merdekanews.co
Minggu, 22 September 2019 - 09:33 WIB

Lebih Besar Impor Ketimbang Ekspor, KH Ma'ruf Amin Motori Gerakan Kedaulatan Pangan

Setyaki Purnomo - merdekanews.co
KH Maruf Amin

Jakarta, MERDEKANEWS - Cawapres terpilih KH Ma’ruf Amin bersama Pusat Inkubasi Bisnis Syariah (PINBAS) MUI, mencanangkan Gerakan Nasional Kedaulatan Pangan (GNKP) untuk umat di Jakarta, Sabtu (2/9/2019).

Gerakan ini lahir dari keprihatinan atas neraca perdagangan ekspor impor komoditas pangan pada semester pertama 2019. Ekspor dari Januari hingga Juni 2019 hanya 14,9 ribu ton, atau senilai Rp171 miliar.

Sedangkan nilai impor tanaman pangan sepanjang Januari hingga Juni 2019, hanya sebanyak 8 juta ton senilai Rp35,5 triliun. Azrul Tanjung selaku Direktur PINBAS MUI mengatakan, jika dihitung secara matematis, nilai ekspor kurang 1% dari nilai impor. Sementara kebutuhan pangan, hampir 100% dipenuhi dari impor. "Padahal, dalam wacana Arus Baru Ekonomi Indonesia yang diusung oleh Ma’ruf Amin yang akan dilantik sebagai Wakil Presiden RI 2019-2024, pertumbuhan ekonomi tidak hanya sekedar mencapai equality (kesamaan perlakuan), melainkan keadilan untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan agar memperoleh kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidup yang adil (equity)," kata Azrul.

Tentunya, equity akan tercapai ketika ada kebijakan melalui redistribusi, hibah, subsidi, kemitraan, dan proses fasilitasi dalam gerakan nasional kedaulatan pangan ini, tuturnya.

Gerakan Nasional Kedaulatan Pangan (GNKP) ini untuk mendorong segera terwujudnya cita-cita kedaulatan pangan bagi umat. Setidaknya, terdapat tujuh prasyarat utama untuk menegakkan kedaulatan pangan. Antara lain pembaruan agraria, adanya hak akses rakyat terhadap pangan, penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan, pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan, pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi, melarang penggunaan pangan sebagai senjata, serta pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian.

Satu aspek fundamental untuk mencapai equity adalah kebutuhan pokok bagi rakyat. "Sangat sulit dibayangkan bagaimana suatu negara dapat berdaulat penuh secara ekonomi, apabila kebutuhan pokok rakyatnya, khususnya pangan, masih "tergantung" pada negara lain," ujarnya.

Ketergantungan tersebut dapat berbentuk ketergantungan dalam pasokan, ketergantungan teknologi, bahkan ketergantungan pola konsumsi dan gaya hidup. Sungguh berbahaya bagi ketahanan nasional, apabila negara berpenduduk banyak seperti Indonesia tidak berdaulat sama sekali dalam pangan. (Setyaki Purnomo)