Sore itu tidak seperti biasanya. Kedai kopi tempat gue seringkali menghabiskan waktu sepulang kerja untuk sekedar berusaha menghindari kerumitan jalan Jakarta di penghujung hari, sedikit lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena kebetulan juga lagi hujan, meskipun memang sedikit aneh sebab seharusnya di bulan Maret seperti ini curah hujan sudah tidak sederas ini lagi. Dan sore ini nampak lebih banyak orang yang datang dan bertemu, ngobrol dan mungkin sekaligus melepas penat seperti saya setelah berkutat seharian dengan pekerjaan di kantor.
Dari tempat duduk favoritku di kedai ini dipojokan dekat pintu masuk, sesekali saya memperhatikan orang yang lalu lalang keluar masuk. Saya menyukai tempat duduk ini sebab perhatian orang yang masuk tidak akan langsung tertuju ke titik dimana saya saat ini berada, namun saya dapat melihat mereka dan kadang mengamati aktivitasnya.
Tak berapa lama kemudian seorang pria dengan jaket boomber tipis yang sedikit basah masuk ke kedai dan saya merasa mengenali orang itu. Sepertinya teman yang sudah cukup lama tidak bertemu, ada bilangan bulan sekiraku, dan paling hanya melihat kabarnya lewat linimasa medsos ataupun sesekali whtasapp-an. Rasanya tak salah lagi, dia Rudy, teman saya, seorang perantau dari timur Indonesia. Seorang teman yang saya kenal dari teman sekampus belasan tahun silam.
Saya mencoba memanggil namanya, karena ketika saya larut memikirkan awal-awal pertemuan dengannya, ia sudah melangkah lumayan jauh masuk ke kedai. Panggilanku pun mesti kubesarkan sedikit karena kedai sore ini lumayan padat meski bukan dipenghujung minggu.
“Rud… Rud!”
Dan seperti dugaanku, iapun berbalik, namun nampaknya ia belum terlalu jelas melihatku sehingga harus maju 3 langkah, mungkin untuk memastikan bahwa yang memanggil namanya itu seseorang yang ia kenal.
“Hai Bro!” ujarnya sambil tersenyum. Sepertinya ia masih mengenaliku. “Eh, ngapain lu disini!” katanya cepat membuka percakapan.
“Gue mestinya yang nanya, elu ngapain disini. Hampir tiap hari kali gue disini.” Sambarku.
“Oh, nggak. Ini nih...baru habis meeting ama klien, begitu mau pulang keburu hujan. So jadilah neduh disini dulu. Untung ada lu bro, gue gak kenal siapa-siapa soale.”
“Wah…, aseek nih. Bisnis lancar dong? Ketemu klien terus, hehehe.” candaku membalas argumennya sambil kupersilahkan ia duduk.
“Ah, biasa aja bro. Malah setahun terakhir ini agak menurun. Lu tahulah, kerjaan konsultan SDM seperti apa, ketika perusahaan lagi ngirit, maka shortcut-nya anggaran SDM yang dikurangi, hehehe. Sebentar, gue pesen kopi dulu ya!” Tanpa menunggu persetujuanku lagi, ia langsung menuju meja pemesanan.
Sambil menunggu ia memesan kopi, saya kembali menerawang tentang Rudi. Anak ini setahuku memang sudah lumayan lama kerja di konsultan SDM, malah dulu diawal-awal kerja sering banget dia posting gambar ketika membawakan training di laman facebook atau IG-nya, namun memang belakangan ini udah gak serutin dulu.
“Eh, kok gue perhatiin belakangan ini elu dah jarang posting kegiatan kerjaan lu di FB or medsos, Elu kan pernah bilang kalau itu salah satu tools gratis untuk promosi?” sergahku langsung tatkala ia baru saja kembali ke tempat duduknya sambil membawa kopi panas.
“Oh itu…, gak kenapa-napa, cuman memang agak lesu aja jadi belum ada yang sempat diposting lagi” Jawabnya singkat sambil mengaduk kopi panasnya.
“Mungkin ini kali ya jadi bukti kalau di rezim sekarang orang susah mempertahankan penghasilan, atau susah dapat kerja? Sambungku sambil mencoba mengajaknya ngobrol soal politik. Yah, hitung-hitung nyari bahan obrolan yang lagi ngetrend.
“Hehehe… situ kali yang susah, btw gawe gimana? Lancar-lancar aja kan?” candanya
“yah so far so good lah, nothing special”, jawabku singkat.
“Gini bro….” Ia menjeda sejenak kata-katanya sambil mencoba lebih serius. Kena nih pikirku!
