merdekanews.co
Jumat, 06 Desember 2024 - 14:35 WIB

Berlaku 2025, Penetapan PPN 11 dan 12 Persen Secara Selektif Berpotensi Bikin Bingung Masyarakat

Cw 1 - merdekanews.co
Ilustrasi. (foto: istimewa)

Jakarta, MERDEKANEWS -- Usai diskusi antara pimpinan DPR RI dan Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara pada Kamis (05/12) malam, pemerintah akhirnya memutuskan pajak pertambahan nilai (PPN) tetap naik menjadi 12 persen tahun depan.

Namun, penerapan tarif ini akan bersifat selektif, terutama ditujukan untuk komoditas tertentu, terutama barang-barang mewah. Sementara itu, barang dan jasa umum akan tetap dikenakan tarif PPN sebesar 11 persen.

Ketua Komisi XI DPR Misbakhun menjelaskan, tarif PPN 12 persen untuk konsumen barang mewah itu merupakan hasil diskusi mereka dengan Prabowo.

"Diterapkan secara selektif, selektif kepada beberapa komunitas, baik itu barang dalam negeri maupun impor yang berkaitan dengan barang mewah. Sehingga, pemerintah hanya memberi beban itu kepada konsumen pembeli barang mewah," ujar Misbakhun dalam jumpa pers.

Misbakhun mengatakan, tarif PPN 11 persen akan tetap berlaku bagi masyarakat kecil. Selanjutnya, pemerintah akan mempelajari mengenai PPN yang tidak berada dalam satu tarif ini.

"Masyarakat kecil tetap kepada tarif PPN yang saat ini berlaku. Sehingga nanti tidak berlaku lagi, rencananya masih dipelajari oleh pemerintah dilakukan kajian lebih mendalam bahwa PPN nanti akan tidak berada dalam 1 tarif," jelasnya.

Misbakhun mengatakan, tarif PPN 12 persen akan tetap berlaku pada 1 Januari 2025 sesuai dengan amanat undang-undang. Namun, Misbakhun meminta masyarakat tidak perlu khawatir terkait kebutuhan barang pokok, jasa pendidikan, kesehatan, dan perbankan.

Sebab, pelayanan umum dan jasa pemerintahan tetap tidak dikenakan PPN. "Bapak Presiden juga berusaha mentertibkan banyak urusan yang berkaitan dengan hal-hal ilegal sehingga akan tambah penerimaan negara yang selama ini tidak terdeteksi," imbuh Misbakhun.

Adapun kenaikan PPN 12 persen itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Di mana pada Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa tarif PPN sebesar 11 persen mulai berlaku pada 1 April 2022, dan PPN 12 persen berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.

Menanggapi rencana pemerintah tersebut, Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, penetapan tarif PPN secara selektif berpotensi menimbulkan kebingungan di masyarakat.

Bhima seperti dikutip dari antaranews mengatakan, Indonesia belum pernah menerapkan sistem multitarif untuk PPN. "Indonesia hanya mengenal PPN dengan satu tarif, sehingga perbedaan antara PPN 12 persen untuk barang mewah dan PPN 11 persen untuk barang lainnya merupakan yang pertama kali dalam sejarah," jelasnya,

Ia menambahkan bahwa kebijakan multitarif ini bisa membingungkan banyak pihak, terutama pelaku usaha dan konsumen.

Contohnya, jika sebuah toko ritel menjual barang yang terkena pajak PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), penjual harus menghitung tarif yang berbeda untuk setiap barang yang dijual. Proses administrasi perpajakan juga kemungkinan akan menjadi lebih rumit.

"Karena sudah mendekati waktu pelaksanaan PPN 12 persen pada Januari 2025, aturan yang ada terkesan tidak jelas. Seharusnya, jika pemerintah ingin memperhatikan daya beli masyarakat, mereka perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menghapus Pasal 7 dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengenai PPN 12 persen. Itu adalah solusi terbaik," tegasnya.

(Cw 1)