merdekanews.co
Kamis, 19 September 2019 - 07:03 WIB

Pemindahan Ibu Kota Jadi Awal Periode “Post Java”

MUH - merdekanews.co

MERDEKANEWS -Ketika Presiden Jokowi mengumumkan pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur, Senin (26/8), maka dimulailah periode yang disebut ‘Post Java’. 

Ibu Kota baru Indonesia itu tepatnya sebagian di Kabupaten Penajam Paser Utara dan di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur.

“Saya menyebut saat ini periode Post Java. Mengapa? Karena telah berubahnya peta politik dan kekuasaan di Tanah Air yang semula berpusat pada tradisi dan gagasan  Kebudayaan Jawa yang berpusat pada kekuasaan elite,  kini beralih pada kekuasaan rakyat atau kekuasaan  yang bersifar egaliter,” ujar Pengamat sosial politik  Fachry Ali, Rabu (19/9). 

Fachry mengungkapkan hal ini saat memberikan masukan dan pandangannya pada acara Focus Group Discussion (FGD) tentang Kajian Lingkungan Strategis (KLHS) Pemindahan Ibu Kota di Kalimanatan Timur. Acara ini diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kemarin. 

FGD yang dipimpin Menteri  LHK, Siti Nurbaya, sedangkan paparan KLHS disampaikan Irjen KLHK, Laksmi Wijayanti dan juga pandangan dari Judith J. Dipodiputro, pegiat pemberdayaan ekonomi suku-suku asli dan masyarakat termarjinalkan.

Lebih jauh Facry mengatakan, dalam gagasan politik Jawa itu, kekuasaan  sangat ellitis dan  penguasa berada di tengah atau di atas rakyat. Pandangan itu dalam jangka waktu sangat lama memperngaruhi politik dan kekuasan di Tanah Air. 

Tetapi ketika situasi politik berubah yakni reformasi yang membuka kesempatan setiap rakyat bisa tampil dan bertarung dalam kontestasi politik, baik Pilkada maupun Pilpres, berangsur gagasan politik Jawa berubah.

“Tapi perubahan drastis terjadi saat Jokowi terpilih sebagai Presiden, terutama ketika dia menegaskan akan memindahkan Ibu Kota Jakarta ke Kalimantan, dan kemudian secara resmi mengumumkan tempat ibu kota baru yakni di Kalimantan Timur, maka saya menilai, berakhirlah era kekuasaan Jawa,” ujar Fachri.

Jadi, kata Fachry, Jokowi adalah pemimpin yang dipilih oleh rakyat, bukan penunjukan dari elite. Jadi dia murni pemimpin yang berasal dari rakyat. 

Fachry juga memuji FGD yang diselenggarakan KLHK, sehingga sejarah baru pemindahan ibu kota dan awal periode Post Java berjalan mulus.

Sosialisasi Tata Ruang 

Irspektur Jenderal  KLHK, Laksmi Wijayanti  mengungkapkan, dalam proses pemindahan Ibu Kota  harus melihat bagaimana posisi Kalimantan Timur dalam konteks Indonesia secara keseluruhan, bagaimana dispraitas terhadap provoinsi lainnya sehingga bisa menganalisasi berbagai hal dengan valid. 

“Visi kita, semua pembangunan dan persiapan ibu kota harus green dan juga membangun kebiasaan dan budaya jalan kaki lebih dipraktekkan,” katanya.

Pihak KLHK akan terus melakukan FGD dengan para ahli dan lebih fokus agar daya dukung lingkungan makin memadai.

”Kita juga mendapatkan banyak informasi terkait pemindahan ibu kota ini. Identifikasi maslaah seprti kekhawatiran hutan Kalimantan rusak, ketajutan air bersih yang sulit, reaksi dunia luar atas hutan Kalimantan yang bisa rusak. Karena itu perlu kita sosialisasikan bagaimana tata ruang dna juga infrastruktur di sana,” katanya.

Sementara pegiat pemberdayaan ekonomi suku-suku asli dan masyarakat termarjinalkan, Judith J. Dipodiputro menambahkan, 
Kalimantan Timur cukup porak-poranda akibat pertambangan. Ini berdampak terhadap kualitas hidup masyarakat dan kemiskinan.  Bahwa Ibukota baru akan menjadi Rainforest City, itu komitmen yang luar biasa. Artinya akan terjadi reklamasi/pembenahan bekas-bekas tambang dan reforestasi. 

“Nah, hal ini belum banyak terungkap ke publik sehingga perlu dikomunikasikan kepada masyarakat. Ini komitmen luar biasa dari pemerintah terhadap restorasi dan konservasi alam,” ujarnya. 

Komunikasi ini juga perlu dilakukan secara aktif ke dunia internasional melalui perwakilan-perwakilan kita di manca negara. Ada salah persepsi dan pengetahuan. Dunia berpikir bahwa Ibu kota baru akan membuka hutan, padahal sebaliknya merestorasi bekas tambang dan melakukan reforestasi.

“Mereka menyarankan perlunya pemerintah mempertimbangkan membentuk sebuah tim yang secara khusus dan fokus pada penyertaan suku-suku asli dalam growth yang akan dihasilkan oleh kehadiran Ibukota baru,” ujar Judith.


  (MUH)