merdekanews.co
Senin, 19 Juli 2021 - 13:03 WIB

Lindungi Pesisir, KKP Lakukan Pemetaan Kerentanan

Yani - merdekanews.co
Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM), melakukan pemetaan karakteristik pesisir untuk mengetahui kerentanannya guna melindungi wilayah pesisir Indonesia

Jakarta, MERDEKANEWS -- Pesisir merupakan wilayah yang rentan mengalami bencana, baik secara alami maupun akibat kegiatan manusia.

Karena itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), melalui Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM), melakukan pemetaan karakteristik pesisir untuk mengetahui kerentanannya guna melindungi wilayah pesisir Indonesia.

Berdasarkan arahan Presiden Joko Widodo dalam Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional, 4 Mei lalu, KKP mendapatkan mandat untuk melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan samudera untuk pembangunan berkelanjutan, dalam upaya mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 14, yaitu Life below Water.

Kepala BRSDM Sjarief Widjaja mengatakan, "KKP secara khusus memiliki target yang harus dicapai, yaitu mengurangi pencemaran laut, mengelola dan melindungi ekosistem laut dan pesisir secara berkelanjutan; meminimalisasi dan mengatasi dampak pengasaman laut; mengatur dan menghentikan penangkapan ikan yang berlebihan; dan melestarikan setidaknya 10 persen dari wilayah pesisir dan laut; melarang bentuk-bentuk subsidi perikanan tertentu yang berkontribusi pada penangkapan ikan berlebihan; meningkatkan manfaat ekonomi dari penggunaan sumber daya ikan berkelanjutan; meningkatkan pengetahuan ilmiah pengembangan kapasitas penelitian dan alih teknologi kelautan; serta mengimplementasikan dan penegakan hukum laut internasional."

Khusus terkait pesisir, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Ekosistem pesisir tersebut berjasa terhadap lingkungan seperti menjadi tempat pengembangbiakan ikan dan biota laut, dan pelindung pantai dari abrasi dan badai.

Letak geografis Indonesia yang berada di pertemuan Benua Asia-Benua Australia dan terbentang diantara Samudera Hindia-Samudera Pasifik membuat Indonesia berpotensi mengalami berbagai bencana seperti abrasi, tsunami, banjir, letusan gunung berapi, dan tanah longsor. Posisi ini juga menyebabkan perbedaan karakteristik pesisir, dimana wilayah yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia cenderung memiliki energi gelombang yang tinggi seperti Barat Sumatera dan Selatan Jawa yang pada umumnya memiliki pantai lurus yang didoninasi oleh pantai berpasir. Sedangkan bagian Timur Sumatera dan Utara Jawa merupakan wilayah pesisir dengan energi gelombang yang rendah dan pada umumnya paras pantai terdiri dari endapan aluvial. Selain faktor alamiah tersebut, kegiatan-kegiatan yang dilakukan manusia khususnya di sepanjang wilayah pesisir juga menimbulkan degaradasi pantai seperti abrasi, sedimentasi, penurunan muka tanah dan sebagainya.

Karena itu, BRSDM melalui Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir (LRSDKP) dibawah supervisi Pusat Riset Kelautan melakukan pemetaan karakteristik pesisir. Tujuannya untuk mengetahui kerentanan pesisir agar dapat menentukan langkah-langkah untuk melindungi wilayah pesisir Indonesia dari kerusakan yang lebih jauh lagi.

“Terdapat beberapa faktor yang menjadi latar belakang pemetaan kerentanan pesisir antara lain garis pantai Indonesia mencapai 108.000 km; terletak di pertemuan Benua Asia dan Benua Australia serta terbentang di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik; potensi alam dan bencana; perbedaan karakteristik; serta Supermarket of Disasters,” ujar Peneliti LRSDKP Ruzana Dhiauddin

Definisi kerentanan pesisir adalah kecenderungan pesisir untuk merespon terhadap bencana yang menyebabkan kerugian (Gornitz, 1990) dan segala sumber daya yang berisiko terhadap bencana pesisir (Marchant, 2017).

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2010, kerentanan pesisir adalah kondisi biologis, lingkungan, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan teknologi suatu masyarakat serta kondisi  fisik geografis alam  di suatu  wilayah untuk waktu tertentu yang mengurangi kemampuan suatu masyarakat mencegah, meredam, kesiapan, dan menanggapi dampak tertentu.

Adapun menurut Lins-de Barros & Muehe, 2013 kerentanan pesisir adalah 1) paparan garis pantai, ekosistem, serta masyarakatnya terhadap ancaman bencana berupa perubahan fisik pesisir; dan 2) kesanggupan untuk memulihkan diri atau beradaptasi dengan dampak yang ditimbulkan oleh suatu bencana.

Ruzana melanjutkan, terdapat beberapa metode yang telah diterapkan LRSDKP dalam memetakan kerentanan, diantaranya Coastal Vulnerability Index (CVI) dan Smartline.

“Metode CVI memungkinkan untuk melakukan penyesuaian parameter dengan sistem pemetaan secara transek serta klasifikasi kerentanan dilakukan dengan perangkingan setiap parameter,” ujar Ruzana.

“Metode Smartline memungkinkan untuk melakukan penyesuaian parameter yang dikumpulkan pada daerah yang sejajar dan tegak lurus garis pantai. Metode ini mengharuskan melakukan pengamatan, perekaman, pengukuran setiap ditemukannya perubahan, sehingga terdapat segmentasi yang berbeda akan dihasilkan pada setiap parameter. Namun, pengelompokan kerentanan dilakukan tanpa perangkingan,” tambahnya.

Ruzana melanjutkan, riset kerentanan pesisir meliputi kajian terhadap tsunami, erosi, akresi, rob, perubahan garis pantai, potensi likuifaksi di wilayah pesisir, serta sampah laut dan pesisir.

Lokasi yang menjadi objek riset salah satunya adalah Pulau Simeulue, Aceh, pada 2015. Pulau ini terdampak oleh bencana tsunami Aceh. Bagian utara pesisir Simeulue mengalami kenaikan 150 cm. Dilakukan identifikasi kerentanan untuk pengelolaan pesisir yang lebih baik.

Lokasi riset lainnya adalah Pangandaran, Jawa Barat, pada 2016. Lokasi ini  merupakan salah satu tujuan wisata. Di sana tersedia hotel, homestay, restaurant serta fasilitas lainnya. Terdapat bukti-bukti erosi dan kerusakan bangunan-bangunan semi-permanen, kondisi dan eksisting pelindung pantai, serta tingginya pemanfaatan kawasan pantai.

Lokasi selanjutnya adalah Pulau Weh, Aceh, pada 2017. Pulau ini merupakan salah satu dari 20 Lokasi Pembangunan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu di pulau-pulau kecil.

Lokasi berikutnya adalah Sumatera Barat pada 2019. Garis pantainya sekitar 367,9 km membentang di enam kabupaten. Terdapat dinamika pantai oleh gelombang Samudera Hindia yang kuat mencapai pantai serta proses abrasi dominan terjadi di sepanjang pantai.

Pemetaan kerentanan pesisir ini dibahas pada kegiatan Sharing Session BRSDM, 30 Juni lalu, yang disiarkan secara langsung pada kanal Youtube BRSDM TV. Tayangan tersebut saat ini masih dapat disaksikan pada link https://www.youtube.com/watch?v=RpPxv5tI29Q. 

(Yani)