merdekanews.co
Minggu, 22 Juli 2018 - 12:12 WIB

Industri Mamin Dibuat Limbung Dolar AS dan Daya Beli

Setyaki Purnomo - merdekanews.co
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi Lukman

Jakarta, MERDEKANEWS - Kalangan pengusaha makanan dan minuman (mamin) mengkhawatirkan semakin memburuknya nilai tukar rupiah terhadap US$. Apalagi kalau sampai Rp15 ribu per US$.

Pengusaha makanan yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) mengaku cemas nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) tembus hingga Rp 15.000.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi Lukman menerangkan, bakal semakin banyak perusahaan mamin yang tekor apabila kurs dolar AS mencapai Rp15 ribu. "Agak sulit deh ini, yang jelas kalau dolar Rp 15.000 sudah pasti banyak rugi," kata Adhi, Jakarta, Jumat (20/7/2018).

Dikutip dari Reuters, dolar AS bergerak di level Rp 14.500 hingga Rp 14.555. Ini posisi tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Awal 2018, dolar AS masih berada di rentang Rp 13.300-13.400.

Adhi mengaku, saat ini, industri mamin sudah mengencangkan ikat pinggang. Di mana,  keuntungan perusahaan terus tergerus. Kalau kondisinya memburuk maka perusahaan jelas akan merugi. "Pilihannya ya mengorbankan margin, profit. Tapi kita belum tahu sampai berapa lama karena masing-masing perusahaan berbeda," kata Adhi.

Lalu bagaimana pemerintah? Seiring ketidakpastian ini, pemerintah seharusnya menyiapkan insentif bagi industri yang terkena imbas pelemahan nilai tukar rupiah. Bentuk insentifnya bisa berupa subsidi bunga untuk kredit ekspor yang cukup membantu bagi pembiayaan perdagangan. "Insentif lain adalah percepatan dokumentasi dan waktu bongkar muat di pelabuhan. Sebab dengan begitu, importir mamin akan menambah barang yang akan diekspor," papar Adhi.

Cara itu, katanya, akan membuat perusahaan meningkatkan penjualan laba dan negara bisa menghemat devisa. Sejauh ini, industri mamin memutuskan untuk tidak menaikkan harga meski nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar AS. Ya, karena daya beli masih lesu.

  (Setyaki Purnomo)