merdekanews.co
Kamis, 22 Maret 2018 - 16:20 WIB

Kasus Sematang Borang, Catatan Hitam Konflik Lahan era Jokowi

alisya purwanti - merdekanews.co

Jakarta, MERDEKANEWS - Jagad politik menjadi hingar-bingar pasca kritik keras Mantan Ketua MPR yang juga pendiri PAN, Amien Rais terhadap program sertifikasi tanah yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.

Dalam sebuah diskusi di Bandung, Jawa Barat, Minggu (18/3/2018), Ketua Dewan Kehormatan PAN, Amien Rais menyebut bagi-bagi sertifikat gratis di era Jokowi, tak lebih dari pengibulan. Lantaran, 74% lahan di Indonesia dikuasai orang kaya yang jumlahnya hanya segelintir. "Ini pengibulan, waspada bagi-bagi sertifikat, bagi tanah sekian hektare, tetapi ketika 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu seolah dibiarkan. Ini apa-apaan?" kata tokoh reformasi ini.

Sontak pernyataan tersebut melahirkan gempa politik yang lumayan dahsyat. Banyak pihak kebakaran jenggot dan bereaksi keras. Salah satunya Menko Kemaritiman Luhut B Pandjaitan. "Jangan asal kritik saja. Saya tahu track record-mu kok. Kalau kau merasa paling bersih kau boleh ngomong. Dosamu banyak juga kok, ya sudah diam sajalah. Tapi jangan main-main, kalau main-main kita bisa cari dosamu kok. Emang kau siapa,” kata Luhut.

Tak hanya Luhut, sejumlah kader parpol pendukung era Jokowi ikut-ikutan bicar, mengkritik Amien Rais. Ingat, ini tahun politik lho. Bisa jadi, aksi pembelaan yang bertubi-tubi ini, tak lebih sebagai upaya mencuri perhatian Jokowi. Mahlumlah, Jokowi adalah capres yang paling potensial menang.

Okelah itu soal politik. Sejatinya, pernyataan Amien Rais tidak hebat-hebat amat. Jadi, tidak perlu direspons secara berlebihan alias lebai, meminjam istilah anak zaman now. Selain itu, pernyataan Amien bisa jadi bersumber dari data Bank Dunia.

Pada 15 Desember 2015, laporan Bank Dunia menyebutkan, sebanyak 74% tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2% penduduk. Mereka inilah yang disebut orang kaya. Termasuk penguasaan lahan 5 juta hektar oleh taipan yang pernah dinobatkan sebagai orang terkaya pertama di Indonesia.

Mantan Ketua Komisioner Komnas HAM Hafid Abbas pernah mengatakan, program reforma agraria yang digagas Presiden Jokowi, bagu-bagus saja. Akan lebih 'nendang' apabila menggunakan formula 1:2:3. Di mana, 1 bagian untuk kelompok kaya, 2 bagian untuk kelompok menengah, dan 3 bagian untuk kelompok miskin.

Dalam hal ini, kata dia, pemerintah perlu mengambil-alih sebagian besar lahan yang dikuasai konglomerasi besar. Selanjutnya, tanah tersebut dibagikan kepada rakyat dengan formulasi 1:2:3. Artinya, 5 juta hektar lahan yang dimiliki konglomerat Indonesia itu, disita negara. Selanjutnya dimasukkan dalam program reforma agraria.

Suka atau tidak, kondisi saat ini, menunjukkan lahan di negeri ini, dikuasai sekelompok kecil penduduk. Akibatnya, rakyat miskin atau wong cilik, tak punya celah untuk keluar dari kemiskinan. Karena, mereka tidak mempunyai lahan untuk dijadikan penopang hidup.

Ironisnya, dalam banyak sengketa lahan, peemerintah acapkali mangkir. Padahal, masyarakat kecil sangat membutuhkan kehadiran pemerintah dalam proses penyelesaiannya. Salah satu yang mengemuka dalah sengketa lahan di Sematang Borang, Kota Palembang, Sumatera Selatan.

Warga dua kelurahan yakni Srimulya dan Sidomulya yang berjumlah 8 ribu kepala keluarga (KK) nekat mempertaruhkan nyawa demi lahan seluas 405 hektar. Mereka tak gentar meski harus berhadapan dengan pengusaha besar Palembang, H Halim.

Pada September 2017, mereka berhasil mengusir petugas BPN yang berniat melakukan pengukuran di atas lahan yang diklaim milik H Halim. Nah, masalah seperti ini jangan dianggap sepele. Dikhawatirkan bisa meletupkan konflik di kemudian hari. (alisya purwanti)