merdekanews.co
Kamis, 11 Maret 2021 - 12:50 WIB

Di Asean MTWG Ke-40, Indonesia Paparkan Berbagai Program Strategis Transportasi Laut

Siswo Hadi - merdekanews.co

Jakarta, MERDEKANEWS --  Kementerian Perhubungan cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut memiliki banyak program dan kegiatan di sektor transportasi laut berskala internasional di bawah Kuala Lumpur Transport Strategic Plan (KLTSP) 2016-2025.  

Program-program ini dipaparkan dalam pertemuan ASEAN Maritime Transport Working Group (MTWG) ke-40 yang digelar secara virtual yang secara resmi ditutup kemarin (10/3).

Plt. Kasubdit Angkutan Laut Luar Negeri Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kementerian Perhubungan, Yudhonur Setyaji menjelaskan KLTSP adalah rencana induk 10 (sepuluh) tahun untuk sektor transportasi ASEAN, yang bertujuan untuk meningkatkan integrasi ekonomi regional.

“Pertama, Indonesia telah mengerjakan proyek pembangunan jalan untuk mendukung akses pelabuhan, misalnya pembangunan Jalan Tol Lintas Sumatera, Tol Manado-Bitung, dan Tol Balikpapan-Samarinda,” kata Yudho, di Jakarta, Rabu (10/3).

Dalam hal ini, Yudho menyampaikan informasi terbaru tentang mekanisme koordinasi nasional antara infrastruktur di pelabuhan dan jalan untuk akses yang lebih baik ke pelabuhan. Indonesia menyampaikan bahwa koordinasi pembangunan akses jalan dari dan ke pelabuhan dimotori oleh Kemenko Perekonomian sedangkan pembangunan jalan merupakan wewenang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Adapun pembangunan infrastruktur Pelabuhan merupakan wewenang Kementerian Perhubungan.

Kedua, Yudho mengungkapkan Indonesia juga menyampaikan perkembangan dari pengimplementasian Rute RoRo Dumai-Malaka, yang merupakan Pilot Project untuk ASEAN Single Shipping Market (ASSM), serta Rute RoRo Bitung-Davao/General Santos.

“Terlepas dari efek Pandemi Covid-19 terhadap dunia pelayaran, KM Gloria 28 sepanjang tahun 2020 dapat tetap melakukan voyage selama 3 atau 4 kali dalam setahun,” ujarnya.

KM Gloria 28 adalah kapal kargo konvensional yang telah beroperasi melakukan aktivitas ekspor impor antara Filipina Selatan dan Indonesia Timur. Pemerintah Indonesia dan Filipina telah sepakat untuk mempertahankan rute tersebut, dan tidak membatasi pelayaran hanya dilayani oleh kapal RoRo saja. Ada juga Jalur Ekspres Reefer dengan basis di Manila, yang diusulkan untuk berlayar dengan rute tersebut dan seterusnya ke Cina, Vietnam (Ho Chi Minh), atau Lahad Datu (Malaysia) dengan kapal MV. Baltic Summer yang akan difokuskan untuk membawa kargo kering dan beku.

“Sedangkan terkait Rute Dumai-Malaka, Pemerintah Indonesia dan Malaysia telah sepakat untuk menunda diskusi lebih lanjut dikarenakan oleh Pandemi Covid-19. Namun demikian, masing-masing negara tetap mempersiapkan dan mengadakan konsultasi internal untuk dapat melanjutkan pembahasan pada kesempatan pertama,” kata Yudho.

Ketiga, Indonesia menegaskan komitmen untuk mendukung Green Ship Strategy dengan menetapkan kewajiban penggunaan bahan bakar Low Sulfur (maksimal 0,5 % m/m), termasuk pengunaan Bahan Bakar B20 dan B30 yang memiliki kandungan sulfur di bawah 0,5 m/m; kewajiban penggunaan Scrubber bagi kapal yang masih menggunakan bahan bakar high sulfur; Kewajiban penerapan energy efficiency untuk mengurangi Emisi CO2; Peremajaan Kapal, yang dimulai dari kapal-kapal milik negara; Penggunaan alat bantu navigasi yang ramah lingkungan dengan energi surya (Solar Cell); serta kewajiban pelaporan konsumsi bahan bakar kapal untuk semua kapal berbendera Indonesia.

“Kami juga menyampaikan program terbaru Ditjen Perhubungan Laut, yaitu Peluncuran Aplikasi Pelaporan Konsumsi Bahan Bakar Kapal untuk semua kapal berbendera Indonesia, yang dapat digunakan di mana saja dengan gratis,” imbuhnya.

Keempat, adalah rencana Same Risk Area antara Indonesia, Malaysia dan Singapura yang diwujudkan dengan survey organisme laut di beberapa wilayah indonesia (Port Biological Baseline Survey/PBBS), sesuai ketentuan dalam Konvensi BWM Guidance G7 untuk 6 (enam) lokasi di indonesia, yaitu di Belawan, Batam, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makasar dan Bitung.

