merdekanews.co
Selasa, 09 April 2019 - 14:05 WIB

Oleh : Faisal Raoef, Pengamat Kepemimpinan dan Perubahan Sosial

Alasan Mengapa Jokowi Pilihan Yang Lebih Baik (2)

*** - merdekanews.co

Saya tidak menjawabnya sebab merasa bahwa kawan saya ini lumayan mepersiapkan argumen-argumennya, Saya makin penasaran untuk mengorek lebih jauh. “Oke, gue ingin tahu pendapat elu soal klaim beberapa pihak bahwa rezim ini memperlakukan ulama dengan buruk.”

“Ulama yang mana?”, sergahnya

“Ya….yang itu soal kriminalisasi ulama!”

“Bro, kita harus bisa memisahkan mana kasus hukum dan mana yang sekedar gorengan politik. Jika ada ulama atau orang yang merasa dikriminalisasi, kan ada prosedur hukum yang bisa ditempuh. Mari kita ambil beberapa contoh untuk menggugurkan tuduhan itu. Habib Rizieq dan beberapa ulama dibelakang capres 02 merasa mereka dikriminalisasi, atau di haling-halangi, atau apapun namanya. Habib Rizieq di jaman orde baru pernah dipenjara, saat itu kenapa tidak ada orang yang teriak-teriak mengatakan bahwa terjadi kriminalisasi, kenapa baru sekarang? Beberapa orang yang mengklaim dirinya ulama, seperti Tengku Zulkarnaen, Gus Nur, Haikal Hasan, dan masih banyak lagi dibelakang pendukung 02 bebas kemana-mana memberi ceramah atau tauziah yang cenderung terasa kampanye dan menjelek-jelekkan pemerintah. Dalam setiap kesempatan menyatakan bahwa mereka seringkali merasa dipersulit, diintimidasi, dihalang-halangi dan lain sebagainya. Apakah itu bukan ironi namanya? Mereka bebas kemana-mana, ngomong seenaknya tanpa bukti dan dasar yang kuat tapi merasa dihalang-halangi? Apakah itu waras?!”

Kali ini sepertinya Rudi agak tersulut emosinya hingga suaranya sedikit meninggi dan membuat beberapa orang di kedai kopi menengok ke arah kami. Saya sengaja tidak menjawab pertanyaan terakhirnya untuk memberi jeda obrolan kami, sekaligus untuk menghindarkan pandangan orang terlalu lama kepada kami.

“Bro, gini deh. Gue saranin elu liat pengakuan Yusril di youtube soal pandangan Habib Rizieq terhadap Prabowo, tehadap ijtima ulama dan prosesnya, agar bisa lebih jernih menilai situasi. Kalau gak salah di channel medcom.id. Yusril kan pakar hukum dan gue yakin dia tidak asal ngomong atau hoax, sebab dia pasti sudah mempertimbangkan resikonya kalau ia bohong.” Ia melanjutkan tanpa merasa bahwa beberapa orang masih memandangi kami. Mungkin karena posisi duduknya yang membelakangi orang-orang tersebut.

“Kita sebagai orang terpelajar harusnya bisa menilai lebih jernih isu-isu seperti ini, sebab politik itu tidak semudah kelihatannya, sangat kompleks karena banyak kepentingan bermain didalamnya. Gue percaya bahwa sebagian besar pendukung ulama, orang-orang yang mengatas-namakan agama dalam pergerakannya, mereka melakukannya dengan niat tulus dan murni untuk memperjuangkan ulama atau agamanya. Yang gue sayangkan ketika niat murni ini dijadikan alat politik oleh para elit politik. Itu saja!”

Suasana hening sejenak dan tanpa sadar kami berdua hampir bersamaan menyeruput kopi yang kurang lebih tinggal seperempat gelas.

“Bro, gue mau nanya. Gimana menurut elo jika orang menggunakan atau mengatasnamakan ulama atau agama tertentu untuk kepentingan politik praktis? Sekarang giliran ia yang bertanya, mungkin ia merasa kalau sepanjang obrolan ini saya yang mendominasi pertanyaan.

“Bukannya dalam agama juga ada yang mengajarkan dan membolehkan untuk berpolitik?!, so menurut gue sah-sah saja.”

“Gue setuju dengan itu, namun maksud gue menggunakan agama untuk kepentingan kekuasaan, ambisi kekuasaan, bukan untuk kepentingan agama?”

“emangnya seperti itu?” Saya balik bertanya.

