Jakarta, MERDEKANEWS -Instalasi penampungan limbah terhadap resiko bencana gempa harus dipastikan oleh pemerintah pada perusahaan pertambangan yang beroperasi pada wilayah rawan gempa.
Sebab, jaminan instalasi tersebut untuk menahan gempa berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat yang terdampak jika penampungan mengalami kerusakan.
Karenanya, kajian mengenai kelayakan lingkungan, baik AMDAL ataupun UKL/UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) wajib dipenuhi.
Hal ini disampaikan pengamat lingkungan dari Universitas Sumatera Utara, Isra Suryati, Senin (17/12/2018).
"Bila kita berbicara mengenai limbah tambang, maka harus diidentifikasi risiko dan bahaya yang akan terjadi seperti gempa bumi," katanya
.
Dosen Program Studi Teknik Lingkungan ini menjelaskan, pemerintah selaku pengawas dan pemberi izin wajib memastikan seluruh infrastruktur pengolahan limbah tailing milik perusahaan pertambangan sudah memenuhi standar.
Termasuk dalam meminimalisir potensi resiko yang mungkin timbul jika terjadi kerusakan atau kebocoran sehingga tidak mengorbankan masyarakat.
"Limbah tailing ini masuk dalam kategori berbahaya dan beracun (B3)," katanya.
Idealnya, menurut Isra, pemerintah perlu mengeluarkan peta rawan bencana, maka masyarakat tidak boleh bermukin di daerah-daerah tersebut. Akan tetapi dalam beberapa kasus, masyarakat justru merupakan pihak yang sudah terlebih dahulu bermukim di lokasi tersebut.
"Jika ini sudah terjadi, maka harus ada sosialisasi kepada masyarakat terkait prosedur menyelamatkan diri ketika kejadian gempa," katanya.
Direktur Jaringan Monitor Tambang (JMT) Ali Adam, sebelumnya mengatakan, tanpa ada bencana gempa sekalipun limbah tambang saat ini sudah memberi dampak pada masyarakat.
Hal ini dialami oleh masyarakat di kawasan Batangtoru tempat beroperasinya salah satu tambang emas PT Agincourt Resources.
Saat ini, kata Ali, masyarakat sudah merasakan dampaknya yakni ketakutan masyarakat untuk mengonsumsi air dari sungai tersebut.
Bukan hanya itu, dampak ekonomi yang paling terasa yakni seperti yang dialami warga di Muara Huta Raja, yang dulunya terkenal sebagai daerah penghasil ikan sale.
"Warga di sana tidak lagi memproduksi ikan sale karena masyarakat enggan memakan ikan hasil produksi mereka," katanya.
Ali menjelaskan, pihak JMT beberapa waktu lalu, pernah melakukan investigasi terkait keberadaan kolam penampungan limbah tambah milik salah satu perusahaan pertambangan di Batang Toru yakni PT Agincourt Resources.
Hasilnya, mereka memastikan bahwa perusahaan tersebut memiliki kawasan penampungan untuk memproses limbah tambang sebelum dibuang ke Sungai Batangtoru. Letaknya sendiri berada di kawasan tebing yang berbatasan langsung dengan masyarakat yang ada di bawahnya. (Hadrian)