Pelaksanaan PBBS ini merupakan kerjasama antara Ditjen Perhubungan Laut dengan para peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB). PBBS bisa menjadi dasar untuk mengidentifikasi organisme di perairan yang menjadi jalur, tempat berlabuh dan sandar kapal. PBBS juga dapat menjadi pendekatan alternatif untuk mengelola risiko dan penerapan langkah-langkah mitigasi jika diperlukan.

“Indonesia sangat mendukung untuk dilakukan pembahasan tersendiri yang melibatkan para peneliti atau ilmuwan yang memahami pelaksanaan PBBS untuk dapat saling bertukar informasi dan menyusun langkah-langkah yang dapat digunakan sebagai pedoman penerapan Same Risk Area,” jelas Yudho.

Kelima, terkait dengan Implementasi Maritime Labour Convention 2006, Indonesia memberikan perhatian penuh terhadap pelindungan pelaut dengan meratifikasi MLC 2006. Sejak 12 juni 2018 pemberlakuan konvensi MLC 2006 secara penuh telah diterapkan terhadap kapal-kapal berbendera Indonesia. Dalam meningkatkan kualitas aturan dan kebijakan terkait MLC 2006, Ditjen Perhubungan Laut juga telah menyusun rancangan Peraturan Menteri, yang saat ini berada dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.

“Dalam meningkatkan kualitas pengawasan dalam penerapan MLC 2006, Ditjen Perhubungan Laut juga bekerjasama dengan AMSA (Australia Maritime Safety Agency) dalam mengadakan pelatihan terhadap Marine Inspector dan Port State Control (PSC) dalam pelaksanaan pemeriksaan di kapal, dan juga melaksanakan pelatihan Training Of Trainer for MLC 2006, yang nantinya dapat mensosialisasikan bagaimana pelaksanaan pemeriksaan kapal terkait MLC 2006 yang baik dan benar. Selain itu, Ditjen Perhubungan Laut  juga turut serta dalam penyiapan bahan laporan pelaksanaan MLC 2006 kepada ILO melalui Kementerian Ketenagakerjaan ,” tukas Yudho.

Selanjutnya, Indonesia menyampaikan langkah-langkah yang dilakukan terkait ASEAN Comprehensive Recovery Framework (ACRF) sehubungan dengan mewabahnya Pandemi Covid-19, salah satunya dengan mendukung pelaksanaan repatriasi dan pergantian awak kapal. 

“Sampai dengan saat ini, Indonesia telah memfasilitasi repatriasi 63,598 orang pelaut dan crew change sebanyak 6,752 pelaut. Untuk meminimalisir akses keluar masuk Indonesia guna mencegah penyebaran Pandemi, telah ditetapkan pula 11 lokasi Pelabuhan beserta Standar Operasional Prosedur untuk repatriasi dan pergantian awak kapal, yakni Pelabuhan Belawan, Tanjung Balai Karimun, Batam, Merak, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makassar, Benoa, Ambon, Bitung, dan Sorong,” Yudho menjelaskan.

Selanjutnya, Indonesia juga memberikan banyak kemudahan bagi para Pelaut, antara lain dalam hal revalidasi sertifikat. Minimum Safe Manning Document pada kapal bebendera Indonesia juga dapat diberikan exemption sesuai kondisi apabila awak kapal harus diturunkan dan belum dapat memberikan pengganti, dengan terlebih dahulu menyertakan penilaian risiko keselamatan dan keamanan pengoperasian oleh pihak pemilik atau operator kapal.

“Apabila buku pelaut habis masa berlaku ketika masih di atas kapal dan dalam kondisi kapal tidak dapat masuk pelabuhan atau negara yang disinggahi menerapkan kebijakan lockdown terkait covid-19, maka buku pelaut tersebut dinyatakan berlaku. Perusahaan juga diharuskan bertanggung jawab terhadap tambahan biaya pemulangan, perawatan medis, biaya apapun terkait pemberangkatan atau pemulangan pelaut yang akibat covid-19 dan jika dianggap perlu, perusahaan harus memastikan asuransi atau jaminan keuangan lainnya,” tutup Yudho.

Terakhir adalah mengenai implementasi Electronic Data Interchange (EDI) di Pelabuhan-Pelabuhan ASEAN serta Kerjasama tentang Penerbitan, Penerimaan, serta Pertukaran Sertifikat Elektronik (E-Certificate) dengan tujuan untuk mempermudah negara-negara ASEAN dalam mendapatkan informasi sertifikat yang berhubungan dengan port clearance, sehingga kemudian dapat mempercepat proses port clearance. 

Disampaikan bahwa saat ini Indonesia belum mulai menerbitkan e-certificate dan berencana untuk melakukannya dalam waktu dekat. Namun demikian, saat ini Indonesia tengah mengembangkan INAPORTNET untuk kemudian dapat diintegrasikan dengan INSW dan memenuhi standar Internasional.

“Masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan, salah satunya adalah menciptakan kerangka hukum untuk dapat menerima e-certificate tersebut dengan bekerjasama dengan instansi terkait di Indonesia. Selain itu, otentikasi dan keamanan juga harus diperhatikan,” tutupnya. (Siswo Hadi)