merdekanews.co
Senin, 05 Februari 2018 - 17:10 WIB

Tiga Tahun Ekonomi Jokowi Hutang Budi ke Industri Sawit

Setyaki Purnomo - merdekanews.co

Jakarta, MERDEKANEWS - Perekonomian negeri ini diuntungkan dengan industri sawit. Neraca perdagangan 2017, surplus US$11,84 miliar. Kontribusi terbesar dari minyak sawit dan produk turunannya.

Di banding 2016, masih merunut data Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi kenaikan nilai ekspor minyak sawit dan produk turunannya (tidak termasuk biodiesel dan oleochemical) sebesar US$18,22 miliar. Di mana, nilai ekspor pada 2017 mencapai US$22,97 miliar, atau naik 26%.

Guru besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila), Bustanul Arifin, mengaku tak terkejut data yang dirilis BPS. Dia bilang, volume ekspor minyak sawit berbanding lurus dengan produksi.

Pada 2017, harga rata-rata minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) meningkat dibandingkan 2016, sebesar US$714,3 per metrik ton. Atau meningkat 2% dibandingkan harga rata-rata 2016 sebesar US$700,4 per metrik ton.

“Saya tidak terlalu kaget dengan angka-angka itu, karena sawit itu nilai ekspornya berbanding lurus dengan produksi, apalagi harga rata-ratanya juga meningkat. Dan tren kenaikan ekspor ini di 2018 masih akan terjadi karena cuaca juga mendukung,” kata Bustanul dalam rilis kepada media di Jakarta, Senin (5/2/2018).

Bahkan, Bustanul memprediksi, hingga 10 tahun mendatang, volume dan nilai ekspor minyak sawit dan produk turunan, masih akan melanjutkan pertumbuhannya.

Namun demikian, dia mengingatkan, para pelaku usaha dan pemerintah terkait isu sustainibility atau keberlangsungan sawit, masih akan terus menjadi kendala.

“Ini harus diselesaikan. Pemerintah harus terus melakukan diplomasi dagang. Kalau tidak, potensi devisa yang sangat besar ini bisa saja sirna. Karena ini merupakan salah satu hambatan dagang, tariff barrier,” kata Bustanul.

Bustanul menyarankan, pemerintah lebih gencar membuka pasar-pasar ekspor baru. Misalnya saja negara-negara di Afrika Tengah, Afrika Selatan, negara pecahan Rusia, negara-negara di timur tengah. “Itu semua prospektif,” kata Bustanul.

Sementara untuk pasar-pasar tradisional seperti Eropa Barat, AS, Jepang, India, Pakistan, China, kata Bustanul, jangan lantas dilupakan. “Kita harus cerdas dan cerdik dalam mengembangkan pasar baru yang potensial, tapi jangan sampai lengah dengan meninggalkan pasar tradisional. Sebab kalau lengah, peluang itu akan hilang,” papar Bustanul.

Berbagai upaya menghambat pertumbuhan industri sawit akan terus dilancarkan karena persaingan dagang minyak nabati yang semakin ketat. “Dalam kondisi ini, pemerintah harus lebih jeli dalam melihat permasalahan dan tidak mengeluarkan regulasi-regulasi yang justru menghambat perkembangan industri sawit yang notabene merupakan mesin penghasil devisa terbesar dalam menyokong perekonomian nasional,” tutur Bustanul.

Hal senada dikatakan pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics & Finance (Indef), Bhima Yudhistira, hingga saat ini, Indonesia masih terpaku kepada pasar tradisional yang kontribusinya hampir 70% dari total negara tujuan ekspor.

“Kita dari dulu masih tidak terbuka untuk pasar baru. Pakistan, Eropa Timur, Afsel, Afrika Utara ini juga sangat potensial. Oleh karena itu tahun 2018 harus buka pasar alternatif itu,” kata Bhima.

Selain itu, kata Bhima, pemerintah harus bisa melakukan diplomasi dagang dengan negara tujuan ekspor. Sebab setiap negara selalu menerapkan tarif dan non tarif. Amerika Serikat misalnya, saat ini menerapkan kebijakan perdagangan yang lebih protektif.

Perlu diketahui saat ini AS telah menerapkan lebih dari 2.000 non tariff barrier, China punya 4.000 non tariff barrier, sementara Indonesia hanya memiliki 299 hambatan non tariff barrier.

“Itu yang menyebabkan kita tidak bisa masuk ke pasar mereka. Kita harus memperkuat diplomasi perdagangan baik secara bilateral maupun multilateral sehingga hambatan non tarif tadi bisa berkurang,” katanya.

Indonesia yang memiliki sawit sebagai komoditas potensial, menurut Bhima, harus tetap dijaga dan diperjuangkan, terutama dalam sengketa dagang di forum WTO. Pemerintah Indonesia dan Malaysia, sebagai dua negara penghasil utama minyak sawit dunia harus bersama-sama melakukan diplomasi. Pemerintah harus lebih aktif lagi di forum WTO agar bisa menang dalam menghadapi sengketa dagang.

“Apalagi selama kita kekurangan tim banding di WTO sehingga untuk menghadapi sengketa dagang, ini harus diperkuat. Market intelegen kita juga kurang. Padahal ini sangat penting,” katanya.

Terkait sawit, isu hambatan dagang bermunculan di berbagai negara. Seperti AS yang memberlakukan antidumping untuk biodisel Indonesia. Juga adanya Resolusi Parlemen Eropa yang menyebutkan pelarangan biodisel berbasis sawit karena dinilai masih menciptakan banyak masalah dari deforestasi, korupsi, pekerja anak, hingga pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Tahun lalu, India juga menaikkan pajak impor minyak sawit hingga dua kali lipat dibandingkan 2016. Minyak sawit juga berpotensi menghadapi kendala di Australia menyusul Senat Australia kembali mengajukan RUU Competition and Consumer Amendment (Truth in Labeling-Palm Oil). (Setyaki Purnomo)