merdekanews.co
Sabtu, 08 Agustus 2020 - 19:27 WIB

Aktivis Jakarta Kumpul, Gaduh Diskusi Reklamasi Ancol

Khairy AA - merdekanews.co

MERDEKANEWS - Aktivis yang tergabung dalam Forum Lingkar Aktivis Jakarta (LAJ) berdiskusi. Mereka menggelar diskusi untuk membedah pro kontra soal isu reklamasi Ancol. 

Agenda bernama Ring Pro Kontra Aktivis Jakarta, 'Reklamasi Ancol, Antara Kebijakan Anies dan Penolakan' pada Sabtu, 8 Agustus 2020 digelar di Hotel D Arcici.

Pembicara dalam diakusi, praktisi hukum Ali Lubis, Agus Chaerudin (INFRA), pemerhati sosial, Adjie Rimbawan dan pemerhati kebijakan publik Amir Hamzah. Diskusi berjalan seru. 

Pengamat sosial Adjie Rimbawan mengatakan, Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237 Tahun 2020 tentang Reklamasi Ancol dan Dufan merupakan solusi bagi beberapa persoalan di Jakarta.  

"Sesuai Keppres Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, Gubernur Anies Baswedan berwenang menerbitkan izin reklamasi, dan selama Keppres itu masih berlaku, serta ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Keppres itu dipenuhi, seperti harus ada Amdal dan lain-lain, maka reklamasi boleh dilakukan di Ancol yang masuk kawasan Pantai Utara Jakarta," kata Adjie. 

Ia meyakini kalau Gubernur tidak sembarangan dalam menerbitkan Kepgub tersebut, dan tentunya didasari pertimbangan-pertimbangan tertentu. 

Apalagi karena untuk mereklamasi area seluas 135 hektare sebagaimana izin yang diberikan kepada PT Pembangunan Jaya Ancol (PJA), dibutuhkan tanah yang luar biasa banyak untuk menguruk. 

Yang kontra maupun yang pro terlibat perdebatan sengit. Walau sengit, moderator acara Ervan Purwanto (Rekan Imdonesia) mampu mengelola jalan diskusi dengan apik dan para aktivis tetap berkepala dingin dengan mengeluarkan pemikirannya dan sepakat membentuk Forum Lingkar Aktivis Jakarta (LAJ). 

Selain mengulas dasar pro dan kontra, isu pemanfaatan lahan perluasan sebagai pantai publik menguat dalam forum diskusi tersebut. 

Ketua Panitia Pelaksana Dialog Ring Pro dan Kontra Aktivis Jakarta, Agung Nugroho mengatakan, forum dialog yang digagas ini sebagai ajang mediasi silang pendapat di antara aktifis Jakarta menanggapi perluasan lahan Ancol. Perbedaan pandangan adalah hal lumrah di tengah iklim demokrasi. 

"Jangan sampai perdebatan pro dan kontra memisahkan perkawanan. Kita coba wadahi menjadi perdebatan ilmiah," katanya, Sabtu (8/8). 

Menurut Agung, sebagian aktifis yang menolak perluasan menganggap keberadaan lahan yang baru dibentuk itu tidak memiliki implikasi publik. Kemudian juga proses pembuatan dasar aturan perluasan dipertanyakan. 

Sedangkan aktivis yang pro perluasan lahan menilai keberadaan lahan merupakan bentuk perluasan Ancol yang pada era gubernur sebelumnya sudah dilaksanakan. Perluasan kawasan Ancol itu pun bukan bagian dari reklamasi sehingga tidak berdampak terhadap lingkungan. 

"Kita tempatkan kembali kontradiksi sebagai proses ilmiah. Kalau memang bermanfaat untuk publik yang kontra akan terima, sebaliknya juga begitu," tegasnya. 

Pemerhati Sosial DKI Jakarta, Amir Hamzah dalam paparannya sebagai narasumber menilai pro dan kontra menyikapi kebijakan merupakan hal lumrah. Ia menekankan lebih pentingnya menyoroti fungsi lahan setelah proses perluasan selesai agar bermanfaat untuk publik. 

Dikatakannya, hingga saat ini Jakarta belum memiliki pantai yang bisa diakses publik dengan biaya terjangkau bagi semua kalangan. Bila sebelum ini pihak Ancol mengenakan tarif bisa dimengerti lantaran pertimbangan kecukupan modal pengelolaan, saat ini sudah saatnya warga Jakarta memiliki akses pantai publik. 

"Bisa saja menjadi pantai publik dengan dibangunkan akses sendiri. Pengelolaannya pengunjung dipungut sesuai besara retribusi yang terjangkau semua kalangan," tandasnya.

 

 

 

 

 

  (Khairy AA)