merdekanews.co
Rabu, 11 November 2020 - 21:41 WIB

Dakwaan Penganiayaan Tak Terbukti, Terdakwa Darwis Moridu Layak Divonis Bebas

Tim - merdekanews.co

Gorontalo, MERDEKANEWS -- Perkara penganiayaan dengan terdakwa Darwis Moridu (Bupati Boalemo), di Pengadilan Negeri Gorontalo sudah memasuki babak akhir.

 

Jumat besok (13/11/2020), Majelis Hakim akan menjatuhkan vonis terkait perkara hukum yang menarik perhatian warga Boalemo tersebut, karena melibatkan nama seorang bupati.

Kasus penganiayaan itu sendiri  sebenarnya terjadi jauh hari sebelum Darwis Moridu terpilih jadi Bupati, yakni sekitar  5 Agustus tahun 2010,  sesuai dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Agus Wirawan dalam Persidangan.

Korban penganiayaan tersebut bernama Awis Idrus.

Menurut Jaksa, korban saat itu sedang melewati gudang jemuran jagung milik terdakwa Darwis Moridu yang kala itu belum menjabat sebagai Bupati Boalemo.

Peristiwa penganiayaan itu tepatnya terjadi di Dusun Satu, Desa Kota Raja, Kecamatan Dulupi, Kabupaten Boalemo. Korban mendatangi terdakwa yang saat itu berada dalam mobil.

Saat itu terdakwa bermaksud ingin menagih utang kepada korban namun korban belum punya uang karena masih menanggung anaknya yang sakit.

Mendengar alasan korban, menurut Jaksa, terdakwa emosi dan langsung membuka pintu mobil ke arah badan korban, sehingga pintu mobil tersebut mengenai kepala korban.

Tak hanya itu, menurut versi JPU, terdakwa juga sempat menampar dan menendang paha kedua kaki Korban secara berulang, sehingga Korban menjerit kesakitan dan minta ampun kepada terdakwa, yang kala itu belum menjadi Bupati Boalemo.

JPU mendakwa terdakwa Darwis Moridu dengan pidana dalam Pasal 354 ayat 2 KUHP. Subsidiair Pasal 351 Ayat 3 KUHP. Lebih Subsidiair Pasal 354 ayat 1 KUHP. Lebih lebih Subsidiair Pasal 351 ayat 2 KUHP, lebih lebih Subsidiair lagi Pasal 351 ayat 1 KUHP.

Pasal 354 KUHP:

1. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian. yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Pasal 351 KUHP:

1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Namun, dalam persidangan, tidak ada saksi yang melihat dengan persis peristiwa penganiayaan tersebut. Bahkan istri korban, yaitu Ratna Salihi juga tidak melihat persis penganiayaan yang dilakukan Darwis kepada suaminya. Ratna hanya mendengar soal terjadinya penganiayaan itu dari suaminya, sebelum suaminya meninggal karena sakit.

Salah seorang anggota Tim Pengacara terdakwa Darwis, yaitu Inggrid S. Bawias, SH, MH yang ditemui wartawan, hari ini, menyebutkan bahwa fakta-fakta di persidangan, berdasarkan keterangan saksi-saksi di bawah sumpah, yaitu: Ratna Salihi, Satari Idrus, Hamuri Sako, Hadiha Sako, Rico Maliu, dan Hartin Idrus, dan keterangan dokter di bawah sumpah: dr Rahmawati, dr Dian Ikagustina Tambunan M Kes (Ped), Sp A, dr Shinta Merina Latulola Sp PD, dr Iwan Judodihardjo Sp PD, dan dr Alexander Meliangan Sp PD,  terungkap bahwa penyakit ambien yang dikeluhkan dan diderita Awis Idrus sejak lama (sejak masih bujang) sudah termasuk pada kategori penyakit berat yang dapat menyebabkan Awis tidak dapat melakukan pekerjaan.

Sehingga menurut Ingrid, berdasarkan keterangan-keterangan saksi, bukti surat dan fakta-fakta di persidangan, maka dapat disimpulkan:

1. Bahwa terjadinya pemukulan tidak menyebabkan luka berat;

2. Bahwa olehnya unsur Pasal 351 ayat (2) KUHP tentang "Mengakibatkan luka berat" tidak terpenuhi;

3. Bahwa sakit ambien yang diderita oleh Awis Idrus sejak masih bujang menyebabkan dia tidak cakap lagi melakukan pekerjaan;

4. Bahwa dengan demikian tidak cakapnya lagi Awis Idrus dalam melakukan pekerjaan bukan disebabkan luka berat melainkan karena sakit ambien yang dideritanya sejak bujang.

Sementara Darwis Moridu sendiri saat diperiksa di bawah sumpah di depan Hakim, membantah bahwa dirinya menendang-nendang dan menginjak-injak perut dan paha serta kaki Awis Idrus baik pada saat di Dusun 1 Desa Kotaraja maupun saat di rumah terdakwa di Dusun III Desa Kotaraja.