“Menurut elo? Jika memang mereka berpolitik untuk kepentingan agama, bukankah mereka harus mematuhi ijtima ulama pertama yang sepenuhnya setuju untuk mengangkat ulama sebagai calon wakil presiden? Jika ustadz Abdul Somad tidak bersedia menjadi cawapres, bukankah banyak ulama di kalangan pendukung 02? Mengapa mereka berkompromi untuk itu, kemudian melakukan ijtima kedua yang membenarkan langkah Prabowo memilih Sandi selaku cawapres? Bukankah ini menjadikan tanda tanya?” Apakah kepentingan agama bisa ditransakskan seperti itu? Lagipula Ijtima, atau Ijma’ itu digunakan untuk kasus-kasus hukum dimana Al-quran dan Hadist tidak terlalu jelas menjabarkannya, dan bukan digunakan untuk kepentingan politik atau ambisi kekuasaan.”

Terus terang saya gak bisa jawab pertanyaannya ini. Saya tidak punya argumen yang pasti untuk menjawabnya. Sepanjang penjelasannya saya menemukan beberapa poin yang rasanya masuk akal.

“Btw, elu udah punya pilihan belum?” Tanyanya tiba-tiba menghentikan lamunanku

“Eh.., gue masih nimbang-nimbang bro. Disatu sisi gue melihat dan mengakui progress dari kepemimpinan Jokowi, namun disisi lain gue juga melihat ada sesuatu yang baru dari 02, yaitu Sandiaga yang cukup menarik perhatian gue.”

“Well, itu masuk akal, sebab kehadiran Sandiaga di kubu 02 cukup meningkatkan elektabilitas Prabowo. Ada sisi kebaruan disitu. Cuma memang perlu tetep diingat bahwa posisi cawapres seringkali tidak memiliki porsi kewenangan yang cukup luas dalam pengambilan kebijakan, malah cenderung hanya sebagai pemanis saja, katakanlah untuk kegiatan-kegiatan seremonial. Oh ya, kita juga perlu tetap mengingat bahwa kita memilih capres dan cawapres, bukan memilih seorang malaikat. Jokowi dan Prabowo sebagai tokoh sentral dalam pilpres adalah manusia biasa, tidak luput dari kesalahan. Makanya ketika kita memilih, track record menjadi penting. Ada statement dalam politik yang mengatakan bahwa dalam politik kita tidak memilih yang terbaik, melainkan mencegah yang buruk untuk berkuasa, dengan demikian track record menjadi penting.”

“Hemm..,” gue cuma bisa bergumam dan mengangguk pelan-pelan, “Tapi bro, gimana dengan isu tenaga kerja asing yang membanjiri negara kita, gimana dengan statement bahwa di rezim ini harga-harga kebutuhan pokok makin tinggi, nilai import yang makin tinggi bahkan untuk kebutuhan pokok yang sebenarnya negara kita bisa hasilkan sendiri?” Rasanya saya makin senang mengorek opininya tentang persoalan kritis seperti ini.

“Hehehe, bentar ya, lu nanya terus kayak mercon, seperti gak ada habisnya. Soal isu TKA kan sudah beberapa kali diklarifikasi oleh pemerintah, dan belakangan ini isu itu mulai berkurang dibicarakan di ruang publik. Cukup panjang untuk menjelaskan ini, namun intinya kebijakan penggunaan TKA tentu sudah dipertimbangkan matang-matang, bahwa ada teknologi yang dibutuhkan untuk proyek-proyek tertentu yang hanya negara asing yang bisa provide. Karena Jokowi merasa percepatan adalah hal penting, sehingga untuk ini dibutuhkan kehadiran mereka, nantinya akan ada alih teknologi ke pekerja lokal kita. Jadi kehadiran mereka itu hanya bersifat sementara. Selain itu ada faktor bahasa yang menjadi kendala, mesin-mesin atau alat teknologi yang dibawa juga manualnya seringkali masih berbahasa asing, katakanlah berbahasa mandarin yang tidak semua pekerja kita pahami sehingga seringkali bahkan di tingkat operator atau buruh membutuhkan tenaga-tenaga dari negara mereka juga, namun rasionya kan tidak sebesar tenaga terampil. Datanya bisa di check kok itu. Gue lupa karena udah cukup lama, tapi data-datanya masih ada berseliweran di internet. Intinya gue masih punya keyakinan bahwa negara kita ini masih dikelola dengan bener, bukan sebagaimana klaim beberapa pihak bahwa pemerintahan ini perlahan-lahan menjual negara kita.”

“Jadi jangan karena kita gak dapat kerja, atau sulit mendapat kerjaan, lantas nunjuknya selalu keluar, selalu nyalahin yang diuar diri kita tanpa pernah introspeksi. Jangan-jangan kita yang tidak membekali diri kita dengan kompetensi yang sesuai, Ini yang masalah. Seringkali orang-orang yang terlalu banyak menyalahkan situasi, umumnya dirinyalah yang bermasalah.”

