merdekanews.co
Jumat, 21 Februari 2020 - 22:33 WIB

Budaya Literasi Pintu Membangun Peradaban

Gaoza - merdekanews.co

Jakarta, MERDEKANEWS  -- Budaya literasi perlu disemai. Karena itu adalah pintu peradaban. Perpustakaan salah satu tempatnya. Tempat untuk menyebarkan dan menyemaikan spirit budaya literasi. Demikian diungkapkan Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri yang juga Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar saat memberi sambutan di acara Rakornas Perpustakaan Tahun 2020 bertajuk,"  Tema Inovasi dan Kreativitas Pustakawan Dalam Penguatan Budaya Literasi Untuk Mewujudkan SDM Unggul Indonesia Maju," yang digelar di Kantor Perpustakaan Nasional RI, di Jakarta Pusat, Jumat (21/2/2020).

Menurut Bahtiar, di negara ini, atau di negara mana pun, isinya hanya tiga. Satu manusia. Dua, alam. Dan ketiga adalah nilai. Manusia punya kemampuan membangun nilai untuk mengendalikan alam. Dan, nilai dibangun atau dirumuskan dari ilmu pengetahuan yang bersumber dari apa yang dibacanya. Jadi, bahan bacaan atau sederhananya buku, sangat penting. Karena itu jadi bahan rujukan bagi manusia membangun nilai-nilainya.

"Nah bagaimana manusia bisa membangun nilai untuk mengendalikan alam? Ya dengan membaca, dengan bacaan. Kalau tidak nanti manusia yang dikendalikan alam. Nah kita ini masih dikendalikan oleh alam belum kita sampai mngendalikan alam, lebih banyaknya kita dikendalikan alam. Begitu panas panik, begitu dingin panik juga.  Itu tanda-tanda kita masih dikendalikan alam," katanya.

Dalam kontek inilah, transformasi ilmu pengetahuan kata dia, menjadi sangat penting.  Dan spirit untuk terus belajar mesti dirawat. Karena fakta, dari dua ratusan juta penduduk Indonesia, hanya sekitar 50 jutaan yang mengenyam bangku sekolah. Artinya, banyak orang yang kesulitan untuk sekolah. Tapi bukan berarti kemudian semangat untuk terus belajar ikut padam. Yang sudah menimba ilmu di lembaga tinggi pun mesti harus terus belajar. Terus mengupdate ilmunya. Menambah khazanah pengetahuannya. Lewat bahan bacaan. Di perpustakaan atau taman baca.

"Misalnya Saya ini sudah terlanjur sarjana 15 tahun yang lalu. Ilmu saya 15 tahun yang lalu sudah ketinggalan.  Tidak laku lagi hari ini. Nah kita mau hidup hari ini, mengubah alam, memproduksi barang dan jasa bisa bergerak segala macam, ya harus berpengetahuan. Harus punya ilmu baru. Apa  saya harus balik S3 lagi? Pasti saya harus membaca dengan berbagai jenis bentuk dan wujudnya," ujarnya.

Maka  membangun dan menguatkan budaya literasi itu, kata dia, perlu gerakan bersama. Semua elemen yang saling dukung. Pihak perpustakaan dengan kewenangannya. Pun, Kemendagri dengan otoritasnya mendorong dan membina pemerintah daerah untuk menguatkan budaya literasi. Begitu juga dengan pers.

" Supaya kita ada kesadaran baru karena kita tahu situasinya sudah berubah. Cepat sekali perubahan itu, tidak bisa lagi kita hanya mengandalkan yang formal, dan bagaimana membangkitkan dukungan partisipasi warga negara untuk juga menyiapkan dan menyediakan layanan-layanan perpustakaan yang tak mampu disiapkan oleh negara. Siapa yang menyiapkan itu? Mungkin dari rumah kita masing-masing, ada yang membantu. Nah ini yang hrus kita gerakan bareng.  Pak Mendagri sendiri, beliau sangat mendukung dan mengapresiasi dan respek yang tinggi kepada pimpinan perpustakaan nasional Indonesia dan jajarannya, " tuturnya.

Dengan kewenangan yang dimiliki, lanjutnya, Kemendagri akan terus mengingat Pemerintahan Daerah menaruh perhatian terhadap pentingnya menguatkan budaya literasi lewat perpustakaan. Sangat penting, daerah punya pustakawan. Selain memiliki perpustakaan sendiri yang memadai.

" Kami kembali akan mengingatkan kepala daerah yang belum membentuk lembaga atau organisasi perangkat daerah yang melayani bidang perpustakaan. Kalau tidak ada kepala pustakawan bagaimana daerah itu, 10 tahun, 15 tahun kedepan. Nah kita tahu ya negara ini bisa bertahan ya karena punya ilmu pengetahuan. Punya kemampuan untuk mengelola alam. Punya peraaban baru. Kalau tidak ya suatu ketika peradaban ini musnah. Musnah karena ketidakmampuan mengolah perubahan. Nah perubahan itu ya dari bahan bacaan, dari literasi, " kata Bahtiar. (Gaoza)