JPU sendiri dalam tuntutannya juga menyebut bahwa unsur dalam dakwaan primair yaitu "melukai berat orang lain" tidak  terbukti.  Maka, menurut JPU, "mengakibatkan kematian tidak perlu kami buktikan lagi dan oleh karena salah satu unsur dalam dakwaan primair sebagaimana diuraikan di atas tidak terpenuhi, maka dakwaan primair tidak terbukti.." (halaman 31 dan 32, surat tuntutan JPU).

Namun, anehnya JPU tidak konsisten dengan kesimpulan yang dibuatnya, karena tetap menggunakan pasal 351 ayat 2 KUHP (yang bunyinya: Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun).

JPU Kota Gorontalo, seperti diketahui, menuntut 1 tahun penjara dengan 2 tahun masa percobaan kepada terdakwa kasus dugaan penganiaayan Bupati Boalemo Darwis Moridu.

Tuntutan itu disampaikan jaksa dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Gorontalo, Selasa (20/10/2020). Sidang itu dipimpin majelis hakim Dwi Hatmodjo yang beranggotakan Pangeran Hotma Hio Putra Sianipar dan Efendy Kadengkang.

Dalam penyampaian tuntutan, Jaksa menyimpulkan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, sehingga korban Alwi Idrus tidak bisa menjalankan aktivitas sampai korban meninggal dunia.

Jaksa menuntut terdakwa dengan pasal 351 ayat 2 KUHP Pidana undang-undang nomor 8 tahun 1981. "Maka dari itu kami meminta majelis hakim untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa Darwis Moridu dengan hukuman penjara satu tahun dengan dua tahun masa percobaan,” tegasnya.

Jaksa menyebutkan pula hal-hal yang meringankan, yaitu terdakwa bersifat sopan selama persidangan, keluarga korban ataupun saksi telah memaafkan dan tidak keberatan atas penganiayaan yang dilakukan terdakwa. Keluarga korban dan terdakwa juga sudah melakukan perdamaian.

"Terdakwa juga sudah memberikan biaya pengobatan dan santunan ke pihak keluarga korban,” jelas jaksa Agus Irawan.

Jaksa Agus saat diwawancarai awak media menjelaskan, maksud dari hukuman penjara 1 tahun baru akan dijalani jika dalam masa percobaan 2 tahun terdakwa melakukan suatu tindak pidana lain lagi.

“Apabila dalam masa percobaan 2 tahun, ternyata dia melakukan tindak pidana lagi, maka terdakwa harus menjalani hukuman 1 tahun penjara. Tuntutan itu berdasarkan fakta-fakta selama persidangan,” tutur Agus.

Tuntunan ini juga unik. Jika memang jaksa meyakini bahwa dakwaannya terbukti secara sah dan meyakinkan, kenapa tuntutannya "hanya" hukuman percobaan?

Ini terkesan Jaksa ragu-ragu terhadap dakwaan yang dia susun. Apalagi dalam persidangan, JPU juga mengakui bahwa dakwaan primair yang diajukannya tidak terbukti.

Kasus yang menarik perhatian masyarakat ini memang unik dan kontroversial:

1. Kasus sudah terjadi sekitar 10 tahun lalu.

2. Di awal penyelidikan dan penyidikan kasus ini pada 10 tahun lalu, kasus yang disangkakan kepada Darwis adalah pasal 351 ayat 1 KUHP, yaitu penganiayaan ringan. Namun, ketika kasus itu dibuka lagi pada 2018, pasal dakwaan bertambah. Yakni Pasal 351 ayat (1), (2), (3) serta Pasal 354 ayat (2).

3. Terkait kasus itu sudah dilakukan perdamaian antara korban (dan keluarga korban) dengan Darwis

4. Bahwa pada tanggal 30 September 2011 polisi sudah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) karena tidak menemukan bukti yang cukup untuk melanjutkan kasus tersebut.

5. Tapi pada bulan Desember 2018 kasus ini dibuka lagi oleh polisi berdasarkan putusan Praperadilan tahun 2018, yang memutuskan mencabut Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh polisi. Uniknya lagi yang mengajukan Praperadilan ini bukan pihak korban (keluarga korban).

Banyak pihak yang menduga kasus ini tidak lagi murni kasus hukum, tapi sudah terkontaminasi urusan politik. Indikasi yang terlihat, bahwa kasus ini dibuka lagi setelah Darwis terpilih jadi Bupati. Dan dibukanya kasus ini bermula dari gugatan LSM yang mengajukan Praperadilan terkait masalah SP3 kasus ini pada tahun 2018, yakni sekitar 8 tahun lebih, setelah SP3 ini dikeluarkan pada 30 September 2011.

Kita berharap Majelis Hakim yang menangani kasus ini bisa bertindak adil, sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan  dan jangan terpengaruh oleh intervensi atau tekanan politik berbagai pihak. Bahkan jika memang melihat tidak ada bukti yang layak untuk menjerat terdakwa secara hukum, Majelis Hakim jangan segan-segan membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum. (Tim)