merdekanews.co
Selasa, 10 September 2019 - 16:31 WIB

Akademisi dan Aktivis Sulut: Referendum Bertentangan dengan Konstitusi RI dan Hukum Internasional

Gaoza - merdekanews.co

Manado, MERDEKANEWS --  Akademisi dan aktivis Sulawesi Utara berharap mahasiswa Papua dan Papua Barat diminta tidak terprovokasi dengan berita hoaks di media sosial yang meminta mahasiswa kembali ke Papua. Mahasiswa Papua  harus menyadari bahwa Papua adalah bagian integral dari NKRI dan pintu referendum telah tertutup. 

Dekan Fakultas Hukum Unsrat, Dr. Flora Kalalo menduga ada pihak yang sengaja menunggangi aksi damai disejumlah wilayah Papua dan Papua Barat. Targetnya adalah agar isu Papua diangkat di agenda rapat Komisi HAM PBB di Genewa yang digelar 9 September 2019. 

''Juga disidang umum PBB di New York pada 23-24 September 2019. Mereka mendesain dan memunculkan isu-isu HAM, isu kerusuhan, rsu Rasisme yang meski dalam acara tersebut tidak agenda tentang itu,'' ujar Flora  dalam  diskusi yang digelar Jaringan Aktivis Mahasiswa Sulut, Ikatan Alumni Unsrat dan Manado Cyber Community terkait fenomena pulangnya mahasiswa Papua yang sementara studi di Sulut ke kampung halamannya, di RM Rica Tampurung , Mahakeret Barat, Kota Manado, Sabtu (7/9/2019). 

Flora menambahkan, hukum dan konstitusi Indonesia telah menutup pintu referendum melalui Tap MPR 4 tahun 1985, tentang pencabutan hal Referendum. Tap MPR 8 tahun 1998 telah mencabut Tap MPR 4 tahun 1993 tentang Referendum kemudian ditindaklanjuti UU No. 6 tahun 1999 tentang pencabutan UU No. 5 tahun 1985 tentang Referendum dengan pencabutan ini konstitusi maupun Perundang-Undang di dalam sistem hukum Indonesia tidak mengakui lembaga atau model referendum.

Tak hanya itu, referendum akan bertentangan dengan prinsip utama hukum Internasional dan piagam PBB yaitu “teritorial integrity” dan “uti possidetis juris”. Resolusi Majelias Umum PBB 2524 (XXIV) yang mensahkan PEPERA 1969 merupakan keputusan final dari PBB dan tidak bisa dipertentangkan lagi untuk merubah resolusi tersebut.

''Tuntutan Referendum akan bertentangan dengan hukum yg berlaku di Indonesia, maka dihimbau kepada masyarakat agar tidak terprofokasi dan terjebak oleh elite politik dengan ajakan Referendum dan memisahkan diri dari NKRI pemaksaan atau tindakan menghasut untuk melakukan Referendum melanggar pasal 106 KUHP yaitu Makar dengan maksud memisahkan sebagian dari wilayah NKRI. Tindakan itu juga melanggar pasal 160 KUHP yaitu tindakan menghasut untuk tidak mematuhi UU,'' ungkap Flora.

Sementara aktivis Risat Sanger mendata sebanyak 721 mahasiswa  Papua yang melaksanakan studi di Sulut sudah kembali ke Papua. Untuk itu, kami menghimbau agar mahasiswa Papua kembali melaksanakan kuliahnya.

''Kepulangan mahasiswa Papua karena mereka akan melaksanakan demo kembali di Papua. Kami mencurigai adanya otak penggeraknya yang  mengajak mahasiswa Papua kembali ke Papua,'' kata Risat.

Risat menambahkan, berdasarkan pertemuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan Forkopimda Sulut, pada tanggal 29 Agustus 2019 bertempat di hotel FourPoint Manado, telah dikeluarkan kesepakatan yaitu menjamin keamanan seluruh mahasiswa Papua yg berstudi di Manado. ''Tidak ada intimidasi kepada mahasiswa Papua,'' tegasnya. 

Pada kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Fisip Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Dr. Jhoni Lengkong mengatakan, Mahasiswa Papua  harus menyadari bahwa Papua adalah bagian integral dari NKRI. Untuk itu, mahasiswa Papua harus dapat memilah permasalahan dan konsentrasi pada pendidikan agar dapat menyelesaikan studinya di Sulut.

''Mahasiswa Papua harus kembali ke Sulut untuk menyelesaikan studi sebagai tugas pokok membangun Papua. Pasalnya, keterlambatan studi dapat mempengaruhi ekskalasi pendidikan para mahasiswa Papua ke depan,'' jelas Jhoni.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto sebelumnya menyatakan eksodus 835 mahasiswa asal Papua dan Papua Barat akibat dari provokasi dan informasi bohong. Ia mengatakan ada pihak yang menyebar isu bahwa mahasiswa Papua-Papua Barat yang mengenyam pendidikan di luar daerahnya akan menerima tekanan dan ancaman. (Gaoza)