Jakarta, MERDEKANEWS - Sejarah panjang menyertai Kemerdekaan Republik Indonesia. Terutama, perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan oleh polisi.
Peristiwa 10 November 1945, yang jadi cikal bakal Hari Pahlawan, tak lepas dari andil besar polisi. Namun, peran Polisi hampir tidak pernah diungkit dalam peristiwa bersejarah itu.
Padahal, bisa dibilang, tanpa polisi, tidak ada yang namanya Hari Pahlawan yang sekarang setiap tahun kita peringati. Bagaimana kisahnya?
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta, disambut oleh rakyat pada saat itu. Tak terkecuali Tokubetsu Keisatsutai, atau Polisi Istimewa.
Dikatakan Ministrie Van Onderwijs EN Weten Schappen (Pemerintah Belanda) Dr Van Der Wal, Polisi Istimewa adalah kekuatan tempur militer.
“Polisi Istimewa, mantan Polisi Istimewa di waktu Jepang, pimpinan M.Jasin tidak lain adalah satu kekuatan tempur militer,” katanya.
Polisi Istimewa ini awalnya merupakan kesatuan polisi khusus bentukan Jepang. Kendati demikian, momen proklamasi kemerdekaan menjadi pemantik para personel Polisi Istimewa kala itu untuk menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Empat hari setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya 21 Agustus 1945 pukul 07.00 WIB, sebanyak 250 polisi dari kesatuan Polisi Istimewa, membulatkan tekadnya untuk setia kepada Republik Indonesia.
Mereka berkumpul di Gedung Broederschool, yang terletak di Coen Boulevard No 7. Kini lebih dikenal bernama Jalan M Jasin Polisi Istimewa, yang terletak di Kota Surabaya.
Kesatuan tersebut dipimpin oleh Inspektur Polisi Kelas I Moehammad Jasin, atau biasa dikenal M Jasin. Dengan lantang, M. Jasin membacakan ‘Proklamasi Polisi’.
“Proklamasi Polisi, Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan polisi sebagai Polisi Repoeblik Indonesia, Soerabaja 21 Agoestoes 1945, Atas nama seloeroeh warga polisi, Moehamad Jasin, Inspektoer Polisi Kelas I,” ucap M. Jasin dengan lantang diikuti segenap personel Polisi Istimewa.
Upaya M. Jasin bersama Polisi Istimewa tak berhenti disitu. Setelah Proklamasi Polisi, ia meminta seluruh anggota Polisi Istimewa untuk melakukan pawai siaga untuk menunjukan kekuatan dan kesiapan tempur menyikapi reaksi pihak Jepang.
Para polisi itu bergerak menuju Jalan Tunjungan Surabaya. Menggunakan kendaraan lapis baja yang telah dipasang bendera merah putih, mereka menyebar hingga memasang pamflet yang berisi proklamasi.
Keberanian personel Polisi Istimewa pimpinan M. Jasin kala itu diakui oleh mantan Menteri Luar Negeri RI Roeslan Abdulghani.
Cak Roes, sapaan akrabnya, mengatakan pasukan polisi merupakan modal utama perjuangan.
“M. Jasin dan pasukan-pasukan Polisi Istimewa mendahului yang lain muncul di Medan juang Surabaya tahun 1945 dan karena itu Pasukan Polisi ini adalah modal pertama perjuangan,” begitu ucap Roeslan.
Tak hanya itu, keberanian pasukan Polisi Istimewa kala itu juga diakui oleh Abdul Radja, yang merupakan eks Trip pelaku pertempuran 10 November 1945.
“Pasukan-Pasukan Polisi Istimewa bertempur melawan Tentara Jepang dengan gagah berani,” katanya.
Bahkan, Bung Tomo, yang dikenal sebagai penggerak semangat rakyat Surabaya saat peristiwa 10 November, mengakui keberanian Polisi Istimewa.
Bung Tomo menganggap kesatuan yang dipimpin M. Jasin itu mempelopori perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan di Surabaya.
“PETA diharapkan dapat mendukung perjuangan di Surabaya tahun 1945, tetapi PETA membiarkan senjatanya dilucuti oleh Jepang, untung ada pemuda M. Jasin dengan pasukan-pasukan Polisi Istimewanya yang berbobot tempur mendukung dan mempelopori perjuangan di Surabaya,” urai Bung Tomo.
Bahkan menurut pengakuat eks Trip dan pelaku pertempuran 10 November 1945, Jenderal TNI AD Sudarto, tanpa adanya peran M. Jasin bersama Polisi Istimewa, peristiwa 10 November tidak akan ada.
“Omong kosong kalau ada yang mengaku di bulan Agustus 1945 memiliki kesatuan bersenjata. Yang ada pada waktu itu hanya pasukan-pasukan Polisi Istimewa pimpinan M.Jasin, bahkan ia menyatakan bahwa tanpa peran pasukan-pasukan Polisi Istimewa pimpinan M. Jasin tidak akan ada peristiwa 10 November 1945,” tegas Sudarto. (Viozzy)