merdekanews.co
Selasa, 02 April 2019 - 09:00 WIB

Oleh: Faisal Raoef, Pengamat Kepemimpinan dan Perubahan Sosial

HOAX, WANITA ANTAGONIS YANG CANTIK MENGGODA

*** - merdekanews.co
Faisal Raoef, Pengamat Kepemimpinan dan Perubahan Sosial

Perdebatan antara Rhenald Kasali dan Rocky Gerung di forum Indonesia Lawyers Club (ILC) beberapa waktu lalu mengenai sejarah awal hoax cukup menarik dan terbukti telah di viralkan berbagai akun di media berbagi video youtube dalam berbagai perspektif.

Cukup banyak netizen sepakat dengan argumen Rocky bahwa momen dimana paper Prof. Alan Sokal pada jurnal Social Text–sebuah jurnal kajian budaya ternama di Amerika Serikat—pada tahun 1996 berjudul Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity, yang kemudian dilanjutkan dengan esai pengakuan Sokal beberapa minggu kemudian di Jurnal Lingua Franca bahwa tulisannya yang ter-publish di Social Text hanyalah parodi untuk mengejek para pemikir postmodern, atau dengan kata lain tulisan itu adalah hoax, merupakan sejarah awal hoax. Namun tidak sedikit netizen yang juga menyetujui pendapat Rhenald Kasali bahwa yang namanya hoax sudah ada sejak manusia pertama diciptakan, yakni ketika Iblis memperdaya Adam dan Hawa untuk memakan buah khuldi yang diharamkan Allah SWT.

Mungkin kita bisa bersepakat bahwa tak ada informasi yang pasti dan jelas kapan hoax mulai dikenal. Momen dimana Alan Sokal menguji standar intelektual akademisi humaniora Amerika Serikat melalui paper-nya bukanlah awal mula hoax, melainkan lebih cocok dikatakan sebagai peristiwa dimana hoax dijadikan topik eksperimen ilmiah. Bahkan sebuah buku karya Ian Tattersall dan Peter Nevraumont berjudul “HOAX, a mystery of deception” menyatakan bahwa hoax pertama kali muncul sekitar 5000 tahun lalu yakni pada tahun 2800 SM dengan pengumuman pertama yang didokumentasikan tentang akhir dunia (kiamat).

Akan tetapi terlepas argumen mana yang diterima oleh netizen dan masyarakat, hoax saat ini telah menjadi buah bibir. Hoax dibicarakan dimana-mana, baik dalam forum ilmiah, talkshow, grup-grup Whatsapp (WAG) hingga obrolan ibu-ibu arisan. Rasa-rasanya topik hoax dibicarakan mulai dari pertemuan eksekutif tingkat tinggi di negeri ini hingga obrolan santai di warung kopi pinggir jalan.

Tentu saja ajang pilpres adalah pemicunya. Beragam propaganda dibuat dan disebar dalam bentuk informasi yang tidak benar atau hoax untuk tujuan spesifik, yakni mempengaruhi opini subjek hoax yang dalam hal ini masyarakat pemilih. Munculnya tabloid Obor di tahun 2014 yang mendiskreditkan Jokowi adalah bentuk bagaimana hoax didesain secara serius untuk menjatuhkan lawan. Munculnya isu penggunaan strategi ala Rusia, Firehouse of Falsehood juga menjadikan hoax sebagai menu utamanya, yang disajikan secara berulang-ulang dan terus-menerus untuk mempengaruhi kondisi psikologis pemilih.

Ibarat kata, Hoax bagaikan wanita antagonis yang kejam dan sadis, namun tetap menarik karena seringkali ‘cantik dan menggoda’ dari sisi desain informasinya.

Lantas apa penjelasan ilmiah dibalik fenomena hoax ini, mengapa hoax begitu memikat?

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh pakar Neurosains dan juga kemungkinan hasil kajian para psikolog sebelumnya, menemukan fakta bahwa pikiran manusia ternyata sangat reseptif terhadap stimulus (rangsangan) negatif. Saking reseptifnya pikiran kita terhadap rangsangan negatif, dibutuhkan 3 rangsangan positif untuk menetralkan pikiran kita, atau dengan kata lain satu rangsangan negatif setara dengan 3 rangsangan positif. Bahasa lainnya, hal-hal negatif yang diterima oleh pikiran menancap lebih dalam!

