merdekanews.co
Kamis, 18 Maret 2021 - 06:13 WIB

Peran Data Terpilah Gender Dukung Kebijakan Responsif Gender

Anugue - merdekanews.co

Jakarta, MERDEKANEWS -- Ketimpangan gender yang masih terjadi di Indonesia mengakibatkan ketersediaan Data Terpilah Gender (DTG) menjadi sangat penting. 

Data terpilah menurut jenis kelamin menjadi elemen pokok bagi terselenggaranya Pengarusutamaan Gender (PUG) dan pemenuhan hak anak di berbagai sektor pembangunan, terutama bagi percepatan pemulihan ekonomi nasional. DTG tidak hanya dapat digunakan pemerintah atau pemangku kepentingan untuk menyusun kebijakan yang responsif gender, tetapi juga bermanfaat bagi Penyedia Jasa Keuangan untuk merancang atau mengembangkan produk dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan perempuan.

“Peran DTG sangat krusial dalam merumuskan kebijakan, terutama bagi pemulihan ekonomi selama pandemi Covid-19. Pandemi telah memberikan dampak yang signifikan di berbagai sektor, termasuk ekonomi dan bagi perempuan pelaku usaha. Tujuan akhir dari keuangan inklusif melalui DTG adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Namun, hanya dengan memiliki tabungan dan akses pelayanan keuangan informal saja tidak serta merta membuat masyarakat menjadi sejahtera. Hal tersebut membutuhkan kerangka kebijakan pemberdayaan ekonomi, sehingga perempuan tidak selamanya menjadi penerima manfaat, namun bisa mandiri dan naik kelas,” jelas Kepala Biro Data dan Informasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lies Rosdianty pada Seminar Internasional Praktik Terbaik dalam Penggunaan Data Terpilah Gender (DTG) secara Efektif untuk Pembuatan Kebijakan.

Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Kesetaraan Gender Kemen PPPA, Muhammad Ihsan mengatakan bahwa DTG juga merupakan salah satu prasyarat terwujudnya pengarusutamaan gender (PUG) dan merupakan bagian penting dari proses Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG).  

“DTG merupakan indikasi awal ada atau tidaknya sebuah kesenjangan. Hal ini bisa menjadi basis kajian lebih dalam terkait kesenjangan yang ada, misalnya penyebab literasi keuangan perempuan yang lebih rendah dari laki-laki, dan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki lainnya. Kemen PPPA juga tengah melakukan advokasi yang intens dengan kementerian/lembaga lainnya untuk memastikan program, kegiatan, dan kebijakan yang dihasilkan benar-benar responsif gender. Hal tersebut tentunya dapat diwujudkan jika sistem pendataannya sudah terpilah secara gender,” ujar Ihsan.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah per 16 April 2020 permasalahan umum yang dihadapi oleh pelaku usaha akibat Covid-19 diantaranya penurunan penjualan, kesulitan bahan baku, distribusi yang terhambat, hingga permodalan dan produksi yang menurun. Oleh karenanya, DTG dapat digunakan menjadi dasar pembuatan kebijakan inklusi keuangan untuk perempuan.

“Perempuan memiliki risiko ekonomi dan kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Selain itu, sekitar 60 persen UMKM dimiliki oleh perempuan, sehingga perempuan memiliki peluang yang lebih besar mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi. Namun di sisi lain, perempuan memiliki peluang ketahanan ekonomi. Data inklusi keuangan berbasis gender dapat digunakan menjadi dasar pembuatan kebijakan inklusi keuangan untuk perempuan. Data tersebut juga menggambarkan kelompok-kelompok yang membutuhkan pelayanan jasa keuangan, sehingga pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan secara tepat sasaran, dan dapat mempercepat arah pemulihan ekonomi nasional,” jelas Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir.

Sementara itu, Policy Advisor United Nations Secretary-General’s Special Advocate for Inclusive Finance for Development (UNSGSA), Peter McConaghy yang juga hadir dalam seminar tersebut memaparkan hasil penelitian terkait pemanfaatan DTG yang dilakukan bersama International Monetary Fund (IMF) pada 2019.

“Regulator keuangan biasanya merupakan pengguna utama DTG. Lalu, dari 11 (sebelas) negara dalam studi ini, 7 (tujuh) diantaranya telah mengembangkan kebijakan khusus berdasarkan DTG. Negara-negara yang lebih berpengalaman mengumpulkan DTG dan mengembangkannya menjadi kebijakan berbasis gender. Sementara itu, negara lain yang kurang berpengalaman menggunakan DTG sebagai masukan utama untuk membuat kebijakan. Regulator dan pembuat kebijakan memanfaatkan DTG diantaranya sebagai pengembangan baseline pada tingkat akses dan penggunaan menurut gender, memantau status kesenjangan gender keuangan inklusif, dan mengembangkan kebijakan yang tepat. Sementara itu, Penyedia Jasa Keuangan memanfaatkan DTG untuk memahami keadaan keuangan inklusif perempuan di negara mereka. Oleh karenanya, mereka dapat meningkatkan atau merancang produk dan layanan mereka bagi kebutuhan perempuan,” ungkap Peter.

Peter juga menceritakan praktik baik Negara Chili dalam memanfaatkan DTG. Setelah Pemerintah Chili menerbitkan laporan tahunan tentang gender dalam sistem keuangan pada laman resmi, hal tersebut dapat membantu meningkatkan kesadaran perempuan sebagai segmen pelanggan yang berbeda, sehingga mendorong pengumpulan data lebih lanjut. Bank komersial di Chili juga menggunakan DTG sebagai masukan saat mengembangkan kasus bisnis internal untuk program kewirausahaan perempuan dan menumbuhkan pengusaha perempuan. Sektor koperasi keuangan Chili juga mulai menghasilkan DTG. Lembaga keuangan mereka juga telah menjalankan kelompok fokus laki-laki dan perempuan. (Anugue)