“Menurut gue, ini yang perlu diluruskan. Di tahun politik ini, banyak yang merasa bahwa ketika segala sesuatunya sulit, maka itu pasti kesalahan pemerintah. Namun di masa-masa lalu saat mereka kesulitan, jarang mereka menuding bahwa pemerintah yang salah. Kan gak fair tuh?!”
“Maksud lu..?” penasaranku muncul seketika.
“Gini.., Menurut gue nih ya, saat ini bangsa kita lagi berada di fase perubahan, di fase transformasi. Dan setahu gue semua bentuk perubahan itu, khususnya di fase-fase awal selalu meninggalkan kesan yang rumit. Kenapa? Sebab kita merubah sesuatu yang sebelumnya nyaman dilakukan, sesuatu yang sebelumnya lazim dilakukan. Dan ketika kita mengambil sebuah inisiatif perubahan, maka rasa gak nyaman itu pasti muncul, sebagai bentuk untuk mempertahankan kebiasaan lama. Masalahnya kebiasaan atau pola-pola lama itu sudah gak efektif lagi sekarang, jadi memang harus dirubah.”
“Sorry…sorry bro, bisa lebih sulit gak bahasanya?” Tawaku seketika mendengar penjelasannya.
“Hehehe, maksud gue gini. Kalau elu selama ini ke kantor naik kendaraan pribadi, terus kemudian tiba-tiba kendaraan lu lagi ngadat dan kemudian terpaksa memilih opsi transportasi lain seperti bus atau kereta, menurut lu rasanya gimana?”
“Ya pasti gak nyamanlah…”
“Tapi kalau misalnya kendaraan lu harus masuk bengkel untuk waktu yang cukup lama, katakanlah 2 minggu atau sebulan dan elu mau gak mau harus gunakan opsi transportasi lain, apakah rasa gak nyaman itu akan terus kamu rasakan?”
“Yah mungkin nggak juga kali, karena sudah beradaptasi”.
“Nah itu poin gue!”
“Merubah habit kita aja gak mudah bro, apalagi merubah habit 250 juta penduduk Indonesia. Kebayang gak tuh repotnya?” Perubahan itu kan hanya bisa terjadi dalam 2 cara, apakah karena kita terpaksa atau karena insiatif kita. Nah contoh lu ngerubah habit karena kendaraan ngadat itu karena terpaksa, dan dalam kondisi seperti itu kita ngerasa jadi korban dari situasi. Kecuali kalau kita melihat sekeliling kita, segala sesuatunya berubah, kemudian berpikir bahwa perlu ada perubahan nih, nah itu by design namanya, ada inisiatif.”
“Hahaha, lu ngomong gini, kayak lagi ngasih motivasi aja…”
“Hahaha… sorry bro, bukan itu maksud gue. Yang gue mau katakan adalah ketika Jokowi memimpin dan kemudian memperkenalkan sebuah konsep tata kelola pemerintahan yang baik dan bener, tidak mengherankan banyak orang yang kaget dan seperti mendapat shock therapy. Banyak tokoh yang berseberangan paham politik dengan beliau mengatakan dengan sinis bahwa memimpin negara membutuhkan seorang leader, bukan manajer. Gue setengah sepakat dengan klaim ini, namun mesti diingat bahwa seorang leader yang baik, juga harus memiliki keterampilan manajerial yang mumpuni. Kesan yang ditunjukkan oleh Jokowi dengan melakukan micro manage, terjun langsung di lapangan, blusukan mengunjungi pasar rakyat, mengecek secara langsung progress pembangunan, semua ini ia lakukan untuk menunjukkan bahwa sebuah perubahan seringkali membutuhkan langkah kritis untuk menjamin segala sesuatunya berjalan dengan benar, dikerjakan dengan benar. Ini fungsi manajerial, tapi disatu sisi juga ia menunjukkan sifat leader yang bener, yaitu menjadi role model, menjadi panutan. Bahwa menjadi seorang pemimpin harus ditunjukkan mulai dari level kepemimpinan tertinggi, bukan sekedar memilih menteri kemudian membiarkan mereka bekerja sendiri. Para menteri ini butuh demonstrasi kepemimpinan, agar mereka yakin bahwa apa yang mereka kerjakan diperhatikan, dikoreksi dan diapresiasi oleh pemimpinnya. Jokowi juga ingin meninggalkan kesan kuat bahwa menjadi pejabat pemerintah, harus siap untuk melayani, bukan dilayani sebagaimana mindset lama yang berkembang. Jika kalian ingin menjadi pejabat yang baik, jadilah pelayan yang benar dimata masyarakat!”