“Kalau soal harga-harga kebutuhan yang makin tinggi, ini kan isu yang digoreng kubu 02. Silahkan cek di lapangan bro, apakah memang kondisinya seperti itu?! Buktinya pasar-pasar modern hingga tradisional masih beroperasi seperti biasanya, kita juga masih bisa membeli bahan-bahan pokok yang kita inginkan. Ketika terjadi fluktuasi harga, itu kan hal biasa, bahkan di era pemerintahan sebelumnya hal ini juga terjadi namun jarang dijadikan isu. Dan soal import tidak bisa dipungkiri bahwa kita masih membutuhkan, tapi kan volumenya masih dijaga.”

“Oh ya, gue juga tertarik tuh dengan klaim Prabowo yang mengatakan jika ia terpilih nanti, maka pemerintahannya akan menurunkan harga-harga, tarif listrik akan turun, bukan dalam hitungan tahun melainkan di 100 hari kerja!” tanyaku lagi.

“Hehehe, dan elu percaya dengan itu?”

Saya cuma senyum aja tanpa berkomentar.

“Kalau sekedar janji mah semua orang juga bisa, jangankan 100 hari, gue cuma butuh seminggu atau kurang untuk merealisasikan hal itu. Timpukin aja tuh dengan subsidi, pasti harga dan tarif listrik akan turun. Paling juga itu solusinya menurut yang janji-janji itu. Mau dibawa bodoh lagi masyarakat kita sepertinya. Jokowi sudah bener dengan mengalihkan beberapa subsidi seperti subsidi BBM untuk sektor yang lebih efektif, semisal pendidikan dan kesehatan. Bro elu sadar gak, kalau solusi-solusi seperti subsidi menjadikan masyarakat kita malas, pengennya disuap melulu. Dan ketika pemerintah menghentikan itu, mereka teriak-teriak. Lagipula yang menikmati subsidi juga orang-orang yang berada, semisal subsidi BBM. Gue memperhatikan kubu 02 ini kehilangan orientasi, Ketika mereka mengangkat politik identitas dengan mendukung serta mengharuskan ulama sebagai cawapres melalui ijtima ulama, dan hasilnya Prabowo memilih Sandi sementara Jokowi memilih Maruf Amin selaku cawapres, mereka blingsatan dan melakukan ijtima kedua agar tetap memiliki bargaining politik. Ketika nilai tukar rupiah melemah, mereka mengangkat isu itu namun setelah kurs normal kembali hilang tuh isu. Kemudian pindah lagi ke soal TKA, sekarang adem lagi tuh isu, pindah lagi ke harga-harga yang katanya tinggi, besok entah isunya apalagi. Selalu koar-koar soal duit yang bocor, disparitas ekonomi dengan kekayaan negara dikuasai 1% elit, eh ternyata yang ngomong terbukti salah satu dari 1% elit itu. Nah masyarakat kita harusnya bisa menalar semua ini dengan jernih, jangan hanya menurutkan emosi dan hawa nafsu.”

“Ya…ya…ya, menarik juga argumen elu.” Candaku.

Tak terasa kami telah menghabiskan waktu yang cukup lama berbincang. Dan itu baru saya sadari ketika memperhatikan waktu sudah menunjukkan pukul 9.15 di arloji saya.

“Btw, bro. pertanyaan terakhir nih, karena sepertinya udah mulai larut juga. Elu gak takut dengan vokal begini mendukung salah satu calon, kalau calon lu kalah gimana kira-kira dengan bisnis lu?”

“Bro, kita ini kan ikhtiar dan berdoa, rejeki mah ditangan Tuhan, bukan ditangan penguasa. Kalau masih mikir rejeki itu ditangan penguasa, lu mesti rubah mindset, gak bakalan maju-maju. Karena tantangan hidup, termasuk pekerjaan tidak dimaksudkan menghambat kita, melainkan menaikkan derajat hidup kita. Kita bernafas aja challenging, bener gak?!”

“Anyway, hujan juga mulai reda nampaknya. Tapi sebelum kita udahan gue mau sedikit share insight. Niat yang bener, tindakan yang bener, belum tentu bisa diterima oleh semua orang. Ini fakta, sebab setiap kebijakan pasti ada yang pro dan kontra, tinggal bagi pemerintah, mana yang menguntungkan rakyat banyak, itu yang harus diprioritaskan. Dan selalu ingat, bahwa milih pemimpin itu adalah rutinitas 5 tahun sekali, jadi gak perlu sampai terlalu fanatik, silahkan kaji dengan nalar yang sehat, kemudian tentukan pilihan. Terus…, kalau sudah di TPS coblosnya 1 aja, karena kalau coblos 2, nanti gak sah jadinya! Hahahaha…!”

“Hahahaha….” Tawa kami bersama di ujung kalimatnya membuat semua orang di kedai kopi ini hampir bersamaan menatap kami. (***)