merdekanews.co
Rabu, 27 Mei 2020 - 15:31 WIB

Sering Berseberangan Kebijakan Dengan Gubernur NA

Pj Walikota Makassar Yusran Jusuf Dapat Kritik Pedas Pakar Ilmu Pemerintahan

Hadi Siswo - merdekanews.co

Jakarta, MERDEKANEWS -- Langkah Pj Wali Kota Makassar Yusran Jusuf  yang sering berseberangan dengan kebijakan  Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah mendapat kritik pedas dari pakar ilmu pemerintahan Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA.

Guru Besar IPDN yang juga Presiden Institut Otonomi Daerah (I-Otda) ini menilai, kebijakan Penjabat (Pj) Wali Kota Makassar Yusran Jusuf sering tidak bijak. 

Prof Djo, demikian sapaan akrab mantan Dirjen Otda ini, meminta Yusran tidak gegabah dalam mengeluarkan kebijakan di tengah pandemi corona (Covid-19). 

Menurutnya, kebijakan Pj Wali Kota Makassar harus memperhatikan kondisi sosial kultural masyarakat dan kebjakan Pemerintah Provinsi.

"Kalau pemerintah membuat kebijakan yang keras, maka rakyat akan soft saja menerimanya. Kalau kebijakannya soft, rakyat akan  mengabaikannya saja. Rakyat kita  umumnya tingkat disiplinnya rendah. Kita tidak bisa mengambil kebijakan di masa covid-19 ini dengan cara soft policy," ujarnya, Selasa (26/5/2020).

Seperti diketahui, Pj Wali Kota Makassar Yusran Yusuf mengeluarkan kebijakan memperbolehkan shalat di masjid asal menerapkan protokol kesehatan. Hal ini berlawanan dengan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah yang mengimbau kepada masyarakat melaksanakan shalat Idul Fitri di rumah. Bahkan gubernur langsung memberi contoh dengan melaksanakan shalat Id di kediaman pribadinya, di Makasssar.

Tak hanya itu.  Yusran Jusuf juga membolehkan digelarnya resepsi pernikahan, di tengah kampanye Pemprov Sulsel yang meminta warga beraktivitas di rumah saja. 

Kebijakan Pj Wali Kota Makassar itu, dinilai sangat beresiko. Membuka ruang resepsi pernikahan dibolehkan, sama saja memberi ruang penyebaran Covid-19.

"Semestinya Pj Walikota mengatakan saya tidak mengizinkan shalat idul fitri di lapangan atau di masjid. Belum saatnya. Sabar dulu, dan laksanakan  di rumah masing masing, ikuti contoh pak gubernur. Saya tidak izinkan dulu toko-toko terlalu padat, dan harus dikurangi kepadatannya. Jangan malah sebaliknya membiarkan toko-toko dibuka lebar," tukas Guru Besar ilmu pemerintahan ini.

Sebab,lanjut Prof Djo, yang dihadapi kebanyakan masyarakat yang tingkat pemahaman dan disiplinnya masih rendah. Tidak bisa langsung kita menurunkan tone sebagai penguasa pemerintahan. "Harus high tone walaupun tidak ada lagi PSBB, tapi harus dalam pengendalian yang ketat. Karena kita tidak mau gelombang kedua wabah Covid-19 melanda Kota Makassar. Apalagi tetangga-tetangga kita juga belum mencabut PSBB, yaitu Maros dan Gowa," kata mantan Dirjen Otonomi Daerah ini.

Menurutnya, Makassar sebagai ibukota provinsi akan menjadi barometer, menjadi contoh dari daerah-daerah lain. Jika gagal mengelola pasca PSBB maka akan berefek pada daerah-daerah yang lain. Apalagi saat ini masyarakat sedang euforia merayakan hari  Idul Fitri, semestinya pemerintah harus antisipatif. 

"Sudah budaya masyarakat akan merayakannya dengan kegembiraan. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus mengontrol dan mengendalikan, jangan melonggarkan. Ini harus dipedomani oleh Pj Walikota baru," tegasnya.

Prof Djo menyarankan, Yusran Jusuf sebagai pendatang baru di dunia pemerintahan yang real sebagai pemimpin masyarakat, lebih baik mengetatkan kebijakan terkait penanganan covid-19, tidak usah dulu memberi contoh dengan mengumpulkan orang banyak.

"Kalau kita tidak menunda alias tetap melakukan pelantikan pejabat, ini contoh yang tidak baik bagi masyarakat. Pandangan masyarakat bahwa pejabat saja salam-salaman melantik kumpul-kumpul, tentu masyarakat menilai boleh juga kumpul-kumpul. Selaku pejabat pemerintahan itu menjadi panutan bagi masyarakat," kata Prof Djo.

Jadi, sambungnya, kalau pejabat pemerintah membuka peluang untuk berkerumun dengan bersalam-salaman kemudian mendatangi para mantan walikota dengan bertatap muka tanpa menggunakan masker itu membuat efek kepada masyarakat. Itu contoh tidak baik dari Pj Walikota Makassar.