Fakta inilah yang menyebabkan informasi yang tidak benar ataupun informasi yang berisi konten negatif, cepat mendapat perhatian. Sebagai contoh sederhana, amati baik-baik fakta kalkulasi berikut dan perhatikan kata-kata yang muncul dalam pikiran Anda:

1 x 6 = 6

2 x 6 = 12

3 x 6 = 16

4 x 6 = 24

5 x 6 = 30

Mulai merasakan betapa cepatnya pikiran Anda menemukan hal yang tidak benar diantara hal yang benar? Kemungkinan besar, pikiran Anda langsung menyatakan bahwa baris ketiga adalah hal yang salah atau keliru! Oke, Baiklah. Bagaimana dengan kalkulasi berikut:

2 x 4 = 6

3 x 4 = 14

4 x 4 = 16

5 x 4 = 24

Anda semakin jitu! Jika saya bisa menebak, maka pikiran Anda kemungkinan menyatakan, “Semuanya keliru, kecuali baris ketiga yang benar”!

Eksperimen sederhana ini seringkali saya lakukan, dan ada 2 kesimpulan yang bisa saya tarik. Pertama, pikiran kita sangat responsif terhadap hal yang keliru, salah atau bersifat negatif. Kedua, pikiran kita seringkali alpa menekankan hal yang positif.

Umumnya respon orang-orang untuk kalkulasi pertama langsung berfokus pada bagian yang salah tanpa memberi apresiasi terhadap bagian yang benar, seperti “Pak, baris ketiga itu salah!”. Namun anehnya pada kalkulasi kedua, respon orang-orang akan menyebutkan bagian yang benar, tapi didahului atau diakhiri dengan menyebutkan yang salah atau keliru, misalnya “Pak, baris ketiga yang benar, yang lainnya salah!”, atau “Semuanya salah, hanya baris ketiga yang benar!”. Jarang sekali saya mendapatkan respon seperti “Pak, cuma nomor 3 yang benar!”

Sekarang coba ingat-ingat kembali kata-kata yang muncul dalam kepala Anda, apakah Anda termasuk dalam salah satu atau salah dua dalam kesimpulan saya itu. Hehehe.

Dari eksperimen singkat diatas, Anda mungkin mulai memahami korelasi mengapa infotainment yang berisi kebanyakan gosip atau informasi yang faktanya masih absurd begitu digemari oleh masyarakat kita? Dan jika jeli, Andapun akan menemukan fakta bahwa dari sekian banyak informasi yang muncul di media massa, entah itu di televisi lewat siaran berita, koran dan portal berita online atau media lainnya cenderung didominasi oleh berita-berita negatif, seperti penangkapan, pencurian, perselingkuhan, pemerkosaan, pembunuhan, dan sejenisnya. Apakah jurnalis kita kekurangan informasi yang bersifat positif? Tidak juga, Semua ini karena informasi negatif cenderung lebih memikat perhatian. Istilah kerennya, “Good News is News, Bad News is Great News” (Berita baik hanyalah berita, berita buruk adalah berita yang hebat).

Sekarang bayangkan bagaimana hoax, yang mengandung informasi tidak benar, informasi negatif, diproduksi, disebar dan di viralkan berkali-kali, yang dalam kancah politik cenderung digunakan untuk mendiskreditkan pihak lain. Bukankah ini strategi yang efektif? Cukup sekali informasi tersebut menancap dalam pikiran sudah memberikan efek psikologis, apalagi jika hoax tersebut direpetisi lewat kemasan dan tampilan yang berbeda-beda, maka tidak membutuhkan waktu lama untuk merubah persepsi pemilih.

Terlebih disaat sekarang, dimana media sosial dan teknologi digital memungkinkan hoax untuk di viralkan secara cepat dan masif. Informasi yang bersifat negatif ini, pada akhirnya mempengaruhi psikologis penerimanya, dan memang inilah salah satu tujuan dari hoax, yakni melumpuhkan nalar, mempengaruhi dengan membuat informasi yang tidak benar seolah-olah benar dengan penggunaan kausalitas acak. Yang penting terlihat, terdengar atau terasa masuk akal maka pikiran manusia akan menemukan asosiasinya.

Tidaklah mengherankan jika mulai saat ini literasi tentang hoax akan mulai banyak dibicarakan dan didiskusikan di ruang publik, dan ini penting agar kita, masyarakat memahami bahwa meskipun ini strategi politik yang efektif namun sangat tidak beretika. Hoax yang didesain sedemikian rupa untuk membodohi, dengan memanfaatkan ‘bias’ pikiran pada manusia. (***)