merdekanews.co
Jumat, 24 November 2023 - 20:28 WIB

Oleh: Muhammad Irvan Mahmud Asia

Polemik Pembangunan Smelter Freeport

### - merdekanews.co
Muhammad Irvan Mahmud Asia Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria & Sumber Daya Alam/PPASDA

Sejak tahun 2018, saham mayoritas Freeport dimiliki oleh pemerintah Indonesia (51,23%) melalui holding BUMN (Mining Industry Indonesia/Mind ID) dan berhasil meyakinkan Freeport untuk membangun smelter sebagai amanat Undang-Undang No 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Namun demikian kemajuannya sangat lambat, bahkan muncul polemik perihal lokasi pembangunan smelter yang berlokasi di Gresik Jawa Timur, terkini muncul Fakfak, Papua Barat.

Atas dasar inilah, Bupati Mimika, Eltinus Omaleng mengecam pihak-pihak terkait.

Belum selesai soal smelter, terbaru muncul wacana kontrak Freeport akan diperpanjang lagi hingga 2061.

Wacana ini muncul setelah pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Chairman Freeport McMoRan Richard Adkerson pada Senin (13/11/2023) di Amerika Serikat.

Jika perpanjangan kontrak dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan bahan baku dan menjalankan hilirisasi, sulit bagi kita untuk tidak melihat adanya kepentingan lain dibalik perpanjangan tersebut.

Selain karena perjanjian sebelumnya baru akan berakhir tahun 2041 dan sesuai ketentuan Undang-Undang mestinya perpanjangan kontrak baru bisa dilalukan paling cepat 5 tahun (2036) dan paling lambat 2 tahun (2039) sebelum izin kontrak berakhir.

Disisi lain berbagai komitmen yang dituntut: saham 10% untuk pemerintah daerah, memperbaiki pengelolaan dampak lingkungan, menyusun rencana pasca penambangan, meningkatkan peran tenaga kerja asal Papua, dan berbagai tuntutan lainnya yang sampai sekarang belum diakomodir.

Pemerintah yang seharusnya membantu pemerintah daerah dan rakyat Mimika justru terkesan jadi juru bicara Freeport.

Konflik kepentingan dalam penguasaan sumber daya alam semacam inilah yang menjadi awal terbentuknya konflik – melibatkan para pemangku kepentingan atas sumber tambang dan pemegang saham (perusahaan multinasional) seperti Freeport. Hal itu akibat politik tinggi karena banyaknya kepentingan dan aktor yang terlibat.

Rakyat Papua hanya mendapatkan serpihan tetesan dari kue ekonomi itu. Bahkan tak jarang mendapatkan kekerasan sampai korban jiwa ketika memperjuangkan hak-haknya.

Tata kelola Freeport memang tidak adil bahkan diskriminatif. Apapun keinginan industrialisasi Freeport (secara sosial, ekonomi, lingkungan) mestinya menjadi rekreasi nyata dari keberpihakan pada kemakmuran rakyat Mimika dan rakyat Papua pada umumnya secara berkelanjutan.

Oleh karena itu, pembangunan smelter di luar Mimika perlu dipikirkan ulang terutama mengenai dampak sosial ekonomi dan keamanan di Papua.

Lebih dari itu, tata kelola Freeport di masa depan dengan masuk ke pabrik peleburan harus berkategori berkelanjutan yang melibatkan kemajuan sosial, pembangunan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan konservasi.

(###)