Dengan semangatnya Ia melanjutkan, “perubahan dalam model kepemimpinan nasional yang ditunjukkan Jokowi inilah yang menurut gue membuat banyak pihak merasa terusik, terganggu dan terancam, sebab tidak menutup kemungkinan banyak pejabat, pengusaha atau kalangan lainnya yang terbiasa dengan pola-pola yang lama, yang mudah mengatur proyek, tinggal titip sana-sini, akhirnya memenangkan sebuah proyek. Kemudian dengan contoh spesifik seperti proses lelang yang menggunakan lelang elektronik (e-lelang) membuat segala sesuatunya transparan, adalah hal-hal yang tidak mereka sukai. Perijinan-perijinan yang dipermudah, sehingga kesan sebelumnya ‘kalau bisa sulit kenapa harus dipermudah’, perlahan-lahan dilenyapkan dan berpotensi menutup celah terjadinya praktek suap menyuap.”
“Jadi elu dukung 01 nih?”
“Bukan soal dukung atau nggak dukung, gue cuman melihat dan merasakan bahwa apa yang pemerintah lakukan ini sudah bener, sudah on the track, namun yang namanya perubahan pasti ada proses yang membuat gak nyaman, karena disitu ada ketidakpastian, meski perubahan itu kearah yang lebih baik. Belum lagi kalau kita bicara soal orang per-orang yang udah nyaman dengan habit dan pola-pola lama, pastilah bakal bereaksi.”
Tanpa menunggu, ia melanjutkan lagi. “Mari kita coba analisis sederhana. Diawal-awal pembangunan infrastruktur, banyak yang bernada miring, ngatain proyek pencitraanlah, proyek ambisiuslah, proyek apalah, tapi elu bisa bayangin gak manfaatnya 5, 10 atau 20 tahun kedepan? Apa yang Jokowi lakukan saat ini, sudah seharusnya dilakukan oleh pemerintah puluhan tahun silam, kita kan bisa ngerasain bagaimana keterlambatan pembangunan infrastruktur ini menguras emosi dan pikiran kita setiap hari di jalanan, kemacetan yang gak bisa diprediksi, ngabisin waktu produktif kita, dan seterusnya. Dan ketika Jokowi mengambil inisiatif memulai tanpa banyak ba-bi-bu, orang pada tercengang, kok bisa ya? Kenapa gak dari dulu ya? So, seharusnya kalau kita bisa menalar dengan baik, maka upaya-upaya semacam ini harus didukung!”
“Tapi kan utang pemerintah kita nambah bro, malah semakin gila. Sekarang aja kalau gak salah sudah 4 ribu trilyun lebih kan utang pemerintah kita! Gimana bayarnya tuh?”
“Bro, gue mau ngasih pengandaian. Kalau elu ke bank trus minta kredit untuk beli sesuatu, katakanlah beli gadget baru atau laptop baru untuk gaya hidup elu, untuk konsumtif elu, dikasih gak kira-kira?”
“Rasanya sih nggak, kecuali kalau untuk kegiatan produktif bro, yang menghasilkan.”
“Nah, itu lu bener. Menurut elu, apakah pembangunan infrastruktur ini kegiatan konsumtif atau produktif? Punya multiplier effect gak?”
“Iya juga sih”
Trus, kira-kira bank akan ngitung gak atau perkirain kemampuan bayar elu?”
“pastilah bro”
“Nah sama bro, Disatu sisi para negara debitur ini tentu sudah memperhitungkan kemampuan bayar negara kita, dan mereka juga memahami bahwa utang ini untuk kegiatan yang produktif. Disisi lain pemerintah juga tidak asal ngambil utang, tapi mempertimbangkan skala prioritas dan gue masih punya keyakinan bahwa pemerintah sudah mengkalkulasi semua ini. Jokowi meskipun dikatakan planga plongo, tapi sensifitas dan perhitungan bisnisnya masih tajam bro, apalagi beliau didukung orang sekaliber ibu Sri Mulyani. Kata orang bijak, don’t judge the book by its cover.”
