.

Model pemolisian yang sekarang ini banyak diadopsi dalam kepolisian-kepolisian yang modern dan demokratis adalah community policing. Dalam penyelenggaraaan tugas Polri dikenal sebagai Polisi Masyarakat (Polmas). Pemolisian model e-policing dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian baik pada tingkat manajemen dan operasional, dengan atau tanpa upaya paksa, dalam mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial (kamtibmas). 

Pada era digital reformasi birokrasi ini, kepolisian sudah membangun sistem-sistem dan infrastruktur modern pemolisian secara online (e-policing).

Selain sistem, reformasi birokrasi kepolisian juga membangun ikon atau simbol-simbol bagi para petugasnya, simbol keahlian (profesionalisme), kemanusiaan, aparat yang berkarakter, dan simbol perubahan. 

Melaksanakan simbol-simbol itu merupakan wujud dari keunggulan dan keunikan Polri yang membawa manfaat signifikan bagi keamanan dan keselamatan masyarakat. Perwujudan ikon atau simbol itu akan menjadi kebanggaan yang sekaligus memecahkan beberapa masalah yang internal maupun eksternal. Jika para petugasnya mampu menjadi ikon, maka masalah yang dihadapi secara internal dapat diminimalisir atau bahkan nyaris tidak ada lagi.

E Policing mendukung program E Goverment dalam membangun smart city

Smart city saat ini memang sedang menjadi trend di Indonesia. Bukan sekedar sebagai gengsi, melainkan sebuah langkah dalam memajukan kota di suatu negara dengan basis teknologi informasi dan komunikasi (TIK). 

Smart city dapat diartikan sebagai sebuah kota cerdas dengan konsep yang dirancang sedemikian rupa untuk kepentingan masyarakat, terutama dalam pengelolaan sumber daya agar lebih efisien dan efektif.

Sedangkan aspek utama pembangun smart city menurut Frost dan Sullivan pada tahun 2014 yaitu : 

1. Smart Governance 

2. Smart Technology 

3. Smart Infrastructure 

4. Smart Healthcare 

5. Smart Mobility 

5. Smart Building 

6. Smart Energy dan 

7. Smart Citizen. 

Tujuan dari smart city itu sendiri adalah untuk membentuk suatu kota yang nyaman, aman, serta meningkatnya kualitas hidup masyarakat dan memperkuat daya saing dalam berbagai bidang kehidupan sosial kemasyarakatan.

E-Government dapat diaplikasikan pada legislatif, yudikatif, atau administrasi publik, untuk meningkatkan efisiensi internal, menyampaikan pelayanan publik, atau proses kepemerintahan yang demokratis. Model penyampaian yang utama adalah Government-to-Citizen atau Government-to-Customer (G2C), Government-to-Business (G2B) serta Government-to-Government (G2G). 

Keuntungan yang paling diharapkan dari e-government adalah peningkatan efisiensi, kenyamanan, serta aksesibilitas yang lebih baik dari pelayanan publik.

Perbankan Elekronik/E-banking yang juga dikenal dengan istilah internet banking ini adalah kegiatan yang melakukan transaksi, pembayaran, dan transaksi lainnya melalui internet dengan website milik bank-bank yang dilengkapi sistem keamanan. 

Adapun persyaratan pelayanan prima antara lain: a). aplikasi mudah digunakan; b). layanan dapat dijangkau dari mana saja; c). murah; d). dapat dipercaya; dan e). dapat diandalkan (reliable).

E Policing adalah pemolisian secara elektronik yang dapat diartikan sebagai pemolisian secara online, sehingga hubungan antara polisi dengan masyarakat bisa terjalin dalam 24 jam sehari dan 7 jam seminggu tanpa batas ruang dan waktu untuk selalu dapat saling berbagi informasi dan melakukan komunikasi.

Bisa juga dipahami e-policing sebagai model pemolisian yang membawa community policing pada sistem online. Dengan demikian E-Policing ini merupakan model pemolisian di era digital yang berupaya menerobos sekat-sekat ruang dan waktu sehingga pelayanan-pelayanan kepolisian dapat terselenggara dengan cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel informatf dan mudah diakses.

Sistem ini bisa menjadi strategi inisiatif anti korupsi, reformasi birokrasi dan creative break through. Dikatakan sebagai inisiatif antikorupsi karena dengan sistem-sistem online dapat meminimalisir bertemunya person to person. Dalam pelayanan-pelayanan kepolisian di bidang administrasi contohnya sudah dapat digantikan secara online melalui e-banking, atau melalui ERI (Electronic Registration and Identification) 

E-Policing bukan dimaksudkan untuk menghapus cara-cara manual yang masih efektif dan efisien dalam menjalin kedekatan dan persahabatan antara polisi dengan masyarakat yang dilayaninya. Sebaliknya, sistem ini justru untuk menyempurnakan, meningkatkan kualitas kinerja sehingga polisi benar-benar menjadi sosok yang profesional, cerdas, bermoral dan modern sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan.

E-Policing dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian yang berbasis elektronik yang berarti membangun sistem-sistem yang terpadu, terintegrasi, sistematis dan saling mendukung, ada harmonisasi antar fungsi/ bagian dalam mewujudkan dan memelihara keamanan dan rasa aman dalam masyarakat.

Pemolisian tersebut dapat dikatakan memenuhi standar pelayanan prima yang berarti: Cepat, Tepat, Akurat, Transparan, Akuntabel, Informatif dan mudah diakses. Pelayanan prima dapat diwujudkan melalui dukungan SDM yang berkarakter, pemimpin-pemimpin yang transformatif, sistem-sistem yang berbasis IT, dan melalui program-program yang unggul dalam memberikan pelayanan, perlindungan, pengayoman bahkan sampai dengan penegakkan hukumnya.

Pembahasan E-Policing dapat dikategorikan dalam konteks : 1. Kepemimpinan, 2. Administrasi, 3. Operasional, 4. Capacity Building (pembangunan kapasitas bagi institusi).

Smart city bukanlah sebagai tujuan utama melainkan meningkatnya kualitas hidup masyarakatlah tujuanya. Kota yang humanis aman nyaman asri termasuk lalu lintasnya yang aman, selamat, tertib dan lancar. Sejalan dengan hal tersebut program IT for road safety merupakan langkah mendasar untuk memetakan, membuat model, penanganan secara holistik atau sistemik, pendekatan berbasis pada scientific dan teknologi, terbangunya big data dalam back office yang diinput melalui berbagai aplikasi dan juga akan dikaji melalui riset secara ilmiah. Hal-hal yang dilakukan inputing data adalah membuat kategori mengidentifikasi akar masalah penyebab dari setiap permasalahan 

Mengimplementasikan e policing berbasis smart management yaitu membangun kinerja profesional yang berbasis SOP yang mencakup: 

a) Job Description dan Job Analysis masing-masing bagian 

b) Standardisasi keberhasilan tugas 

c) Sistem penilaian kinerja 

d) Sistem reward and punishment 

e) Etika kerja (apa yang harus di lakukan dan apa yang tidak boleh dikerjakan/ do dan don’t)

Point a sampai dengan e inilah yang tercakup pada smart management.

Cdl

Penulis

Kasespim Lemdiklat Polri Irjen Pol. Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si. (Viozzy)