"Walaupun buka masker harusnya terkendali dengan persiapkan protokolnya. Kemudian ada pengawalan oleh aparat terkait. Karena kalau tidak akan berefek fatal gelombang kedua. Karena langsung dibuka longgar tanpa adanya tahapan-tahapan," tukas guru besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu. 

Menurutnya, untuk bersifat sosial kemasyarakatan, kepemerintahan pakai protokol yang biasa saja dulu. Seperti menikah di KUA. Jangan mengumbar karena masyarakat kita tidak diumbar pun tingkat kedisplinan masyarakat kurang. "Apalagi dengan mengumbar membuat masyarakat super tidak disiplin," tukasnya.

Jadi, terangnya, itu harus dipahami oleh Pj Walikota terkait dunia pemerintahan daerah bahwa kebijakan bisa disalahpahami oleh masyarakat. Dengan membuka ruang yang lapang, maka itu akan dikapitalisasi oleh masyarakat. Apalagi psikologi masyarakat sudah dua bulan dalam suasana tertekan karena berada di rumah saja.

Dengan kita mengumbar langsung seolah-olah mereka bebas. Padahal secara data penurunan angka positif Covid-19 ini  masih belum signifikan. Belum begitu kuat menurut ilmu Epidemiologi. Seharusnya kita bersikap seolah-olah PSBB masih ada tidak bergaya  mengumbar kepada masyarakat tidak ada PSBB boleh berkumpul-kumpul. Jangan tonjolkan itu.

"Walaupun PSBB sudah dicabut katakanlah kami tetap tegas melarang kumpul kumpul. Harusnya seperti itu dilakukan seorang pamong. Sarannya kita harus belajar lagi karena pemimpin di lapangan berbeda dengan pemimpin di kantor. Apalagi beliau latar belakangnya dari kampus bukan ASN di pemda," katanya.

Dia menuturkan, sebelum Pj Walikota mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kontraversi sebaiknya berkonsultasi dengan gubernur. Karena gubernur itu adalah wakil pemerintah pusat sebagai ketua gugus tugas percepatan covid-19 di tingkat provinsi. 

"Seharusnya Pj Wali Kota Makassar berkordinasi dengan Pemprov Sulsel dalam setiap keputusannya. Apalagi ini menyangkut keselamatan banyak orang," ujarnya.

Dia menegaskan, koordinasi antara pejabat di pemerintah itu penting karena yang akan mengeksekusi kebijakan itu tidak hanya walikota dan jajarannya. Juga terkait aparat keamanan yang bersifat hirarki. Ada kapolresta, kapolda dan kapolri.

"Jangan bikin aturan sendiri. Jadi complicated. Pj Walikota harus belajar lagi bagaimana keterkaitan kebijakan yang diambil dengan instansi yang ada di wilayahnya, jadi kalau tidak dikomunikasikan dan tidak dikoordinasikan terjadilah simpang siur.  Penyelenggaraan pemerintahan dalam penanganan Covid mesti padu dan solid. Itu gara-garanya tadi koordinasi lemah dan komunikasi juga kurang," katanya.

"Saran saya jangan gegabah mengeluarkan  pernyataan terkait covid sebagai pj walikota.  Jangan sampai nanti ada kata-kata: makassar terserah, dari orang-orang yang sudah mengorbankan jiwa raganya dalam melawan pandemi corona," sambungnya.

Jadi, terangnya, pj Walikota Makassar adalah  bawahan dari gubernur. Apalagi yang menjadikan dia pejabat Walikota Makassar itu berdasarkan usulan gubernur, tidak ada salahnya meminta petunjuk gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. 

"Dia tidak punya legitimasi yang kuat. Dia bisa dievaluasi Gubenur dan kalau kinerjanya buruk, dia bisa diusulkan kepada Mendagri untuk diganti sebagai Pj Walikota. Karena SK nya Mendagri atas usulan Gubernur. Jadi jangan main-main karena Pj Walikota bukan hasil pilihan rakyat tapi dari pengangkatan. Dia legitimasinya rendah karena bukan dipilih oleh rakyat dalam pilkada," katanya.

Maka, kata Prof Djo, jangan gegabah membuat pernyataan atau bikin blunder. Alangkah lebih baik konsisten mengikuti aturan Gubernur sebagai ketua gugus tugas tingkat provinsi. Karena kita baru lepas PSBB tapi belum terjadi penurunan signifikan positif Covid. "Karena itu bertanya, berkonsultasi minta arahan Gubernur bisa membantu. Jangan sampai bolak balik membuat kebijakan," katanya.

"Lebih tepatnya walaupun PSBB dicabut kami tidak akan melonggarkan kebijakan berkumpul. Itu masih kami batasi kami kendalikan kecuali untuk kepentingan ekonomi. Misalnya begitu. Untuk kepentingan sosial kemasyarakatan misalnya nikah, beribadah di rumah saja dulu. Sebentar lagi jika sudah ada penurunan signifikan diperbolehkan, begitu cara persuasi masyarakat," pungkasnya.

(Hadi Siswo)