Ia berhenti sejenak untuk menyeruput kopinya, “Bro.., di republik ini banyak pemimpin yang pintar dan cerdas, tapi sedikit pemimpin yang berani mengambil resiko dari kepemimpinannya, yang berani mengambil resiko untuk kebijakan yang tidak populis seperti utang tersebut. Dan satu hal lagi, beberapa pengamat ekonomi dunia mengatakan bahwa hanya di Indonesia utang dijadikan isu politik. Mungkin mengherankan bagi mereka, sebab utang adalah instrumen dalam pembangunan. Selain itu rasio utang kita masih jauh dibawah ambang batas. So gue masih punya keyakinan bahwa ini langkah yang tepat daripada harus menunggu bertahun tahun lagi, dan ketika tiba masanya kita membutuhkan infrastruktur ini harga yang harus dibayar akan jauh lebih mahal! Bahkan Mahathir Mohammad dalam wawancaranya beberapa waktu lalu yang sempat viral mengatakan bahwa baru kali ini Indonesia berada di depan Malaysia dari aspek ekonomi dan pembangunannya. Bahwa mengelola negara sebesar Indonesia tidaklah mudah, dan Jokowi dianggap berhasil dan lebih baik dari pemimpin-pemimpin sebelumnya.”
“Tapi kan BUMN kita seolah dijadikan sapi perah untuk merealisasikan janji-janji pemerintahan ini sehingga banyak BUMN kita menjadi bermasalah”, Saya mencoba mengkritisi argumennya.
“Kata siapa bro? Kalau statement itu dari kubu 02 ya wajarlah sebab mereka akan mencari setiap celah untuk menjatuhkan kredibilitas pemerintahan ini, untuk membuat rakyat mengalihkan pilihannya. Tapi buktinya, ibu Rini selaku menteri BUMN baru-baru ini kan menyatakan bahwa semua BUMN dalam kondisi yang sehat, bahkan ditahun 2018 lalu BUMN menghasilkan profit sangat besar dibanding tahun-tahun sebelumnya, mencapai 200 trilyun. Dan jangan lupa bro, BUMN itu kan instrumen pemerintahan, jadi wajarlah mereka diberikan target-target untuk merealisasikan target pemerintahan. BUMN kan bukan murni private company bro.”
“Yayaya…mungkin gue bisa setuju dengan itu”, kataku sambil meminum kopi yang sudah mulai dingin.
“Tapi gini bro, karena elu ngangkat prestasi pemerintahan ini, gue mesti koreksi juga nih biar imbang. Okelah kalau dikatakan Jokowi punya prestasi dengan pembangunan infrastruktur yang masif saat ini. Tapi di era pemerintahan Jokowi ini tingkat korupsi makin menggila, bahkan banyak petinggi partai yang terlibat dan akhirnya dipenjarakan oleh KPK! Gimana tuh, katanya anti korupsi, tapi para pendukungnya, tokoh-tokoh politik dibelakangnya rupanya korupsi juga!” Gue mulai serius nanya rasa-rasanya.
“Kalau itu faktanya, menurut elu pemerintahan jokowi lebih buruk atau lebih baik?”
“Ya lebih buruklah bro!”
“Kalau pertanyaannya gue ubah, bahwa dengan tertangkapnya koruptor, bahkan pendukung Jokowi sendiri, apakah itu menandakan bahwa Jokowi tidak bisa mengintervensi hukum?”
“Ya bisa juga”
“Bukankah sifat pemimpin yang seperti ini yang kita inginkan, bahwa meski ia seorang presiden, tapi ia tidak menyelewengkan kekuasaaan yang dimiliki dengan mengintervensi hukum. Fakta banyaknya koruptor tertangkap juga menandakan bahwa pemberantasan korupsi berjalan dengan baik dan kinerja dari aparat terbukti lebih baik dibawah pemerintahannya, bukan begitu?” (Bersambung)
(***)
-
Irjen Kemenag Sebut Pengawasan Kolaboratif Efektif Cegah Penyimpangan Menurutnya, pengawasan kolaboratif efektif mencegah penyimpangan
-
Jokowi dan Sri Mulyani Bertemu di Tengah Isu Mundur Menteri, Bahas Pengunduran Diri? Oleh karena itu saya menjawab memang betul hari ini pukul 14.30 WIB, Bu Sri Mulyani diterima Pak Presiden
-
Irjen Faisal Tekankan Zero Toleransi Pungli di KUA Itjen sangat concern pada tata kelola di KUA
-
Sampaikan Laporan Pengawasan 2023, Irjen Harap Layanan Haji Semakin Baik Ia berkomitmen tradisi baik dalam kinerja pengawasan ini akan dilanjutkan
-
Istana Tepis Isu Sejumlah Menteri Jokowi Mundur: Sengaja Diembuskan untuk Menggoyang Pemerintah! Tujuannya untuk menggoyang ini, menggoyang pemerintah yang sudah baik-baik ini